Rabu, 15 Desember 2010

TEOLOGI HINDU

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumber utama ajaran Agama Hindu adalah Veda. Veda adalah wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang di dalam Bahasa Sanskerta disebut Úruti, artinya yang terdengar atau yang didengarkan oleh orang-orang suci, yakni para mahàrûi. Úruti disebut juga “Sabda-Brahman”, yakni wacana Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu disebut berasal dari Tuhan Yang Maha Esa (Divine Origin). Para mahàrûi memperoleh wahyu tersebut, oleh karena itu para mahàrûi disebut “Mantradraûþaá” (yang memperoleh wahyu berupa mantra Veda) dan bukan “Mantrakartaá” (yang membuat atau mengarang mantra Veda). Di samping Veda sebagai sumber tertinggi ajaran Agama Hindu terdapat juga sumber-sumber lainnya yang disebut susastra Hindu.
Dapat pula ditambahkan bahwa kitab-kitab Tattva di Bali sebenarnya merupakan kajian dari teologi Hindu atau Brahmavidyà, khususnya kitab-kitab Úaiva Siddhànta yang cukup banyak jumlahnya. Kitab-kitab ini merupakan rujukan utama pelaksanaan ajaran Agama Hindu di Bali yang berpadu dengan unsur-unsur sekta yang lain dan dikembangkan dalam wadah budaya Bali.

1.2 Ruang lingkup
Lingkup penulisan buku ini dibatasi pada ajaran teologi atau Brahmavidyà dalam susastra Hindu.
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan buku ini adalah: (1) bersifat khsusus, artinya sangat berguna bagi para mahasiswa atau dosen yang berminat untuk secara mendalam menguasai pengetahuan tentang teologi Hindu, dan (2) bersifat umum, artinya memperkaya khasanah pengetahuan dan dalam usaha meningkatkan pengetahuan umat Hindu pada umumnya tentang teologi yang mereka anut dan masyarakat luas yang ingin lebih mendalami ajaran Agama Hindu.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini meliputi (1) manfaat teoritis, yakni secara teoritis menambah wawasan pembaca untuk mengenal teologi Hindu secara tekstual dan kontekstual, serta (2) manfaat praktis, yakni akan sangat berguna bago para praktisi Agama Hindu seperti para pandita, pinandita atau pamangku, guru dan dosen Agama Hindu, serta umat Hindu dan masyarakat luas yang tertarik untuk mengenal lebih jauh tentang ajaran ketuhanan dalam Agama Hindu.





BAB II TEOLOGI DAN STUDI KEAGAMAAN
2.1 Pengertian Teologi dan Brahmavidyà
Di dalam The New Oxford Illustrated Dictionary (1978:1736) pengertian teologi dinyatakan sebagai berikut: Science of religion, study of God or gods, esp. of attributes and relations with man etc.; yang berarti ilmu agama, studi tentang Tuhan Yang Maha Esa atau Para Dewa, teristimewa tentang atribut-Nya dan hubungannya dengan manusia, dan sebagainya. Adian dalam Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan (2001:52) menyatakan teologi adalah pengetahuan Yang Illahi. Kata logi berasal dari bahasa Yunani logos yang dapat diartikan sebagai pengetahuan yang berkadar pengetahuan tinggi berbeda dengan opini sehari-hari. Logos berbeda dengan opini karena ia murni kontemplasi tanpa digayuti kepentingan apapun. Teologi kemudian dapat diartikan menjadi pengetahuan kontemplatif, bebas kepentingan, dan benar tentang Yang Ilahi.
Kata teologi berasal dari kata theos yang artinya ‘Tuhan’ dan ‘logos’ artinya ‘ilmu’ atau ‘pengetahuan’. Jadi teologi berarti ‘pengetahuan tentang Tuhan’. Ada banyak batasan atau definisi teologi sebagaimana uraian berikut: telogi secara harfiah berarti teori atau studi tentang ‘Tuhan’. Dalam praktek, istilah dipakai untuk kumpulan doktrin dari kelompok keagamaan tertentu atau pemikiran individu (Maulana, dkk. 2003: 500).
Ilmu ketuhanan dalam agama Hindu atau teologi Hindu diberi dengan bermacam macam istilah antara lain:
a. Brahma Widya
b. Brahma Tatwa Jnana
Istilah Brahma adalah suatu istilah yang dipergunakan oleh umat Hindu untuk menyebutkan nama Tuhan sebagai pencipta pemelihara maupun tempat tujuan dari manusia atau alam semesta nanti pada zaman pralaya.
Mahadevan (1984:300) menyebut brahmavidyà sebagai the knowledge of Brahman, sedang Apte dalam Sanskrit English Dictionary (1987:466) menerjemahkan teologi dengan Ìúvara-brahmajñànam, paramàrthavidyà, adhyàtmajñànavidyà yang secara leksikal berarti pengetahuan tentang ketuhanan, pengetahuan tertinggi, dan pengetahuan rohani (spiritual). Berdasarkan uraian tersebut brahmavidyà berarti pengetahuan tentang Tuhan Yang Maha Esa, mencakup semua manifestasi-Nya, ciptaan-Nya dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Pengertian yang terakhir ini sudah mencakup pengertian yang amat luas tentang brahmavidyà. Menurut Pudja (1984:14) teologi di dalam Bahasa Sanskerta disebut Brahmavidyà atau Brahma Tattva Jñàna.

