tag:blogger.com,1999:blog-88728986098041874262024-02-07T20:27:25.432-08:00Mari Kita Saling Berbagi Pengetahuanmuditahttp://www.blogger.com/profile/05091005719901532104noreply@blogger.comBlogger27125tag:blogger.com,1999:blog-8872898609804187426.post-6471758563683613242011-09-21T08:00:00.000-07:002011-09-21T08:01:27.164-07:00perspektif Interaksionisme-SimbolikTitik tolak pemikiran interaksi simbolik berasumsi bahwa realitas sosial sebagai proses dan bukan sesuatu yang bersifat statis. Dalam hal ini masyarakat dipandang sebagai sebuah interaksi simbolik bagi individu-individu yang ada didalamnya. Pada hakikatnya tiap manusia bukanlah “barang jadi” melainkan barang yang “akan jadi” karena itu teori interaksi simbolik membahas pula konsep mengenai “diri” (self) yang tumbuh berdasarkan suatu “negosiasi” makna dengan orang lain. Menurut George Herbert Mead, cara manusia mengartikan dunia dan dirinya sendiri berkaitan erat dengan masyarakatnya. Mead melihat pikiran (mind) dan dirinya (self) menjadi bagian dari perilaku manusia yaitu bagian interaksinya dengan orang lain. Mead menambahkan bahwa sebelum seseorang bertindak, ia membayangkan dirinya dalam posisi orang lain dengan harapan-harapan orang lain dan mencoba memahami apa yang diharapkan orang itu (Mulyana, 2007).<br />Konsep diri (self consept) merupakan suatu bagian yang penting dalam setiap pembicaraan tentang kepribadian manusia. Konsep diri merupakan sifat yang unik pada manusia, sehingga dapat digunakan untuk membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya. Keunikan konsep diri pada setiap individu pun relatif berbeda-beda karena antara individu satu dengan individu lainnnya mempunyai pola pikir yang berbeda.Konsep diri terbentuk dan dapat berubah karena interaksi dengan lingkungannya. Perkembangan yang berlangsung tersebut kemudian membantu pembentukan konsep diri individu yang bersangkutan. Konsep diri yang dimiliki individu dapat diketahui melalui informasi, pendapat dan penilaian atau evaluasi dari orang lain. Diri juga terdiri menjadi dua bagian yaitu diri obyek yang mengalami kepuasan atau kurang mengalami kepuasan dan diri yang bertindak dalam melayani diri obyek yang berupaya memberinya kepuasan.<br />Menurut Mead, tubuh bukanlah diri dan baru menjadi diri ketika pikiran telah berkembang. Sementara disisi lain bersama refleksivitasnya, diri adalah sesuatu yang mendasar bagi perkembangan pikiran. Tentu saja mustahil memisahkan pikiran dari diri, karena diri adalah proses mental. Namun, meskipun kita bisa saja menganggapnya sebagai proses mental, diri adalah proses sosial. Mekanisme umum perkembangan diri adalah refleksivitas atau kemampuan untuk meletakkan diri kita secara bawah sadar ditempat orang lain serta bertindak sebagaimana mereka bertindak. Akibatnya, orang mampu menelaah dirinya sendiri sebagaimana orang lain menelaah dia (Ritzer, 2004).<br />Dengan menyerasikan diri dengan harapan-harapan orang lain, maka dimungkinkan terjadi interaksi, semakin mampu seseorang mengambil alih atau menerjemahkan perasaan-perasaan sosial semakin terbentuk identitas atau kediriannya. Ada tiga premis yang dibangun dalam interaksi simbolik yaitu;<br />1. manusia bertindak berdasarkan makna-makna,<br />2. makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang lain, dan<br />3. makna tersebut berkembang dan disempurnakan ketika interaksi tersebut berlangsung (Mulyana, 2001).<br />Teori interaksi simbolik melihat individu sebagai pelaku aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Teori interaksi simbolik fokus pada soal diri sendiri dengan segala atribut luarnya. Deddy Mulyana mengutip istilah yang digunakan Cooley yaitu looking glass self (Mulyana, 2001). Gagasan diri ala Cooley ini terdiri dari tiga komponen.<br />1. individu mengembangkan bagaimana dia tampil bagi orang lain;<br />2. individu membayangkan bagaimana peniliaian mereka atas penampilan individu tersebut;<br />3. individu mengembangkan sejenis perasaan-diri, seperti kebanggaan atau malu, sebagai akibat membayangkan penilaian orang lain tersebut.<br />Lewat imajinasi, kita mempersepsi dalam pikiran orang lain suatu gambaran tentang penampilan kita, perilaku, tujuan, perbuatan, karakter teman-teman kita dan sebagainya, dan dengan berbagai cara kita terpangaruh olehnya. Littlejohn menyatakan bahwa interaksi simbolik mengandung inti dasar premis tentang komunikasi dan masyarakat (Littlejohn, 1996).<br />Setiap interaksi manusia selalu dipenuhi dengan simbol-simbol, baik dalam kehidupan sosial maupun kehidupan diri sendiri. Diri tidak terkungkung melainkan bersifat sosial. Orang lain adalah refleksi untuk melihat diri sendiri. Dari penjelasan ini berarti bahwa teori interaksi simbolik merupakan perspektif yang memperlakukan individu sebagai diri sendiri sekaligus diri sosial.<br />Bagi Mead, “diri” lebih dari sebuah internalisasi struktur sosial dan budaya. “Diri” juga merupakan proses sosial, sebuah proses dimana para pelakunya memperlihatkan pada dirinya sendiri hal-hal yang dihadapinya, didalam situasi dimana ia bertindak dan merencanakan tindakannya itu melalui penafsirannya atas hal-hal tersebut. Dalam hal ini, aktor atau pelaku yang melakukan interaksi sosial dengan dirinya sendiri, menurut Mead dilakukan dengan cara mengambil peran orang lain, dan bertindak berdasarkan peran tersebut, lalu memberikan respon atas tindakan-tindakan itu. Konsep interaksi pribadi (self interaction) dimana para pelaku menunjuk diri mereka sendiri berdasarkan pada skema Mead mengenai psikologi sosial. “Diri” disini bersifat aktif dan kreatif serta tidak ada satupun variabel-variabel sosial, budaya, maupun psikologis yang dapat memutuskan tindakan-tindakan “diri.”<br />Mead menyatakan bahwa konsep diri pada dasarnya terdiri dari jawaban individu atas pertanyaan mengenai “siapa aku” untuk kemudian dikumpulkan dalam bentuk kesadaran diri individu mengenai keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang berlangsung. Pendapat Mead tentang pikiran adalah bahwa pikiran mempunyai corak sosial, percakapan dalam batin adalah percakapan antara “aku” dengan “yang lain” pada titik ini, konsepsi tentang “aku” itu sendiri merupakan konsepsi orang lain terhadap individu tersebut. Atau dengan kalimat singkat, individu mengambil pandangan orang lain mengenai dirinya seolah-olah pandangan tersebut adalah “dirinya” yang berasal dari “aku.”<br />Interaksi simbolik sering dikelompokan ke dalam dua aliran (school). Pertama, aliran Chicago School yang dimonitori oleh Herbert Blumer, melanjutkan tradisi humanistis yang dimulai oleh George Herbert Mead. Blumer menekankan bahwa studi terhadap manusia tidak bisa dilakukan dengan cara yang sama seperti studi terhadap benda. Blumer dan pengikut-pengikutnya menghindari pendekatan-pendekatan kuatitatif dan ilmiah dalam mempelajari tingkah laku manusia. Lebih jauh lagi tradisi Chicago menganggap orang itu kreatif, inovatif, dan bebas untuk mendefinisikan segala situasi dengan berbagai cara dengan tidak terduga. Kedua Iowa School menggunakan pendekatan yang lebih ilmiah dalam mempelajari interaksi. Manford Kuhn dan Carl Couch percaya bahwa konsep-konsep interaksionis dapat dioperasikan. Tetapi, walaupun Kuhn mengakui adanya proses dalam alam tingkah laku, ia menyatakan bahwa pendekatan struktural objektif lebih efektif daripada metode “lemah” yang digunakan oleh Blumer.<br />Interaksionisme simbolik mengandung inti dasar pemikiran umum tentang komunikasi dan masyarakat. Jerome Manis dan Bernard Meltzer memisahkan tujuh hal mendasar yang bersifat teoritis dan metodologis dari interaksionisme simbolik, yaitu:<br />1. Orang-orang dapat mengerti berbagai hal dengan belajar dari pengalaman. Persepsi seseorang selalu diterjemahkan dalam simbol-simbol.<br />2. Berbagai arti dipelajari melalui interaksi di antara orang-orang. Arti muncul dari adanya pertukaran simbol-simbol dalam kelompok-kelompok sosial.<br />3. Seluruh struktur dan institusi sosial diciptakan dari adanya interaksi di antara orang-orang.<br />4. Tingkah laku seseorang tidaklah mutlak ditentukan oleh kejadian-kejadian pada masa lampau saja, tetapi juga dilakukan secara sengaja.<br />5. Pikiran terdiri dari percakapan internal, yang merefleksikan interaksi yang telah terjadi antara seseorang dengan orang lain.<br />6. Tingkah laku terbentuk atau tercipta di dalam kelompok sosial selama proses interaksi.