Pada mulanya teologi merupakan istilah yang digunakan oleh para pemikir Kristen untuk menunjukkan suatu disiplin ilmu yang membahas hal Tuhan dan Ketuhanan. Terminologi teologi telah menjadi disiplin ilmu yang diakui oleh para pakar atau ilmuwan dan secara aksiologis atau manfaat dalam penerapannya telah meluas ke seluruh dunia. Disiplin ilmu teolgi menjadi demikian sangat berarti, karena kebeadaannya telah memenuhi tiga persyaratan sebagai sebuah ilmu pengetahuan, yakni: (1) syarat ontologis atau objeknya jelas, (2) syarat epistemologis (procedure), dan (3) syarat aksiologis (makna atau manfaat). Karena keabsahan dan keakuratan dari disiplin ilmu teologi tersebut, maka epistemologi teologi telah menjadi pola, patokan, rujukan dalam berteologi dari semua agama tanpa menyadari bahwa terminologi teologi setiap agama tidak persis sama (Donder, 2006:15).
Bila memperhatian uraian di atas, maka brahmavidyà di dalamnya sudah mencakup pengertian teologi yang sangat luas dan dalam, dalam susastra Hindu berbagai atribut penggambaran Tuhan Yang Maha Esa tampak dalam dua pandangan yang berbeda, yakni Tuhan Yang Maha Esa yang berpribadi (Personal God) dan Tuhan Yang Maha Esa yang tidak berpribadi (Impersonal God). Untuk kepentingan bhakti (devotion) Tuhan Yang Maha Esa yang berpribadi menjadi objek pemujaan umat Hindu umumnya.

2.2 Perbedaan Studi Keagamaan dan Teologi
Uraian ini merupakan saduran dari tulisan Frank Whaling dalam Aneka Pendekatan Studi Agama, Connoly, Ed (2002, 311-374) sebagai berikut. Posisi teologi sangatlah penting dalam berbagai pembahasan tentang studi dan pengajaran agama. Pendekatan teologis memfokuskan pada sejumlah konsep, khususnya didasarkan pada ide theologos, studi atau pengetahuan tentang Tuhan atau Dewa-Dewa. Praanggapan ini memuat pesan yang berbeda dari ilmu-ilmu kemanusiaan atau sosial. Studi-studi keagamaan dalam bentuknya yang modern, dipandang muncul dari Teologi Kristen. Sehingga studi keagamaan dan teologi menimbu1kan bermacam pandangan, ada yang menganggap penting ada yang menganggap tidak penting atau bentuk pro dan kontra lainnya.