<br />7. Kita tidak dapat memahami pengalaman seorang individu dengan mengamati tingkah lakunya belaka. Pengalaman dan pengertian seseorang akan berbagai hal harus diketahui pula secara pasti.muditahttp://www.blogger.com/profile/05091005719901532104noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8872898609804187426.post-39282911556582932122011-09-21T07:59:00.000-07:002011-09-21T08:00:17.118-07:00Perspektif KonflikTidak ada seorang sosiolog pun yang menyangkal bahwa perspektif konflik dalam kajian sosiologi bersumber pada ide-ide yang dilontarkan oleh Karl Mark seputar masalah perjuangan kelas. Berlawanan dengan perspektif fungsional yang melihat keadaan normal masyarakat sebagai suatu keseimbangan yang mantap, para penganut perspektif konflik berpandangan bahwa masyarakat berada dalam konflik yang terus-menerus diantara kelompok dan kelas, atau dengan kata lain konflik dan pertentangan dipandang sebagai determinan utama dalam pengorganisasian kehidupan sosial sehingga struktur dasar masyarakat sangat ditentukan oleh upaya-upaya yang dilakukan berbagai individu dan kelompok untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas yang akan memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka.<br />Salah satu pertanyaan menarik yang terlontar sebagai konsekuensi dari penempatan konflik sebagai determinan utama dalam kehidupan sosial adalah masalah kohesi sosial. Kalangan teoritisi konflik setidaknya memandang dua hal yang menjadi faktor penentu munculnya kohesi sosial ditengah-tengah konflik yang terjadi, yaitu melalui kekuasaan dan pergantian aliansi. Hanya melalui kekuasaanlah kelompok yang dominan dapat memaksakan kepentingannya pada kelompok lain sekaligus memaksa kelompok lain untuk mematuhi kehendak kelompok dominan. Kepatuhan inilah yang pada akhirnya memunculkan kohesi sosial. Adapun pergantian aliansi disini berarti berafiliasi pada beberapa kelompok untuk maksud-maksud yang berbeda. Hal ini sangat mungkin untuk dilakukan mengingat suatu isu spesifik seringkali mampu menyatukan kelompok yang sebenarnya memiliki berbagai macam perbedaan.<br />Dalam kaitannya dengan kekuasaan, kalangan teoritisi konflik memandang agama sebagai ekspresi penderitaan, penindasan, dan rasionalisasi serta pembenaran terhadap tatanan sosial yang ada. Oleh karena itu, dalam perspektif konflik agama dilihat sebagai “kesadaran yang palsu”, karena hanya berkenaan dengan hal-hal yang sepele dan semu atau hal-hal yang tidak ada seperti sungguh-sungguh mencerminkan kepentingan ekonomi kelas sosial yang berkuasa. Dalam pandangan Marx, agama tidak hanya membenarkan ketidakadilan tetapi juga mengilustrasikan kenyataan bahwa manusia dapat menciptakan institusi-institusi sosial, dapat didominasi oleh ciptaan mereka dan pada akhirnya percaya bahwa dominasi adalah sesuatu yang sah. Jadi, dalam perspektif konflik agama lebih dilihat dalam hubungannya dengan upaya untuk melanggengkan status quo, meskipun pada tahap selanjutnya tidak sedikit kalangan yang menganut perspektif ini justru menjadikan agama sebagai basis perjuangan untuk melawan status quo sebagaimana perjuangan bangsa Amerika Latin melalui teologi liberal mereka yang populer.muditahttp://www.blogger.com/profile/05091005719901532104noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8872898609804187426.post-37632532615498008222011-09-21T07:57:00.000-07:002011-09-21T07:59:28.684-07:00fungsionalisme dan fungsionalisme strukturalPerspektif fungsionalisme mengandaikan bahwa kehidupan sosio-budaya itu seperti tubuh makhluk hidup. Penganut aliran fungsionalisme ini percaya, bahwa analogi biologi (organisme) dapat digunakan untuk menjelaskan kehidupan sosio-budaya masyarakat (Kaplan, 1999: 77). Individu-individu maupun kebudayaan sebagai bagian dari masyarakat kemudian disejajarkan dengan sel-sel yang ada dalam tubuh makhluk hidup, yang selalu tergantung dan tidak terpisahkan dari fungsi-fungsi sel-sel lainnya. Layaknya tubuh makhluk hidup, kelangsungan kehidupan sosio-budaya dapat dipertahankan apabila individu-individu yang ada didalamnya saling bergantung dan berfungsi dengan individu-individu lainnya. Itulah sebabnya, perspektif ini memandang kehidupan sosio-budaya sebagai sesuatu yang harus selalu ada dalam keteraturan agar dapat bertahan hidup. Implikasinya, segala bentuk tindakan dan gejala yang dinilai mengancam keteraturan akan dianggap sebagai gangguan atau penyakit yang harus disembuhkan. Tugas individu-individu adalah menjaga agar fungsi-fungsi mereka di dalam masyarakat dapat berjalan secara teratur sebagaimana harusnya. Dengan mengandaikan kehidupan sosial layaknya tubuh makhluk hidup, maka perspektif ini melihat gerakan sosio-budaya sebagai gejala terjadinya krisis di dalam masyarakat.<br />Sementara itu, B. Malinowski dalam teori fungsionalismenya mengasumsikan adanya hubungan dialektis antara agama dengan fungsinya yang diaplikasikan melalui ritual. Secara garis besar, fungsi dasar agama diarahkan kepada sesuatu yang supernatural atau, dalam bahasa Rudolf Otto, “Powerful Other.” Partisipan yang terlibat dalam sebuah ritual bisa melihat kemanjuran agama sebagai sarana meningkatkan hubungan spiritualnya dengan Tuhan karena pada dasarnya manusia secara naluriah memiliki kebutuhan spiritual.<br />Dengan demikian, teori fungsional melihat setiap ritual dalam agama memiliki signifikansi teologis, baik dari dimensi psikologis maupun sosial. Aspek-aspek teologis dari sebuah ritual keagamaan seringkali bisa ditarik benang merahnya dari simbol-simbol religius sebagai bahasa maknawiah. Pemaknaan terhadap simbol-simbol keagamaan tersebut sangat bergantung kepada kualitas dan arah performa ritual serta keadaan internal partisipan hingga sebuah ritual bisa ditujukan untuk “memuaskan” Tuhan atau kebutuhan spiritualnya sendiri.<br />Dalam konteks sosiologis, sebuah ritual juga merupakan manifestasi dari apa yang disebut oleh Durkheim sebagai “alat memperkuat solidaritas sosial” melalui performa dan pengabdian. Tradisi slametan merupakan contoh paling konkret dari ritual jenis ini sebagai alat untuk memperkuat keseimbangan masyarakat (social equilibrium), yakni menciptakan situasi rukun -setidaknya- di kalangan para partisipan. Kalangan fungsionalis yang mengakui asumsi ini adalah Clifford Geertz, James Peacock, Robert W. Hefner, Koentjaraningrat, dan masih banyak lagi. Pendek kata, teori fungsional melihat fungsi ritual (agama) dalam konteks yang lebih luas, baik dalam konteks spiritual maupun esksistensi kemanusiaan. Ia bisa dipahami sebagai sebuah jawaban terhadap pertanyaan mengapa ritual (agama) itu ada atau diadakan. Jawaban tersebut tentu saja muncul karena manusia membutuhkannya sebagai perangkat untuk mendapatkan berkah suci dari Tuhan.<br />Mengenai paradigma fungsionalisme struktural, para ahli telah banyak merumuskan dan mendiskusikan hal ini dengan menuangkan berbagai ide dan gagasannya mencari paradigma tentang teori ini, sebut saja George Ritzer (1980), Margaret M.Poloma (1987), dan Turner (1986). Drs. Soetomo (1995) mengatakan apabila ditelusuri dari paradigma yang digunakan, maka teori ini dikembangkan dari paradigma fakta sosial. Secara garis besar fakta sosial yang menjadi pusat perhatian sosiologi terdiri atas dua tipe yaitu struktur sosial dan pranata sosial. Menurut teori fungsional struktural, struktur sosial dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu sistem sosial yang berdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan.<br />Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori ini (fungsional- structural) menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya. Dalam proses lebih lanjut, teori inipun kemudian berkembang sesuai perkembangan pemikiran dari para penganutnya.<br />Emile Durkheim, seorang sosiolog Perancis menganggap bahwa adanya teori fungsionalisme-struktural merupakan suatu yang ‘berbeda’, hal ini disebabkan karena Durkheim melihat masyarakat modern sebagai keseluruhan organisasi yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut menurut Durkheim memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bilamana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat “patologis“. Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai ekuilibrium, atau sebagai suatu system yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimabangan atau perubahan sosial. Robert K. Merton, sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli teori lainnya telah mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas tentang teori-teori fungsionalisme, (ia) adalah seorang pendukung yang mengajukan tuntutan lebih terbatas bagi perspektif ini. Mengakui bahwa pendekatan ini (fungsional-struktural) telah membawa kemajuan bagi pengetahuan sosiologis (www.google.com).<br />Dari penjelasan masing-masing paradigma tersebut dapat disimpulkan bahwa keduanya sama-sama perspektif yang mengkaji tentang fungsi fenomena budaya tertentu. Adapun perbedaan kedua paradigma itu terletak pada analisisnya. Analisis dalam paradigma fungsional lebih sederhana daripada paradigma fungsionali-struktural. Jika fenomena budaya dikaji dengan paradigma fungsional dan telah ditemukan fungsinya dalam masyarakat, itu dianggap sudah memenuhi syarat.