Ada lima macam pendekatan teologis dalam studi agama, yaitu:
1) Teologi agama-agama (theologies of religions), yaitu teologi tertentu yang muncul dalam tradisi keagamaan tertentu. Jadi teologi agama-agama adalah teologi yang mempelajari tentang teologi tertentu yang muncul dari tradisi-tradisi keagamaan. Pada setiap agama merniliki tradisi-tradisi yang sulit dicari sumbernya dalam kitab suci.
2) Teologi-teologi agama (theologies of religion) yaitu berbagai sikap teologis dalam tradisi keagamaan partikular yang diadopsi dari luar agama. Jadi teologi-teologi agama adalah teologi yang mempelajari tentang sikap teologis suatu agama terhadap tradisi-tradisi keagamaan yang diambilnya dan luar agamanya. Misalnya orang Kristen di Bali menggunakan ‘banten’ ke gereja, menggunakan ‘penjor’ saat hari raya Natal dan Tahun Baru, menggunakan pakaian adat Bali yang lazim digunakan ke pura oleh umat Hindu namun digunakan oleh umat Kristen Bali ke gereja.
3) Teologi agama (theology of religion) yaitu upaya membangun suatu teologi agama yang lebih universal yang dalam hal ini mengkonsentrasikan pada kategori-kategori transenden. Jadi pendekatannya mempelajari tentang teologi yang universal yang memfokuskan diri pada yang transenden (spiritual, kesucian).
4) Teologi agama-agama global (a global theology of religion) yaitu dimulai dari situasi global dalam seluruh kompleksitas, moral manusia, natural, dan dari sana kemudian mengkonseptualisasikan kembali kategori-kategori teologis yang muncul dan tradisi keagamaan tertentu yang dapat mengarahkan perkembangan situasi global, yang mempengaruhi setiap orang. Jadi teologi agama-agama global adalah teologi yang mempelajari kompleksitas agama termasuk di dalamnya; moral, manusia, natural, serta mengkonstruksi atau mengkonseptualisasikan kembali kategori-kategori teologis itu.
5) Teologi agama perbandingan (comparative theology of religion). Melalui membaca teologi-teologi agama tertentu, kita akan mengeksplorasikan beberapa titik temu dan perbandingan teologis. Jadi teologi agama perbandingan adalah teologi yang mempelajari agama-agama melalui memperbandingkan lewat uraian-uraian teologis setiap agama.
Perbedaan studi keagamaan dan teologi.
1) Studi keagamaan, selain bersifat multireligius, studi-studi keagamaan juga menggunakan beragam pendekatan dan metode. Sehingga; filsafat, sosiologi, antropologi, sejarah, fenomenologi, psikologi, linguistik, dan sebagainya merupakan komponen-komponen dari studi keagamaan.
2) Teologi, lebih merupakan suatu disiplin tersendiri dan meskipun teologi menggunakan berbagai metode yang dipaparkan di atas, metode-metode itu berada di bawah concern teologi dan sering kali juga gereja atau komunitas religius yang terkait.
3) Teologi, sering berpusat pada persoalan doktrin. Ortodoksi agama cenderung menitikberatkan terhadap doktrin-doktrin dan elemen-elemen konseptual dalam agama sebagai salah satu yang lebih sentral dibandingkan dengan praktek spiritual atau perilaku.
4) Studi keagamaan, memberi titik tekan yang sama terhadap elemen-elemen lain yang ada dalam agarna seperti praktik sosial, ritual, estetika, spiritualitas, mite, simbol dan seterusnya. Tidak ada penekanan yang berlebihan terhadap doktrin atau konsep.
5) Teologi memiliki perhatian khusus pada gagasan transendensi yang “dianggap tidak perlu diperdebatkan” sejauh ada hubungannya dengan teologi.
6) Studi keagamaan titik fokusnya lebih kepada orang-orang beriman dan pengalarnan atau keyakinannya ketimbang objek keyakinan.
7) Teologi berkepentingan dengan transendensi, sedangkan studi keagamaan tidak.
8) Dalam pembelajaran abad pertengahan, ilmu tetap memiliki tempat, seperti ditujukkan Durkheim dan lainnya, tetapi menduduki tempat kedua. Meskipun demikian, pengetahuan budaya dan ilmu adalah bagian dari totalitas pembelajaran yang diasarkan pada teologi. Seperti dikemukakan oleh Aquinas, teologi adalah queen of sciences. Di era modern, model dominan kembali mengalami perubahan. Eksperimen terhadap alam dan pengembangan ilmu-ilmu kealaman yang terpancar darinya, menjadi landasan pengetahuan. Porosnya lebih berpusat pada alam dibandingkan Tuhan atau manusia, dan titik tekannya pada ilmu-ilmu kealaman sebagai kunci pembelajaran. Karena penelitian ilmiah disandarkan pada spesialisasi, dan pengetahuan dibagi kedalam wilayah-wilayah khusus, dalam hal ini terjadi kemunduran ketika dipahami terdapat totalitas pengetahuan.