<br />Berbeda dengan analisis dalam paradigma fungsional-struktural, paradigma ini lebih menekankan pada relasi fungsi. Artinya, dalam analisis ini peneliti harus bisa menunjukkan relasi fungsional antara suatu unsur budaya atau gejala sosial-budaya tertentu dengan struktur sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini, peneliti dituntut untuk dapat memberikan penekanan pada struktur sosial. Dengan demikian, deskripsi mengenai struktur sosial ini tidak kalah pentingnya dengan deskripsi atau pernyataan mengenai relasi fungsional itu sendiri. Data kualitatif berupa contoh-contoh kasus yang konkrit memainkan peran yang penting untuk meyakinkan pembaca akan adanya relasi fungsional antara unsur budaya atau gejala sosial-budaya yang dimaksud dengan struktur sosial yang ada (Diktat kuliah Teori Kebudayaan S2 oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra).<br />2. Contoh analisis mitos dengan menggunakan paradigma fungsional:<br />a. Paparan Kisah Sunan Mas dan upacara Nyadran di dusun Poyahan,<br />Seloharjo, Pundong Bantul.<br />Pada waktu Raden Mas Sutikna (Putra Sunan Amangkurat II Mataram Islam) dan pasukannya menumpas pemberontakan Trunajaya sampai di wilayah pegunungan selatan, ia kemudian beristirahat. Untuk menghimpun kekuatan dan bersemedi, RM. Sutikna dengan dibantu oleh Demang Somabrata dan pengikutnya kemudian membuat goa di daerah pegunungan selatan tersebut. Pada saat membuat goa, RM. Sutikna disapa oleh Ki Joko Umar. Ki Joko Umar adalah putra dari Nyi Glenggangjati garwa ampil dari Ki Ageng Giring IV yang memerintah di wilayah Gunung Kidul. Ki Joko Umar heran melihat pembuatan goa yang hanya dilakukan dengan menatah batu tebing. Merasa ada yang memperhatikan pekerjaannya, RM. Sutikna menanyakan kepada Joko Umar apakah ia sanggup membantu pembuatan goa tersebut. Joko Umar menyanggupi, kemudian ia bekerja dengan caranya sendiri, mengambil tempat di sebelah goa yang dibuat oleh RM. Sutikna dan menggaruk tebing terjal itu dengan bathok kelapa. Goa-pun jadi dan diberi nama Goa Sunan Mas. Merasa ditolong oleh Joko Umar, RM. Sutikna menjanjikan akan memberikan hadiah kepadanya.<br />RM. Sutikna kemudian mengutus salah satu pengikutnya menghadap ke Kraton Mataram untuk melaporkan keberadaan RM. Sutikna dan R. Sukra (putra Trunajaya) belum dapat ditangkap. Mendapat laporan tersebut Sunan Amangkurat II yang ketika itu sudah menginjak usia tuanya, segera memerintahkan prajurit untuk menangkap dan menghukum R. Sukra. Setelah R. Sukra ditangkap dan dihukum gantung, RM. Sutikna kembali ke Mataram dengan dikawal oleh Demang Somabrata dan pengikutnya. Ia kemudian menggantikan ayahandanya (Sunan Amangkurat II) yang wafat, memerintah Mataram dengan gelar Sunan Amangkurat III (Sunan Mas).<br />Sementara itu, Ki Joko Umar telah dewasa. Ia kemudian memperistri seorang putri Kedu Bagelen dan menurunkan dua orang putra. Seorang laki-laki bernama Mertalaya dan seorang putri yang tidak jelas namanya yang tinggal di daerah Kedu Bagelen. Singkat cerita Ki Joko Umar kemudian meninggal dan jenasahnya dikebumikan di wilayah Ngrangkah sebelah barat Dusun Biro. Menurut cerita yang berkembang, jenasah Ki Joko Umar telah dicuri oleh orang-orang dari Kedu Bagelen.<br />Sepeninggal Joko Umar, putranya yang bernama Mertalaya dipanggil menghadap ke Mataram dan diberi kedudukan sebagai Patuh (Lurah) di dalam kraton. Hal ini dilakukan karena besarnya jasa Joko Umar terhadap Mataram. Pada suatu malam hari menjelang pisowanan para Patuh, Patuh Mertalaya mencukur bulu kumisnya. Rontoknya bulu kumis terlihat bercahaya seperti percikan api yang jatuh ke tanah. Melihat hal tersebut, para Patuh kemudian melaporkan kejadian itu kepada Sunan Mas. Mendengar laporan para Patuh, Sunan Mas memanggil Mertalaya untuk menghadap.<br />Waktu itu, Sunan Mas masih perang batin dengan Raden Pragula yang terlihat diam namun batinnya tidak setuju dengan diangkatnya RM. Sutikna sebagai Sunan Amangkurat III. Raden Pragula adalah salah satu bupati di pesisir utara (Pati) yang sejak jaman Kanjeng Sunan Amangkurat I selalu menjadi penghalang raja-raja di Mataram. Maka itulah Sunan Mas kawatir dan memerintahkan Mertalaya untuk menumpas R. Pragula dengan membawa prajurit secukupnya. Mertalaya menyanggupi perintah itu, dan ia tidak meminta dikawal dengan prajurit yang banyak, namun cukup dengan empat orang prajurit yang ia anggap tangguh dan kuat. Empat orang itu adalah: Ki Jogasatru, Ki Rujakbeling, Ki Gobangkinosek, dan Ki Penthungpinanggul. Singkat cerita Patuh Mertalaya bersama empat orang prajurit tersebut akhirnya dapat menangkap dan membunuh R. Pragula. Lima orang tersebut kemudian kembali ke Mataram dengan membawa mayat R. Pragula.<br />Sunan Mas kemudian mengadakan selamatan di lingkungan kraton atas kemenangannya tersebut. Selanjutnya, Patuh Mertalaya dianugrahi pangkat Tumenggung dan kedudukan sebagai Bupati di Kraton Mataram dengan nama Tumenggung Mertanegara (Kanjeng Raden Tumenggung Mertanegara), sedangkan empat orang pengawalnya dianugrahi pangkat dan kedudukan sebagai bekel. Tumenggung Mertanegara kembali ke Biro dengan dianugrahi Kuda Boncengsari, Songsong Empok Lampit, Caping Sigar Jongkang, dan dikawal 40 prajurit.<br />Setelah kembali ke daerah asalnya, Mertanegara kemudian meneruskan adat selamatan tersebut di lokasi peninggalan Sunan Mas pada hari Rabu Kliwon bertepatan dengan hari kemenangannya. Sesuai dengan kondisi wilayahnya, upacara tersebut mulai dikaitkan dengan kegiatan pertanian. Tanah yang mereka terima sebagai imbalan pengabdian terhadap kerajaan (plungguh) harus digarap untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Adapun penggarapan tanah untuk pertanian tentu saja memerlukan air. Untuk itu, mereka mengadakan upacara sebagai sarana pepeling atas kemenangan Mertanegara, dan sebagai permohonan keselamatan serta keberhasilan kaum tani dalam mengolah lahan pertaniannya, dengan jalan tetap mengadakan upacara di komplek sumber air peninggalan Sunan Mas sebagai wujud penghormatan terhadap leluhur. Tradisi isi tetap dilaksanakan setiap tahunnya dalam rangka fungsi-fungsi tertentu, yakni sebagai pelestarian tradisi, fungsi spiritual, dan fungsi sosial.<br />b. Analisis<br />Kisah Sunan Mas dan Mertanegara yang dalam hal ini dianggap sebagai pepundhen atas keberadaan kolektif masyarakat Poyahan merupakan kisah yang mendasari adanya perayaan upacara tradisional Nyadran di wilayah tersebut. Tradisi yang dulu dilaksanakan Sunan Mas dan Mertanegara sebagai perwujudan selamatan atas kemenangan perang, kini diwujudkan untuk permohonan kemakmuran dan keselamatan masyarakat pendukungnya. Hal ini merupakan usaha masyarakat pendukungnya dalam hal pelestarian tradisi.<br />Pada masa pra Islam, tradisi selamatan adalah perilaku budaya masyarakat terhadap konsep animisme dan dinamisme. Namun pada kenyataannya, pada waktu ini tradisi selamatan masih dilaksanakan dengan memasukkan unsur-unsur Islam didalamnya (doa-doanya dalam versi Islam). Begitu juga dengan tradisi Nyadran di dusun Poyahan, meski sebagian besar masyarakatnya beragama Islam upacara tradisi tersebut masih terus dilaksanakan. Hal ini menunjukkan spiritual masyarakat dusun Poyahan dalam hal keyakinan. Mereka percaya, dengan penyelenggaraan upacara tersebut mereka akan terhindar dari marabahaya, mendapatkan ketentraman dan hasil bumi yang mencukupi.<br />Jika dilihat dari sosial-kemasyarakatannya, upacara tersebut secara tidak langsung berfungsi sebagai sarana sosial. Antara lain menunjukkan adanya kerukunan, kegotong-royongan, dan pengendali sosial. Hal ini dapat dilihat dari perilaku pendukung upacara dari persiapan, pelaksanaan hingga penutupan kegiatan, dimana mereka tidak dapat terlepas dari interaksi sosial untuk mewujudkan upacara tersebut.<br />c. Kesimpulan<br />Dari analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa mitos Sunan Mas yang mengadakan upacara di dusun Poyahan, oleh masyarakat pendukungnya kemudian diselenggarakan secara turun temurun. Penyelenggaran upacara ini tentunya mengalami berbagai perubahan. Sebagai contoh adalah tujuan penyelenggaraan upacara yang pada mulanya merupakan selamatan atas kemenangan perang Sunan Mas dengan Pragulapati, kemudian difungsikan sebagai media permohonan keselamatan dan keberhasilan dalam mengolah lahan pertanian oleh masyarakatnya. Hal tersebut sesuai dengan konsep budaya yang bersifat dinamis, selalu mencari bentuk baru sesuai dengan kondisi sosial masyarakat pendukungnya.<br />Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara fungsional mitos Sunan Mas merupakan kisah yang mendasari penyelenggaraan upacara Nyadran di dusun Poyahan. Upacara daerah yang melibatkan banyak orang, secara tidak langsung juga menunjukkan adanya fungsi sosial (kerukunan dan pengendali sosial), fungsi pelestarian tradisi, dan fungsi spiritual (menunjukkan keyakinan tertentu).