Meskipun teologi dan turunannya, studi keagamaan bersamaan dengan humanitas masih tetap ada dan dalam pendekatan terhadap pengetahuan memang cenderung menggunakan pandangan dunia ilmiah tidak ada yang tersembunyi dari fakta bahwa pandangan tentang keutuhan pengetahuan telah terpecah-pecah. Pengetahuan lebih ditemukan dalam bagian unsur-unsurnya, disiplin-disiplinnya, ketimbang dengan totalitasnya. Di era sekarang dengan perspektif global, terdapat concern yang lebih besar terhadap perlunya mengintegrasikan kembali pengetahuan, bersamaan dengan kesadaran yang lebih dalam akan keuntungan dan kerugian pandangan dunia ilmiah. Gerakan New Age dan posmodernisme, sekalipun memiliki kepentingan tertentu, menghidupi semangat ini dan terdapat keinginan menyatukan kembali pengetahuan guna memenuhi tuntutan dunia global. Dengan kata lain terdapat kesadaran yang lebih besar tentang komplementaritas model-model pengetahuan dan perlunya interkoneksi yang lebih dalam. Teologi dan studi-studi keagamaan, humanitas, dan ilmu-ilmu ke-alam-an saling membutuhkan satu sama lainnya.
Ada tiga alasan bagi teologi maupun studi-studi keagamaan tentang pentingnya model pengetahuan. Pertama, Konsep-konsep yang begitu penting bagi teologi hanyalah salah satu dari delapan elemen yang dikemukakan dalam model ini. Studi-studi keagamaan berkaitan dengan kedelapan elemen; (1) komunitas keagamaan (2) ritual, (3) etika, (4) keterlibatan sosial dan politik (5) kitab sud dan mite, (6) konsep-konsep, (7) estetika, dan (8) spiritualitas, tanpa melebihkan salah satunya. Terlebih lagi studi-studi keagamaan bersifat lintas budaya dan tidak ada kepentingan tertentu untuk memperkembangkan salah satu tradisi. Kedua, Model ini membahas gagasan transendensi, fokus yang memediasi dan keyakinan atau intensinalitas yang juga terdapat dalam teologi. Bagi tradisi keagamaan tertentu, keyakinan adalah keyakinan terhadap transendensi mereka sendiri, melalui fokus yang memediasikan yang begitu penting, dan ini tampak jelas dalam teologi-teologi tertentu. Namun, selain pengertian ini, model ini dapat menjelaskan struktur umum dan makna dari tradisi keagamaan tertentu, ia memiliki asumsi-asumsi dasar yakni kepentingan umum (general interest). Model ini juga dapat menunjukkan bahwa agama-agama secara radikal berbeda jika kita membandingkannya secara terbuka melalui model ini. Di sisi lain, model ini juga dapat dipahami guna menunjukkan arah keyakinan, dan transendensi sebagai kategori teologis universal dan oleh karenanya juga arah teologi agama general. Ketiga, Meskipun teologi memiliki suatu kecenderungan terhadap formulasi doktrinal, model ini menunjukkan bahwa formulasi-formulasi itu bisa jadi luas dan beragam. Teologi memberi perhatian pada delapan elemen terkait dan dalam tahun-tahun terakhir perhatian ini berkembang dalam tradisi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kita melihat meningkatnya minat pada teologi komunitas-komunitas keagamaan, teologi skriptural, teologi doktrinal, teologi seni, dan teologi ritual dan liturgi, etika teologi, teologi praksis sosial dan politis, dan teologi spiritual.

Singkatnya, meskipun batas-batas dan perhatian teologi dan studi-studi keagamaan itu terpisah, namun bukan pemisahan yang mendasar. Keduanya, saling berjalin dengan cara seperti yang telah disampaikan yaitu kaitannya dengan model-model pengetahuan barat dan dengan suatu model agama general.
Tradisi cenderung beragam berdasarkan inti doktrin yang lebih kurang bersifat “terben” (given, bahasa Bali muleketo), dan semua agama memiliki doktrin yang sifatnya seperti ini. Standar kualitas konseptual tradisi Hindu semenjak era klasik, konsep-konsep kunci tertentu telah menjadi parameter bagi Hindu way of life.
1) Konsep Hindu berpusat pada gagasan tentang Brahman sebagai realitas ultimate di balik alam,
2) Àtmà sebagai diri inner dalam manusia,
3) Karma manusia sebagai lingkaran kelahiran kembali yang terus-menerus,
4) Penyelamatan sebagai pelepasan diri dari kelahiran kembali,
5) Cara-cara penyadaran inner (jñàna), ketaatan (bhakti), dan terlibat aktif di dunia (di bawah kuasa Tuhan) sebagai jalan penyelamatan, dan peran berbagai manifestasi-Nya seperti Śiva, Viûóu, Devì, dan dua inkarnasi dari Viûóu (avatàra) yakni Ràma dan Kåûóa.
John Hick menguraikan bahwa ada tiga sikap teologis pokok yang dapat diterapkan tradisi keagamaan terhadap wilayah keagamaan yang lebih luas: (1) Eksklusivisme, suatu pendapat bahwa satu-satunya posisi yang benar adalah posisi keagamaannya sendiri, (2) Inklusivisme, suatu pandangan bahwa tradisi keagamaan !ain juga memuat kebenaan religius tetapi di hari akhir akan dimasukkan ke dalam posisi yang mereka miliki, (3) Pluralisme, pendapat bahwa tradisi-tradisi keagamaan mengejawantahkan diri dalam beragam konsepsi mengenai yang sejati (the real) dan memberi respon terhadapnya, dari sana muncul jalan kultur yang berbeda-beda bagi manusia. Tiga sikap teologis itu beranggapan bahwa seseorang mencari dengan berangkat dari suatu sistem teologis partikular dan berdasar pada sistem lainnya sebagai entitas yang terpisah. Sikap-sikap ini mengasumsikan nahwa teologi berarti teologi partikular dari suatu tradisi keagamaan partikular.
Agama Hindu sejak diturunkannya kitab suci Veda sudah mengamanatkan umatnya untuk mengembangkan sikap inklusivisme dan pluralisme artinya mengakui ada kebenaran pada tradisi keagamaan lain serta adanya beragam konsepsi yang sejati (the real) dan memberi respon terhadapnya, seperti tampak dalam perkembangan agama Hindu di Bali, kepercayaan kepada roh suci leluhur masih mendapatkan tempat yang semestinya.



BAB III TEOLOGI DALAM SUSASTRA SANSKERTA
3.1 Pengertian dan Lingkup Susastra Hindu
Di dalam pendahuluan telah diuraikan sepintas tentang sumber ajaran Agama Hindu, yakni Veda sebagai sumber tertinggi dan otoritasnya sangat diakui karena Veda merupakan Úruti atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Kitab suci Veda terdiri dari kitab-kitab:
1) Saýhità ( Samitha ),
2) Bràhmaóa (Brahmana ),
3) Āraóyaka ( Aranyaka), dan
4) Upaniûad ( Upanisad ).
Kitab-kitab Saýhità terdiri dari Ågveda, Yajurveda, Sàmaveda, dan Atharvaveda. Masing-masing kitab Saýhità tersebut memiliki kitab-kitab Bràhmaóa, Āraóyaka, dan Upaniûad. Unsur-unsur upacara yang terdapat di dalam kitab Veda dikembangkan secara luas di dalam kitab-kitab Bràhmaóa. Bila di dalam Veda upacara korban berarti untuk memohon karunia para devatà dan kemudian menjadi akhir dari segalanya. Di dalam kitab-kitab Bràhmaóa, para devatà mempunyai kedudukan yang penting terutama dalam sistem upacara.