<br />3. Contoh analisis mitos dengan menggunakan paradigma fungsionalisme struktural:<br />a. Paparan Mitos Percintaan Ratu Kidul dengan Panembahan Senopati<br />Sebelum Panembahan Senopati menjadi raja, pada saat beliau mulai berambisi untuk melepaskan diri dari Kasultanan Pajang, pamannya, yaitu Juru Martani menyarankan agar Panembahan Senopati memohon petunjuk kepada Tuhan dengan bertapa di pantai laut selatan. Sementara Ki Juru Martani akan memohon petunjuk Tuhan dengan bertapa di Gunung Merapi. Panembahan Senopati lalu mengapung di Kali Opak, mengikuti arus sampai ke muaranya di pantai laut selatan. Ketika Panembahan Senopati sampai di muara Sungai Opak, yaitu di Parangkusuma, muncul seekor ikan bernama Tunggul Wulung, menawarkan jasa untuk menggendongnya ke dasar samudra. Panembahan Senopati menolak, lalu ia duduk disebuah batu gilang untuk bertapa. Kekhusukan tapa Panembahan Senopati menimbulkan huru-hara di Kraton Laut Selatan. Air laut seakan mendidih, angin bertiup kencang menjadi badai dan taufan. Air bergelombang bagaikan diaduk. Karena itu, banyak ikan mati terlempar ke pantai.<br />Mengetahui kejadian itu, Kanjeng Ratu Kidul sebagai penguasa Lautan Selatan tergopoh-gopoh keluar dari laut untuk melihat hal apakah yang menyebabkan huru-hara di kerajaannya. Begitu melihat Panembahan Senopati yang sedang bertapa, Kanjeng Ratu Kidul memohon agar Panembahan Senopati menghentikan tapanya. Panembahan Senopati tidak menghiraukan permohonan Kanjeng Ratu Kidul tersebut. Keinginannya hanya satu, yaitu mohon petunjuk atas keinginannya untuk menjadi raja Mataram. Kanjeng Ratu Kidul lalu memberi tahu bahwa keinginannya akan terkabul. Dia akan menjadi raja besar di Mataram. Kanjeng Ratu Kidul juga berjanji akan ikut membantu menjaga ketentraman kerajaan Mataram nantinya secara turun temurun. Mendengar pernyataan dan janji Ratu Kidul, Panembahan Senopati lalu menghentikan tapanya. Oleh Kanjeng Ratu Kidul. Beliau diajak masuk ke Kraton Laut Kidul di dasar Samudra Indonesia sebagai tamu agung dan sekaligus mengikat jalinan percintaan. Sejak saat itulah Kanjeng Ratu Kidul menjadi kekasih Panembahan Senopati, dan selalu siap membantu apapun yang dibutuhkan Kerajaan Mataram.<br />Setelah Panembahan menjadi raja, Panembahan Senopati memberikan persembahan dalam bentuk upacara labuhan sebagai imbalannya. Persembahan itu berupa barang-barang tertentu sebagai pernyataan cintanya kepada Kanjeng Ratu Kidul. Sebagai balasannya, Kanjeng Ratu Kidul akan membantu menjaga ketentraman Kerajaan Mataram. Sebagai makhluk halus, Kanjeng Ratu Kidul hidup sepanjang masa. Sementara Panembahan Senopati sebagai manusia masa hidupnya terbatas. Untuk menjaga kelangsungan hubungan baik antara kerajaan Mataram dengan Kanjeng Ratu Kidul, raja-raja Mataram keturunan Panembahan Senopati-pun meneruskan tradisi itu. Bahkan menurut kepercayaan masyarakat, Kanjeng Ratu Kidul tetap menjadi kekasih para raja Mataram keturunan Panembahan Senopati. Oleh karena itu, upacara labuhan sebagai persembahan ungkapan tanda kasih terus dilaksanakan oleh raja-raja Mataram.<br />Apabila kewajiban itu diabaikan oleh anak cucu Panembahan Senopati yang memerintah Mataram, maka menurut kepercayaan, Kanjeng Ratu Kidul akan murka. Beliau akan mengirimkan pasukan makhluk halusnya untuk menyebarkan penyakit dan berbagai macam musibah yang akan menimbulkan mala petaka bagi rakyat dan kerajaan. Akan tetapi, apabila anak cucu Panembahan Senopati senantiasa memenuhi kewajibannya untuk menyelenggarakan labuhan, maka Kanjeng Ratu Kidul akan senantiasa ikut membantu keselamatan rakyat dan Kerajaan Mataram.<br />b. Cara Analisis<br />Langkah analisis yang pertama adalah mengambil ceriteme-ceriteme yang terdapat dalam mitos tersebut, yaitu:<br />1. Ki Juru Martani menyarankan agar Panembahan Senopati bertapa di pantai Laut Selatan agar terlepas dari Pajang dan nantinya menjadi raja di tanah Jawa.<br />2. Panembahan Senopati mengapungkan diri di Kali Opak mengikuti arus sampai muara pantai Laut Selatan.<br />3. Dalam perjalanannya ia bertemu dengan seekor ikan bernama Tunggul Wulung yang menawarkan jasa untuk mengantar Panembahan Senopati sampai dasar samudra, namun P. Senopati menolak.<br />4. Panembahan Senopati duduk bertapa di atas batu gilang.<br />5. Oleh karena kekhusukan tapanya menyebabkan timbulnya huru-hara di Kraton Lautan Selatan<br />6. Mengetahui hal tersebut, Ratu Kidul datang menemui Panembahan Senopati dan memohon untuk menghentikan tapanya.<br />7. Ratu Kidul memberi tahu bahwa keinginan Panembahan Senopati akan terkabul dan Ratu Kidul juga berjanji akan menjaga wilayah kekuasaan Panembahan Senopati kelak dikemudian hari secara turun temurun.<br />8. Mendengar pernyataan dan janji Ratu Kidul, Panembahan Senopati kemudian menghentikan tapanya.<br />9. Panembahan Senopati kemudian diajak masuk ke Kraton Lautan Selatan sebagai tamu agung dan sekaligus mengikatkan jalinan kasih dengan Ratu Kidul.<br />10. Panembahan Senopati berhasil menjadi Raja Mataram Islam. Sebagai imbalannya, Panembahan Senopati mengadakan labuhan dengan mempersembahkan barang-barang tertentu sebagai wujud pernyataan cintanya pada Ratu Kidul.<br />11. Anak keturunan Panembahan Senopati tetap menjalankan tradisi labuhan. Sebagai imbalannya, Ratu Kidul bersedia membantu Kerajaan Mataram secara turun temurun.<br />Analisis selanjutnya dengan mencari relasi-relasi fungsi yang terdapat dalam struktur mitos Ratu Kidul tersebut. Jika ditinjau dari sejarahnya, kisah percintaan Panembahan Senopati dengan Ratu Kidul terjadi ketika sebagian besar orang Jawa masih memeluk agama Hindu-Budha. Kisah persekutuan Panembahan Senopati yang berstatus sebagai Raja Mataram dengan Ratu Kidul sebagai Ratu Kraton Laut Selatan (penguasa makhluk halus) membuktikan adanya upaya kerjasama demi keberlangsungan masing-masing wilayahnya.<br />Panembahan Senopati yang seolah-olah lebih superior dibanding Ratu Kidul, namun tidak terkesan menguasai, merupakan kisah yang dapat dimaknai sebagai perembesan budaya secara damai. Hal ini berkaitan dengan adanya mitos Ratu Kidul merupakan kisah pra-Islam (Hindu-Budha) dan Panembahan Senopati sebagai penguasa kerajaan Islam Mataram, dimana keduanya mengalami sinkretisasi. Masa pra Hindu, Budha dan Islam di Jawa kemudian tidak dipandang sebagai bagian yang mencolok dan terpisah-pisah. Ada kesinambungan budaya dalam proses internalisasi Islam pada masa peralihan tersebut. Melalui mitos tersebut, kehadiran Islam di Kraton Jawa kemudian terasa sah, damai, dan masuk akal (Ahimsa-Putra, 2006: 361).<br />c. Kesimpulan<br />Dari analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa: adanya persekutuan Panembahan Senopati sebagai penguasa Mataram dan Ratu Kidul sebagai penguasa makhluk halus Kraton Lautan Selatan, menyatakan adanya hubungan Raja dengan Ratu sebagai pemegang kekuasaan wilayah yang dipimpinnya. Dengan demikian, kisah tersebut merupakan sanara legitimasi politik kekuasaan Mataram Islam, dimana Panembahan yang terkenal sakti tersebut akan semakin mudah memperluas wilayahnya dengan bantuan pasukan makhluk halus Ratu Kidul.<br />Disamping itu, proses internalisasi agama Islam di Kraton Mataram waktu peralihan menunjukkan adanya perembesan agama dan budaya secara damai, tidak terputus, sambung-menyambung dan dapat diterima oleh masyarakatnya (Raja berpengaruh terhadap penyebaran agama di wilayahnya). Dengan demikian secara fungsional-struktural, mitos persekutuan Panembahan Senopati dan Ratu Kidul tersebut menunjukkan legitimasi kekuasaan raja dan agama Islam melalui sinkretisme budaya.muditahttp://www.blogger.com/profile/05091005719901532104noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8872898609804187426.post-62164329531439999762011-08-19T16:40:00.000-07:002011-08-19T16:46:23.492-07:00LIRIK LAGU BARATI'm With You
<br />i'm standing on the bridge
<br />i'm waiting in the dark
<br />i thought that you'd be here by now
<br />there's nothing but the rain
<br />no footsteps on the ground
<br />i'm listening but there's no sound
<br />
<br />isn't anyone tryin’ to find me?
<br />won't somebody come take me home?
<br />
<br />(chorus)
<br />it's a damn cold night
<br />trying to figure out this life
<br />won't you take me by the hand
<br />take me somewhere new
<br />i don't know who you are
<br />but i... i'm with you
<br />i'm with you
<br />
<br />(mmm..)
<br />
<br />i'm looking for a place
<br />i'm searching for a face
<br />is anybody here i know?
<br />'cause nothing's going right
<br />and everything’s a mess
<br />and no one likes to be alone
<br />
<br />isn't anyone tryin’ to find me?
<br />won't somebody come take me home?
<br />
<br />(chorus)
<br />
<br />oh!
<br />
<br />why is everything so confusing?
<br />maybe i'm just out of my mind
<br />yeah.. yeah.. yeah!..yeah.. yeah,
<br />yeah.. yeah, yeah yeah,yeah...
<br />it's a damn cold night
<br />trying to figure out this life
<br />won't you take me by the hand
<br />take me somewhere new
<br />i don't know who you are
<br />but i....!