BAB IV KESIMPULAN

Ilmu Ketuhanan dalam agama Hindu diberi bermacam macam istilah, salah satuanya yaitu “Brahma Vidya”. Brahma Vidya merupakan salah satu dari ajaran agama Hindu yang membahas mengenai teologi Hindu. Didalam ajaran Brahma Vidya tidak saja membahas tentang Tuhan Yang Maha Esa, Para Dewa, dan Roh Suci Leluhur, tetapi juga membahas ciptaan-Nya.




BAB V DAFTAR PUSTAKA


Musna, I Wayan; Materi Teologi Hindu; 1-6; PAHD2533/2 SKS/oleh I Wayan Musna, I Ketut Murada.—Jakarta: Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha, Universitas Terbuka, 1993.

www.parisada.org ( Teologi dalam Susastra Hindu )

KONSEP SURGA DAN NERAKA MENURUT PANDANGAN AN AGAMA HINDU LANJUTAN

Berbeda dengan konsep Sorga-Neraka di agama-agama semitis, agama Hindu memberikan kesempatan kepada manusia untuk selalu berupaya memperbaiki diri dalam beberapa kali masa kehidupan, sebelum dicapai tujuan tertinggi dalam Hindu, yaitu Moksha.
Sorga dan Neraka adalah dua hal yang oleh kebanyakan umat beragama bicarakan dan perdebatkan, dari sekedar bagaimana mempercayainya sampai bagaimana cara mendapatkannya atau menghindarinya. Setiap manusia selalu berusaha untuk dapat mencapai Sorga setelah hidup, dan sebaliknya, tak seorang pun menghendaki berjumpa Neraka setelah jiwa meninggalkan raga.
Dalam beberapa waktu saya sering merasa heran, betapa setiap manusia selalu berorientasi pada Sorga dan melupakan Tuhan sebagai pemilik Sorga. Hampir sebagian besar manusia selalu melakukan perbuatan baik hanya karena sangat takut masuk Neraka dan menginginkan hanya Sorga.
Padahal, kita semua sepatutnya hanya takut pada Tuhan. Mungkin lirik lagu Ahmad Dhani dan Krisye kiranya tepat mengambarkan orientasi manusia terhadap tujuan hidup yang hakiki ; " Jika Surga dan Neraka tak pernah ada masihkah kau bersujud pada Nya", yakni berbakti kepada Tuhan dan bukan hanya karena sorga ataupun neraka.
Pada kesempatan ini, saya bermaksud memperkenalkan pandangan Hindu mengenai konsep Sorga dan Neraka. Banyak umat Hindu beranggapan bahwa di dalam ajaran Hindu tidak ada dan tidak dikenal konsep mengenai Sorga dan Neraka mengingat dalam konsep Panca Shrada ( lima keyakinan ) umat hindu mempercayai adanya Purnabawa ( Reingkarnasi ).
Sorga dan Neraka dalam pandangan Hindu amat jarang diperbincangkan, karena agama Hindu kerap hanya dipahami meyakini hukum kharmaphala dan mempercayai Reinkarnasi atau kehidupan kembali setelah kematian, sehingga banyak orang meyakini bahwa Hindu tidak mengenal Sorga dan Neraka.
Sesungguhnya konsep Sorga dan Neraka ada dalam ajaran Hindu. Namun ia bukan menjadi tujuan akhir dari manusia sehingga bagi orang Hindu tujuan akhir adalah bukan masuk Sorga, melainkan Moksha atau bersatunya jiwa (Atman) dengan Sang Maha Pencipta ( Brahman).
Pertanyaannya yang kemudian muncul, lantas Sorga itu seperti apa dan untuk apa?. Sorga dalam Hindu seperti digambarkan dalam Weda; Adalah suatu tempat, satu dunia, dimana cahaya selalu bersinar, suatu masyarakat orang suci, dunia kebaikan, dunia abadi.