<br />i'm with you...
<br />i'm with you...
<br />take me by the hand
<br />take me somewhere new
<br />i don't know who you are
<br />but i!
<br />
<br />i'm with you...
<br />i'm with you...
<br />
<br />take me by the hand
<br />take me somewhere new
<br />i don't know who you are
<br />but i
<br />i'm with you
<br />i'm with you
<br />
<br />i'm with you
<br />
<br />Don't Tell Me
<br />
<br />you held my hand and walked me home i know
<br />while you gave me that kiss it was something like this it made me go ooh ohh
<br />you wiped my tears, got rid of all my fears, why did you have to go?
<br />guess it wasn’t enough to take up some of my love
<br />guys are so hard to trust
<br />did i not tell you that i’m not like that girl?
<br />the one who gives it all away
<br />
<br />[chorus:]
<br />did you think that i was gonna give it up to you, this time?
<br />did you think that it was somethin i was gonna do and cry?
<br />don’t try to tell me what to do,
<br />dont try to tell me what to say,
<br />your better off that way
<br />
<br />don’t think that your charm and the fact that your arm is now around my neck
<br />will get you in my pants i’ll have to kick your ass and make you never forget
<br />i’m gonna ask you to stop, thought i liked you a lot, but i’m really upset
<br />get out of my head get off of my bed yeah thats what i said
<br />did i not tell you that i’m not like that girl, the one who, throws it all away
<br />
<br />[chorus]
<br />did you think that i was gonna give it up to you, this time?
<br />did you think that it was somethin i was gonna do and cry?
<br />don’t try to tell me what to do,
<br />dont try to tell me what to say,
<br />your better off that way
<br />
<br />this guilt trip that you put me on won’t, mess me up i’ve done no wrong
<br />any thoughts of you and me have gone away
<br />
<br />[chorus]
<br />did you think that i was gonna give it up to you, this time?
<br />did you think that it was somethin i was gonna do and cry?
<br />don’t try to tell me what to do,
<br />dont try to tell me what to say,
<br />your better off that way
<br />
<br />better off that way
<br />i’m better off alone anyway
<br />
<br />
<br />Don't Matter
<br />
<br />akon don't matter lyrics:
<br />oooh
<br />ohoohwoo
<br />oooh
<br />ooohhwoo
<br />
<br />nobody wanna see us together
<br />but it don't matter no
<br />cause i got you
<br />nobody wanna see us together
<br />but it don't matter no
<br />cause i got you
<br />cause we gon'fight
<br />oh yeah we gon' fight
<br />believe we gon' fight
<br />fight for our right to love yeah
<br />nobody wanna see us together
<br />but it don't matter no
<br />cause i got you
<br />
<br />nobody wanna see us together
<br />nobody thought we last forever
<br />i feel them hopin' and prayin'
<br />things between us don't get better
<br />men steady comin' after you
<br />women steady comin' after me
<br />seems like everybody
<br />wanna go for self
<br />and don't wanna respect boundaries
<br />tellin' you all those lies
<br />just to get on your side
<br />but i must admit there
<br />was a couple secrets
<br />i held inside
<br />but just know that i tried
<br />to always apologize
<br />and im gonna have you first
<br />always in my heart
<br />to keep you satisfied
<br />
<br />nobody wanna see us together
<br />but it don't matter no
<br />cause i got you
<br />nobody wanna see us together
<br />but it don't matter no
<br />cause i got you
<br />cause we gon' fight
<br />oh yeah we gon' fight
<br />believe we gon' fight
<br />fight for our right to love yeah
<br />[ find more lyrics on www.mp3lyrics.org/au ]
<br />nobody wanna see us together
<br />but it don't matter no
<br />cause i got you
<br />
<br />got every right to wanna leave
<br />got every right to wanna go
<br />got every right to hit the road
<br />and never talk to me no more
<br />you don't even have to call
<br />even check for me at all
<br />cuz' the way i been actin' lately
<br />has been off the wall
<br />especially towards you
<br />puttin' girls before you
<br />and they watchin'
<br />everything i been doin'
<br />just to hurt you
<br />most of it just ain't true
<br />and they won't show you
<br />how much of a queen you are to me
<br />and why i love you baby
<br />
<br />nobody wanna see us together
<br />but it don't matter no
<br />cause i got you
<br />nobody wanna see us together
<br />but it don't matter no
<br />cause i got you
<br />cause we gon' fight
<br />oh yes we gon' fight
<br />believe we gon' fight
<br />fight for our right to love yeah
<br />nobody wanna see us together
<br />but it don't matter no
<br />cause i got you
<br />
<br />oh oh oh oh oh oh
<br />cause i got you
<br />cause i got you
<br />ooooh
<br />cause i got you
<br />cause i got you
<br />
<br />nobody wanna see us together
<br />but it don't matter no
<br />cause i got you
<br />nobody wanna see us together
<br />but it don't matter no
<br />cause i got you
<br />cause we gon' fight
<br />oh yes we gon' fight
<br />believe we gon' fight
<br />fight for our right to love yeah
<br />nobody wanna see us together
<br />but it don't matter no
<br />cause i got you
<br />nobody wanna see us together
<br />but it dont matter no
<br />cause i got you
<br />(cause i got you)
<br />muditahttp://www.blogger.com/profile/05091005719901532104noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8872898609804187426.post-23838359409532788102011-06-19T04:35:00.000-07:002011-06-19T04:37:45.963-07:00MASALAH DAN PENANGGULANGAN PADA LAPTOP1. LAPTOP HANG<br />• Tanda-tanda laptop hang adalah program tidak bisa berjalan dengan normal, mouse tidak dapat digerakkan,keyboard tidak berfungsi, atau muncul blue screen(tampilan layar berwarna biru dan tampilan error.<br />• Penyebabnya biasanya banyak faktor seperti suhu di atas batas normal, virus,atau mungkin spywere yang merusak file2 sistem dan menggangu proses kerja sistem, serta program aplikasi yang tidak sempurna saat proses instalasi sehingga ketika di jalankan juga akan mengakibatkan hang.<br /> Penyelesaian masalah ini dapat dilakukan dengan langkah-langkan sebagai berikit :<br />a. Memeriksa respon CPU<br />Langkah-langkah yang dilakukan seperti :<br />a) Memeriksa apakan respon CPU masih berjalan atau tidak, caranya dengan menekan salah satu tombol keybourd yang dapat megaktifkan lampu indikator sebagai petunjuk untuk kita, misalnya kita tekan tombol Caps lock pada laoptop.<br />b) Kemudian periksa apakah lampu indikatornya menyala atau tidak, jika lampunya menyala berarti laoptop tidak hang dan segera ganti mouse anda.<br />c) Jika lampu tak menyala lanjutkan pada langkah selanjutnya.<br />b. Kemungkinan Virus<br />Kemungkinan yang kedua adanya serangan dari virus, jika kita menggunakan SO windows lakukan virus scenning lewat safe mode. Memeriksa virus lewat safe mode lebih efektif ketimbang lewat windows normal, karena pada safe mode sistem bekerja secara minimal sehingga membuat antivirus lebih leluasa dalam melakukan scenning. Langkahnya sebagai berikut :<br />a) Matikan laptop kemudian hidupkan kembali, ketika sedang booting tekan F8 berkali-kali sampai muncul pilihan menu<br />b) Pada menu pilihlah SAFE MODE lalu tekan enter.<br />c) Masuklah ke sistem sebagai administrator<br />d) Tunggu sampai kotak pesan muncul, pilih YES untuk menjalankan safe mode pada sistem<br />e) Setelah itu baru sceen laptop dengan antivirus yang anda miliki.<br />c. Memeriksa suhu CPU<br />Suhu normal pada CPU adalah berkisar antara 30-60 derajat, periksa suhu laptop anda dari bios atau menggunakan softwere speedfan 4.35 yang disertakan pada CD ikuti langkah-langkah berikut :<br />a) Hidupkan laptop dan masuk kedalam bios, ketika sedang booting tekan DEL atau F2 berkali-kali sampai muncul bios, jika bios tidak muncul baca buku manual laptop anda.<br />b) Setelah masuk ke bios pilih menu PC HEALTH STATUS atau menu lain yang menginformasikan suhu laptop.<br />c) Jika suhu berlebih maka belilah pendingin tambahan untuk laptop anda.<br />d. Langkah yang terakhir adalah instal ulang sistem oprasi yang anda gunakan.<br />2. Laptop Tidak Menampilkan Gambar<br />Jika hal seperti ini yang terjadi maka kita perlu manganalisa komponen apa saja yang berhubungan dengan tampilan layar LCD, Seperti Kartu memori(Rendom access memory,RAM), Inverter, dan Kartu Grafis(Video Graphics Adapter,VGA). Perhatikan langkah-langkah berikut :<br />• Memeriksa Memori<br />Periksalah memori apakah sudah terpasang dengan benar, jika sudah dan laptop juga tak mau menampilkan gambar, pindahkan memori anda ke laptop yang lain dan jika laptop hidup dengan normal berarti kondisi memori anda baik, dan jika tidak mau menampilkan gambar jga segera ganti kartu memori anda.<br />• Memeriksa Inverter<br />Jika memorinya baik maka kita akan memeriksa bagian inverter, sebelumnya bongkar dulu laptopnya, periksa apakah inverter terpasang dengan benar, lalu apakah kondisi fisiknya baik atau tidak, perhatikan pada board inverter apakah ada komponen yang hangus atau tidak, dan jika ingin lebih pasti pasang inverter kita di laptop yang sejenis, jika memang rusak segera ganti<br />• Memeriksa LCD<br />Periksa lcd laptop anda ke laptop lain, apakah bermasalah, dan apabila berjalan dengan normal kemungkinan besar kerusakan terletak pada kartu grafis pada mainboard dan sebaiknya bawa ke tempat service.<br />3. Laptop Terkena Air<br />Kecerobohan bisa saja terjadi kapan saja, mungkin pada saat bekerja dan tak sengaja anda menyentuh gelas di samping dan laptop anda terkena air, nah jangan panik dan langkukan langkah berikut :<br />• Cabut adaptor laptop(jika terpasang) dan segera lepaskan batrai laptop, agar tidak terjadi korsleting pada bagian-bagian laptop.<br />• Bogkar pada bagian yang kena air dan segera keringkan. Jangan mengeringkan hardwere dengan alat pemanas seperti hard dryer, lebih baik di lap dengan kain dan didiamkan di udara yang kering. Sabar dan tunggu sampai laptop kering.<br />4. Mengetik Huruf Angka yang muncul<br />Hal ini dapat di selesikan dengan menekan tombol FN + F11/NUM LOCK pada keybourd.<br />5. Laptop Tidak Dapat Booting(Login Windows)<br />Kegagalan booting seperti ini bisa disebabkan dari komponen harddisk yang rusak atau juga sistem oprasi yang dirusak oleh virus atau trojan. Maka coba lakukan langkah berikut :<br />• Memeriksa harddisk terdeteksi atau tidak, bisa jadi harddisk kita tak terdeteksi oleh laptop, periksa harddisk lewat bios.<br />a) Hidupkan laptop dan tekan del atau F2<br />b) Pada bios di halaman awal kita sudah mengetahui apakah harddisk kita terdeteksi atu tidak, dan jika harddisk terdeteksi dan laptop tak mau booting berarti kondisi harddisk baik.<br />• Jika harddisk baik maka instal ulang SO<br />6. Laptop Tiba-tiba Mati<br />Laptop yang tiba-tiba mati bisa diakibatkan dari prosesor yang terlalu panas,hal ini bisa di akibatkan oleh saluran udara yang tersumbat, namun terlebih dahulu kita memeriksa pengaturan power pada laptop yang mungkin belum sesuai. Langkah-lanhkanhnya :<br />• Periksa Pengaturan Power<br />Pengaturan power bisa masuk melalui control panel dan pilih power option<br />• Periksa Suhu Laptop<br />Seperti yang telah di bahas di depan. Dan pastikan saluran udara laptop tak tersumbat, jangan menaruh laptop di tempat yang terlalu empuk.muditahttp://www.blogger.com/profile/05091005719901532104noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8872898609804187426.post-2046779817273519522011-04-15T23:54:00.000-07:002011-04-15T23:56:45.051-07:00KEDATANGAN AGAMA HINDU DAN BUDHA DI INDONESIAKeeksotisan india menyimpan berragam cerita. Kebudayaan yang berragam serta kepercayaan yang doimiliki oelh india seolah menasbihkan arti baru bagi kekayaan sebuah negara yang sebenarnya, Agama Hindu misalnya, yang sangat berakar di india bahkan keturunannya tumbuh berkembang dan menyebar sampai ke negara-negara tetangga, termasuk indonesia.<br /><br /> Perkembangan agama hindu di indonesia di mulai sejak ratusan tahun yang lalu, agama hindu bibawa langsung dari india dan tiongkok oleh seorang resi dari india, Resi Agastya dan musafir budha Pahyien dari tiongkok. Pada awal kedatangannya di indonesia kedua tokoh tersebut memang sudah bermaksud untuk menyebarkan dharma hindu dan ajaran-ajaran baik di indonesia.muditahttp://www.blogger.com/profile/05091005719901532104noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8872898609804187426.post-3060254318898238552011-01-07T06:09:00.001-08:002011-01-07T06:09:44.505-08:00PERKEMBANGAN AGAMA HINDUPENERAPAN AGAMA HINDU DI JAMAN KALIYUGA<br />Jaman Kaliyuga adalah jaman dimana keadaan tidak menentu, kacau atau tidak harmonis, bingung, Pada saat yang sama penerapan ajaran agama mendapat porsi yang sangat sedikit, demikian disampaikan oleh Pedanda Gunung dalam ceramahnya di Ruang Serbaguna PT. ISM Bogasari Flour Mills. <br /><br />Pada Kepustakaan Lontar Rogha Sanghara Bumi pada lampiran I B, dalam terjemahan disebutkan jaman Kaliyuga ditandai dengan peristiwa dimana para DEWA meninggalkan bumi dengan digantikan oleh para BHUTA menguasai bumi ini dan pada saat itu dunia mengalami kerancuan, ketidak harmonisan, malapetaka dan arah yang tidak menentu.<br /><br />Periode berlangsungnya/Kapan, berapa lama setiap jaman berlangsung? Pembagian jaman secara valid tidak diketahui batasnya dengan pasti. Yang perlu mendapat perhatian dalam kehidupan di dunia ini adalah bahwa kondisi pada pengaruh ke empat jaman terutama jaman Kali senantiasa ada, dan seberapa porsi pengaruh pada diri manusia tergantung pada perilaku manusia itu sendiri karena manusia merupakan pelaku utama terhadap keadaan harmoni maupun disharmoni-pada diri manusia terdapat sifat DEWA maupun KALA .<br /><br />BHAKTI / Kasih Sayang yang Murni kepada Tuhan (SIWA). Hal ini dapat dilakukan dengan mengucapkan/mengumandangkan nama suci Tuhan antara lain dengan menyebutkan nama aksara sucinya “Om Namah Siwaya” diucapkan melalui lahir bhatin secara berulang - ulang, Rasa Bhakti ini tidak hanya dilakukan ketika berada di Pura, tetapi dapat dilaksanakan pada tempat lainnya setiap saat.<br />TRESNA : Sikap bersahabat dengan orang lain/Kasih Sayang.<br /><br />ASIH : Bersikap Welas Asih pada semua makhiuk, hal ini dapat dilakukan dengan cara berperilaku yang baik, bahwa pada prisipwa kita tidak beda dengan yang lainnya . Hal ini ditegaskan dalam Veda yang dinyatakan dalam satu kalimat sutra yaitu ; Wasudewa Kutumbhakam : Semua mahluk berasal dari satu sumber yaitu Tuhan (Vasudeva) ; Semua mahkluk adalah saudara .<br /><br />Dalam kepustakaan lontar Agastya Parwa disebutkan tiga bentuk prilaku untuk mewujudkan harmoni di jagat raya ini serta jalan menuju nirvana (sorga) antara lain :<br />TAPA : Melakukan pengendalain diri baik fisik maupun mental.<br />YAJNA : Melaksanakan Agnihotra yang utama , yaitu pemujaan kehadapan Sanghyang Siwagni (Tuhan Yang Maha Esa)<br />KERTHI : Melaksanakan pelayanan yang direalisasikan dalam bentuk membangun tempat pengobatan (apotik,kKlinik dan rumah sakit), membangun tempat suci/pura/candi/, tempat peristirahatan, mengeloia tanah dengan baik/bercocok tanam (bertani), mengelola air minum dan kepentingan pengairan(pancuran) dan membuat penyimpanan air, kolam, waduk, bendungan (telaga). AA. Ketut Patera,SE.<br /><br /><br /><br /><br /><br />Kali-Yuga adalah salah satu dari empat (catur) Yuga yang kondisi kehidupan manusianya paling buruk dan paling jelek akibat kegelapan spiritual. Keempat Yuga dimaksud adalah:<br />1. Satya-Yuga<br />2. Treta-Yuga<br />3. Dvapara-Yuga, dan<br />4. Kali-Yuga.<br />Adapun ciri-ciri setiap Yuga dapat dilihat dari prinsip-prinsip dharma yang semakim merosot, suasana kehidupan manusia yang semakim jelek dan kegiatan penduduk dunia yang semakim korup.Sementara itu, prinsip-prinsip adharma semakim berkembang subur dan akhirnya merajalela di masyarakat manusia seraya melenyapkan prinsip-prinsip dharma. <br />Ciri-ciri setiap Yuga dapat diringkas sebagai berikut;<br /> <br /> <br />Menurut Bhagavata Purana 12.3.27-30, segala kegiatan di alam material ini terjadi karena interaksi Tri Guna, tiga sifat alam material yaitu: sattvam (kebaikan), rajas (kenafsuan) dan tamas (kegelapan). Ia (Tri-Guna) menyelimuti segala makhluk di alam material. Dan ketiga unsurnya itu berinteraksi karena dipicu oleh sang waktu, tenaga pengendali tak berwujud Sri Krishna. Yuga sebagai pencerminan ketiga sifat alam material tersebut dapat diringkas sebagai berikut.<br /> <br /> <br />Dari segi kenyamanan hidup, keempat Yuga tersebut di ibaratkan sebagai musim yang berbeda-beda. Dari segi kualitas kehidupan, keempat Yuga tersebut di ibaratkan sebagai logam yang berbeda-beda. Dari segi spiritual, keempat Yuga tersebut di-ibratkan sebagai kegiatan sang manusia yang berbeda-beda. Sebutan Yuga yang berbeda-beda itu dapat diringkas sebagai berikut.