Beberapa pemikiran mengatakan bahwa Sorga dan Neraka bukanlah tempat, melainkan suatu kondisi. Artinya, apabila kita dalam kondisi senang atau bahagia, itulah Sorga. Sebaliknya, apabila kita dalam kondisi sedih atau menderita, itulah Neraka. Mungkin hal tersebut ada benarnya.
Dalam Kitab suci Weda disebutkan, Sorga dan Neraka adalah suatu tempat di balik dunia ini yang dibatasi oleh kematian. Dengan kata lain, Sorga dan Neraka akan kita temukan setelah kita melewati “jembatan“ yang bernama kematian. Secara harfiah, Sorga berasal dari kata Sanserketa “svar” dan “ga”. “Svar” artinya cahaya dan “ga” artinya pergi. Jadi svarga artinya perjalanan menuju cahaya. Di dalam Weda juga dikatakan bahwa Sorga adalah “dunia ketiga” yang penuh sinar dan cahaya.
Sorga: persinggahan sementara
Dalam kitab suci Hindu dikatakan bahwa Sorga merupakan persinggahan sementara. Bahkan, menurut Swami Dayananda Saraswati, Sorga adalah pengalaman liburan. Bagawad Gita dalam hal ini mengatakan:”setelah menikmati Sorga yang luas , mereka kembali ke dunia. Sorga adalah kesenangan sementara, sedangkan kebahagiaan yang sejati adalah Moksha, bersatunya Atman (Jiwa) dengan Brahman (Sang Pencipta))
Neraka Menurut Hindu
Neraka memang diperlukan. Ini adalah ungkapan yang sangat profokatif. Sebuah argumen mengatakan, apabila hasil yang diterima setiap orang sama—entah itu baik atupun tidak dan mendapat imbalan yang sama—lantas apa yang mendasari orang untuk selalu berbuat baik, berbuat berdasarkan Dharma.
Neraka dalam pandangan agama semit digambarkan sebagai suatu tempat yang terletak jauh di dalam bumi. Ia adalah tempat penyiksaan yang sangat mengerikan berbentuk kawah api yang panasnya beribu kali lipat dari panas api di dunia. Roh- roh yang banyak melakukan dosa di dunia akan mengalami penyiksaan ditusuk dengan tombak dan dipukuli dengan palu godam.
Di dalam Hindu sangat sedikit mantra ataupun sloka yang menjelaskan kosep Neraka mengingat Hindu mengakui terjadinya reinkarnasi atau proses kelahiran kembali dan konsep Moksha. Di Hindu Neraka dikatakan merupakan balasan yang diterima pada saat reinkarnasi atau dalam proses kelahiran kembali. Di dalamnya kita di berikan dua pilihan yang berdasar pada perbuatan kita pada masa hidup terdahulu, yaitu reinkarnasai Sorga atau reinkarnasi Neraka.
Reinkarnasi Sorga ada dalam proses kelahiran kembali kita mendapatkan takdir yang lebih baik, sedangkan reinkarnasi Neraka apabila kita dilahirkan dengan takdir yang lebih buruk. Di Hindu kelainan fisik pada saat kelahiran dapat dijelaskan sebagai sebuah bentuk penebusan terhadap segala perbuatan yang buruk yang pada masa hidup yang pernah di lakukan.
Konsep Sorga-Neraka seperti ini mungkin berbeda dengan konsep serupa dalam agama lain, yang menyatakan setiap manusia yang lahir adalah sebuah individu baru dan suci, ibarat buku belum ternoda oleh tinta kehidupan.
Bagi umat Hindu, kehidupan ini adalah suatu perjalanan yang saling berhubungan dan berjalan terus menerus. Dalam kerangka Tuhan Maha Pengampun, Hindu menjelaskan setiap manusia selalu di berikan kesempatan untuk selalu memperbaiki dirinya dalam beberapa kali masa kehidupan untuk kemudian mencapai tujuan tertinggi dalam Hindu, yaitu Moksha.[]