<br /> <br />Berdasarkan penelitian seksama terhadap Jyotir-Veda (ilmu Astronomi Veda), para akhli (sarjana tradisional Veda) menyatakan bahwa Kali-Yuga mulai pada tanggal 18 Pebruari 3102 SM ketika Raja Pariksit naik tahta Kerajaan Hastinapura. Dikatakan bahwa pada hari itu ke 7 (tujuh) planet termasuk Bulan dan Matahari tidak dapat dilihat dari Bumi, sebab mereka berjejer lurus satu arah dibalik Bumi. Sementara itu, planet Rahu yang tidak bisa dilihat mata telanjang, tepat berada diatas Bumi di langit yang gelap gulita. Oleh karena tahun Masehi telah berlangsung selama 2006 tahun, maka pernyataan bahwa Kali-Yuga mulai sekitar 5.100 tahun yang lalu diakui sebagai kebenaran oleh para penganut ajaran Veda.<br />Diceritrakan bahwa Raja Pariksit bertemu kepribadian Kali-Yuga dalam wujud seorang sudra berkulit hitam dan berpakaian seperti Raja di tepi sungai Saraswati ketika beliau memeriksa wilayah Kerajaannya. Si sudra sedang menyiksa sapi jantan (perlambang dharma) dan sapi betina (perlambang Bumi) dengan gada. Karena mohon maaf atas perbuatannya yang biadab, Raja Pariksit tidak membunuh si sudra. Beliau mengusir si sudra keluar wilayah Kerajaannya dan memperkenankan dia tinggal di 4 (empat) tempat yaitu:<br />1. Rumah Potong Hewan<br />2. Tempat pelacuran<br />3. Tempat perjudian, dan<br />4. Tempat dimana emas disimpan.<br />Veda menyatakan bahwa Bumi diliputi Kali-Yuga setelah Sri Bhagavan, Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa , Krishna kembali ke tempat tinggalnya Goloka-dhama di alam rohani. Dikatakan bahwa begitu Kali-Yuga memasuki Bumi, maka pape yad ramate janah, manusia mulai bersuka-ria dalam beraneka-macam kegiatan berdosa (Bhagavata Purana 12.2.29). Tetapi selama Sri Krishna masih menginjakkan kaki-Nya di Bumi, tavat kalir vai prthivim parakrantun na casakat, selama itu pula Kali-Yuga tidak berdaya menguasai Bumi (Bhagavata Purana 12.2.30).<br />Bhagavata Purana 12.2.31 menyatakan bahwa Kali-Yuga berlangsung selama dvadasabda satatmakah, dua abad deva, atau 1.200 tahun deva. Menurut tahun manusia, Kali-Yuga berlangsung selama 1.200 x 360 = 432.000 tahun (1 hari deva = 1 tahun manusia). Dari jumlah ini, 5.100 tahun telah berlalu, sehingga Kali-Yuga punya jangka waktu berlangsung yang masih lama yaitu 426.900 tahun manusia.<br />Dikatakan lebih lanjut oleh Veda bahwa Kali-Yuga mulai mencengkram penduduk Bumi dengan kekuatannya penuh ketika kumpulan bintang (planet) Sapta-Rishi bergerak dari garis edar Bulan yang di-sebut Magha ke garis edar Bulan yang disebut Purvasadha yaitu ketika Raja Nanda dan dinastinya mulai memerintah India (Bhagavata Purana 12.2.32). Itu terjadi sekitar 1977 tahun SM (Sebelum Masehi).<br />Kali-Yuga sebagai jaman kemerosotan akhlak dan moral ditunjukkan oleh pernyataan-pernyataan Veda berikut.<br />Veda menyatakan,”Sa kalir tamasa smrtah, Kali-Yuga disebut jaman tamas, kegelapan/kebodohan” (Bhagavata Purana 12.3.30). Tamas (kegelapan/kebodohan) adalah salah satu unsur Tri-Guna, tiga sifat alam material yaitu sattvam (kebaikan), rajas (kenafsuan) dan tamas (kegelapan).<br />Mengenai sifat alam tamas ini, Veda menjelaskan sebagai berikut, “Sifat alam tamas ini menyebabkan manusia mengkhayal, sehingga manusia menjadi berpikir tidak waras, malas dibidadang kerohanian dan banyak tidur”. Selanjutnya dikatakan,”Adharmam dharman iti ya manyate tamasavrta, diliputi sifat tamas, manusia menganggap yang benar adalah salah dan yang salah adalah benar, sehingga sarvarthan viparitams ca, segala kegiatannya menuju kearah sesat” (Bhagavad Gita 18.32).<br />Penjelasan Veda lebih lanjut adalah sebagai berikut:<br />1. Dalam masa Kali-Yuga, manusia cendrung semakim rakus, berprilaku jahat (korup) dan tidak mengenal belas-kasihan. Mereka bertengkar satu dengan yang lain tanpa alasan benar. Mereka bernasib malang, diliputi beraneka-macam keinginan material dan sudra-dasottarah prajah, mayoritas tergolong sudra dan manusia tidak beradab (Bhagavata Purana 12.3.25).<br />2. Kegiatan tipu-menipu dan berbohong, malas dibidang kerohanian, banyak tidur dan tindak kekerasan, kecemasan, kesedihan, kebingungan, ketakutan dan kemiskinan merajalela (Bhagavata Purana 12.3.30).<br />3. Karena fakta-fakta tersebut, maka Kali-Yuga sering disebut sebagai jaman kemerosotan akhlak dan moral, jaman perselisihan dan pertengkaran, jaman kepalsuan, jaman edan, jaman kekalutan, jaman kemunafikan, jaman penderitaan dan kesengsaraan.<br />Maha Rishi Sukadeva Goshwami menjelaskan 24 ciri Kali-Yuga kepada Raja Pariksit, yaitu;<br />1. Dharma merosot dan Adharma berkembang subur.<br />2. Kualitas, moral dan hidup manusia merosot.<br />3. Manusia bertabiat Asurik (jahat).<br />4. Manusia munafik dan curang.<br />5. Raja, kepala da pejabat negara bermoral buruk dan rendah.<br />6. Kekayaan material dan keniknatan indriyawi menjadi tujuan hidup.<br />7. Hukum dan keadilan ditentukan oleh kekuasaan.<br />8. Perkawinan berlangsung karena daya tarik material dan sex berdasarkan prinsip suka sama suka.<br />9. Segala urusan dan hubungan bisnis berlandaskan tipu-muslihat.<br />10. Para brahmana sibuk dengan urusan mengenyangkan perut dan memuaskan kemaluan.<br />11. Aturan hidup varna-asrama dharma dicampakkan.<br />12. Manusia selalu berpikir keliru.<br />13. Kekuasaan dicapai melalui kekuatan.<br />14. Rakyat menderita karena bencana alam, kelaparan, beban pajak, penyakit dan kecemasan.<br />15. Wanita hidup bebas dan tidak suci.<br />16. Veda dimengerti dengan pola pikir atheistik.<br />17. Kota-kota dikuasai para bandit.<br />18. Sapi dibunuh untuk makanan.<br />19. Majikan dan pelayan saling tidak setia.<br />20. Laki-laki dikendalikan wanita.<br />21. Orang-orang sudra menipu melalui praktek kerohanian.<br />22. Manusia menjadi amat individualistik.<br />23. Manusia dan alam terkena polusi, danManusia melalaikan Tuhan karena berwatak atheistik.<br /><br /><br /><br />Kiamat Menurut Hindu <br />Untuk berbagi dan menambah cakrawala pikir, berikut saya cuplikkan tulisan mengenai Kiamat Menurut Hindu. Mudah-mudahan ada manfaatnya.<br />Berikut tulisannya.<br />OM Awighnam Astu Namo Sidham,<br />Om Swastyastu<br />Hari ini sebagaimana kita ketahui merupakan rainan Purnama Sasih Kanem. Marilah kita menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas anugerah yang diberikan-Nya sehingga kita ada dalam keadaan sehat tidak kurang suatu apapun juga. Yang kedua kami pribadi menyampaikan terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk membawakan dharma wacana kali ini, karena dengan kesempatan ini memacu kami untuk mencari tahu lebih banyak, membaca lebih banyak sehingga harapan kami mampu tampil mewartakan dharma dengan baik.<br />Pada kesempatan ini, kami sangat tertarik untuk mencari permasalahan aktual yang berkembang akhir-akhir ini, dan kebetulan pada saat kami jalan-jalan di Gramedia, kami menemukan banyak sekali buku (lebih dari 3 judul) yang membahas tentang tahun 2012, lebih spesifik lagi, KIAMAT 2012. Dan ternyata bukan buku saja yang banyak mengulas tentang Kiamat 2012 ini, tetapi juga berbagai acara TV dalam 1 bulan belakangan ini. Tidak sedikit yang percaya akan ramalan yang sebenarnya bermula dari Suku Maya ini (–manuskrip peninggalan suku Maya system penanggalannya berakhir pada 21-12-2012 yang diinterpretasikan sebagai kiamat–), Dan bahkan yang paling fenomenal adalah diluncurkannya film Hollywood dengan judul “2012” dan mencetak box office (–MUI Jatim melarang untuk menonton film ini–), karena keingintahuan yang sedemikian besar tentang kiamat.<br />Berbagai kalangan baik agama ataupun secara ilmiah sudah mengungkapkan tentang kiamat. Bahkan yang paling menghebohkan adalah Teori Kiamat Planet X/Nibiru yang akan menabrak Bumi pada 21-12-2012 (–hal ini kemudian terbantahkan secara ilmu astronomi–). Untuk itu, dalam dharma wacana kali ini kami mengangkat Tema : KIAMAT MENURUT AGAMA HINDU. Hal-hal akan dicoba diulas adalah sebagai berikut :<br />- Apakah Hindu mengenal konsep kiamat? Jika ya, Bagaimanakah konsep kiamat menurut agama Hindu?<br />- Kapan kiamat menurut Hindu?<br />- Bagaimana kita menyikapi jaman Kali saat ini?<br />Baiklah kita mencoba membahas kedua hal tsb satu per satu :<br />a. Kiamat menurut agama Hindu<br />Bapak-bapak, Ibu-ibu serta adik-adik yang kami banggakan, Setelah kami cuplik bagaimana kiamat menurut Suku Maya dan juga Ilmu Pengetahuan Modern sebelumnya, walaupun sebenarnya masih ada banyak lagi paham, golongan maupun agama yang memiliki konsep mengenai Kiamat ini. Pendapat atau pandangan tentang dunia kiamat itu dalam era demokrasi dewasa ini tentunya boleh-boleh saja. Yang patut dijelaskan, khususnya pada kesempatan yang berbahagia ini adalah, bagaimanakah pandangan Hindu tentang dunia kiamat ini.<br />Semua ciptaan Tuhan ditata berdasarkan hukum utpati (tercipta), sthiti (hidup terpelihara) dan pralina (lenyap kembali kepada asalnya). Alam dan isinya ini, setelah masanya selesai beredar dan berputar-putar, akan pralina atau pralaya.<br />Istilah kiamat memang tidak dijumpai dalam ajaran Hindu, karena memang itu bukan bahasa Sansekerta, bahasa yang dipakai dalam ajaran Hindu. Namun, yang sejajar dengan konsep kiamat adalah konsep pralina atau pralaya yang ada dalam kitab-kitab Purana. Dalam kitab-kitab Purana, utpati, sthiti dan pralina dibahas secara khusus. Memang terdapat sedikit perbedaan antara Purana satu dan Purana lainnya mengenai konsep ini. Namun, secara umum menyangkut hal-hal yang substansial tentang pralaya, semua Purana isinya sama, bahwa semua ciptaan Tuhan ini kena hukum TRI KONA yaitu utpati, sthiti dan pralina itu.<br />Empat Konsep Pralaya<br />Konsep pralaya dalam Wisnu dan Brahma Purana ada dinyatakan empat konsep pralaya yaitu:<br />* Nitya Pralaya yaitu proses kematian yang terjadi setiap hari dari semua makhluk hidup. Bahkan dalam diri manusia pun setiap detik ada sel tubuhnya yang mati dan diganti dengan sel baru. Sel tubuh manusia terjadi utpati, sthiti dan pralina.<br />*Naimitika pralaya adalah pralaya yang terjadi dalam satu periode manu. Menurut pandangan ini akan terjadi pralaya terbatas dalam setiap akhir manwantara. Ini artinya akan terjadi 14 kali naimitika pralaya atau kiamat terbatas atau kehancuran alam secara terbatas.<br />* Prakrtika Pralaya yaitu terjadinya pralaya secara total setelah manwantara ke-14. Saat terjadinya Prakrtika Pralaya, seluruh alam semesta beserta isinya lenyap dan kembali pada Brahman atau Tuhan Yang Mahaesa dalam waktu yang panjang atau satu malamnya Brahma. Setelah itu akan terjadi penciptaan lagi dan memulai dengan manwantara pertama lagi. Prakrtika Pralaya inilah yang mungkin identik dengan konsep kiamat menurut kepercayaan lainnya. Karena, semua unsur alam dengan segala isinya kembali pada Brahman. Menurut keyakinan Hindu, hanya Tuhanlah yang kekal abadi. Tapi gambaran dan keadaan mahapralaya sangat berbeda dengan gambaran dan keadaan hari Kiamat. Hari Kiamat digambarkan sebagai kehancuran dasyat yang membawa siksa dan penderitaan tiada taranya bagi manusia. Mahapralaya digambar dengan sangat berbeda: Brahman adalah kebahagian; sebab dari kebahagiaan semua mahluk hidup, dalam kebahagiaan mereka semua hidup, dan ke dalam kebahagiaan mereka semua kembali”!. (Tattiriya Upanishad). Seperti seorang meninggal dengan tenang pada usia tua.<br />* Atyantika Pralaya yaitu pralaya yang disebabkan oleh kemampuan spiritualnya melalui suatu pemberdayaan jnana yang amat kuat sehingga seluruh dirinya masuk secara utuh lahir batin kepada Tuhan Brahman.<br />b. Kapan Pralaya menurut Hindu?<br />Dalam kitab Brahma Purana, dinyatakan satu hari Brahman (satu kalpa) atau satu siang dan satu malamnya Tuhan lamanya 14 manwantara. Satu manwantara = 71 maha yuga. Satu maha yuga = empat zaman yaitu kerta, treta, dwapara dan kali yuga. Satu maha yuga = 4,32 juta tahun manusia.<br />Sekarang peredaran alam semesta sedang berada pada manwantara ketujuh dibawah pimpinan Vaivasvata Manu. Ini artinya pralaya atau kiamat total akan terjadi setelah manu ke-14 berakhir (14×71×10000×432=4.294.800.000 tahun manusia). Manu ke-14 adalah Suci sebagai Indra Savarni Manu.<br />Ada 2 sisi yang kontradiktif antara ilmu pengetahuan dengan agama. Agama : Believing is Seeing (percaya dulu baru bisa melihat), Science : Seeing is Believing (melihat dulu baru bisa percaya). Oleh karena itu, semua dikembalikan pada kita, karena semua perhitungan di atas diluar kemampuan manusia.<br />Demikianlah konsep pralaya (semacam kiamat) menurut Hindu. Yakinlah, pralaya dalam arti Prakrtika Pralaya tidak akan terjadi dalam waktu dekat ini, apalagi dinyatakan akhir tahun ini atau 21-12 tahun 2012 mendatang. Sedangkan Nitya Pralaya akan terjadi dalam setiap hari, ada makhluk hidup yang mati dan ada yang lahir.<br />c. Bagaimana menyikapi jaman Kali?<br />Lalu, jika memang kiamat itu akan datang, baik dalam waktu dekat ataupun kapan pun datangnya, apakah kita harus khawatir?<br />Jawabnya adalah : TIDAK. Mengapa?<br />Dalam Bhagavadgita 4.7 disampaikan :<br />yada yada hi dharmasya<br />glanir bhavati bharata<br />abhyutthanam adharmasya<br />tadatmanam srjam y aham<br />Kapanpun dan dimanapun pelaksanaan dharma merosot dan hal-hal yang bertentangan dengan dharma merajalela, pada waktu itulah Aku (Tuhan) sendiri turun untuk menegakkannya kembali”<br />Jadi disana jelas disebutkan bahwa Tuhan akan turun (mengambil wujud ) setiap terjadi kemerosotan Dharma , kondisi ini akan terjadi terus menerus tidak berhenti pada suatu titik tapi terus terjadi sesuai dengan siklus waktu.<br />Dalam Bhagavata Purana (1.1.10) disampaikan<br />präyeëälpäyuñaù sabhya<br />kaläv asmin yuge janäù<br />mandäù sumanda-matayo<br />manda-bhägyä hy upadrutäù<br />“Wahai orang-orang yang terpelajar,<br />dalam jaman Kali, atau jaman besi,<br />umur manusia sangat pendek.<br />Mereka suka bertengkar, malas, mudah<br />disesatkan (salah pimpin), bernasib<br />malang, dan diatas segala-galanya,<br />mereka selalu gelisah.”<br />Berikutnya kami kutipkan dari Manawa Dharmasastra, I.86<br />Tapah param krta yuge<br />Tretayam jnanamuscyate.<br />Dwapare yajnaewahur<br />Danamekam kalau yuge.<br />Artinya: Pada zaman Kerta Yuga, dengan bertapalah cara beragama yang paling utama. Zaman Treta Yuga, beragama dengan mengamalkan ilmu pengetahuan suci (jnana) itulah yang paling utama. Zaman Dwapara, yadnya-lah yang paling utama. Sedangkan pada zaman Kali Yuga, dana punia-lah cara beragama yang paling utama.<br />Untuk menyelamatkan diri dari pengaruh buruk pada setiap perjalanan yuga itu, Swami Satya Narayana menyatakan agar manusia berperilaku seperti zaman atau mengikuti yuga sebelumnya. Misalnya, pada zaman treta, Sri Rama dan para pengikutnya berperilaku mengikuti zaman kerta yuga meskipun Sri Rama hidup pada zaman treta yuga. Sedangkan Rahwana berperilaku seperti zaman kali. Karena itu, Sri Rama dengan pengikutnya selamat hidup di bawah lindungan dharma dan Rahwana hancur karena hidup berdasarkan adharma.<br />Demikian juga Pandawa dengan Sri Krisna hidup pada zaman dwapara yuga, tetapi perilakunya mengikuti zaman kerta dan treta yuga. Dengan demikian Pandawa dan Sri Krisna memenangkan hidup berdasarkan dharma, sedangkan Korawa hancur karena mengikuti cara hidup yang adharma.<br />Demikianlah kini, kalau ingin selamat dari pengaruh zaman kali, hiduplah seperti zaman dwapara. Bahkan kalau bisa, ikuti treta atau kerta, maka akan selamatlah dari pengaruh buruk zaman kali. Justru pengaruh baiknya yang akan didapatkan.<br />Kesimpulan :<br />Bapak-bapak, Ibu-ibu serta adik-adik yang kami banggakan, dari pemaparan di atas, dapat kami simpulkan beberapa hal sebagai berikut :<br />- Dalam agama Hindu dikenal konsep Pralina atau Pralaya yang dibagi dalam 4 konsep, yaitu : Nitya, Naimitika, Prakrtika dan Atyantika Pralaya.<br />- Untuk Prakrtika Pralaya (semacam kiamat) akan terjadi setelah manvantara ke-14 (4,294 milyar tahun), sementara kita saat ini berada pada manvantara ke-7.<br />Di jaman Kali ini, kita harus mengutamakan sikap/perilaku di jaman Dwapara (beryadnya) dan jika memungkinkan mengikuti Treta Yuga (jnana) atau Kerta Yuga (tapa), untuk menyelamatkan diri dari pengaruh buruk pada setiap perjalanan yuga. Mudah-mudahan apa yang kami sampaikan ada manfaatnya dan sebagai penutup, ijinkan kami menyampaikan Parama Shanti :<br />Om Shanti, Shanti, Shanti Om.<br />Makassar, 1 Desember 2009<br />Pembawa Dharma Wacana,<br />A.A. Pemayun, SE, MM<br />Daftar Pustaka :<br />1.I Ketut Wiana, Posted on 10. Aug, 2009 by Speqlen in Hindu.<br />2.A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada. 1989. Bhagavad-Gita menurut aslinya.<br />3.Berbagai sumber di internet.<br /><br /><br />Sejarah Perkembangan Agama Hindu<br />Hindu Dharma, Sanàtana Dharma dan Vaidika Dharma.<br /> <br />Dalam upaya memantapkan pandangan kita terhadap ajaran Hindu Dharma terlebih dahulu kami ingin menekankan kembali nama dan sumber ajaran Hindu atau Hindu Dharma yang kita kenal sebagai satu agama tertua yang masih dianut oleh umat manusia. Hal ini kami pandang sangat perlu mengingat sampai sekarang masih ada pandangan dan buku-buku yang mendiskreditkan agama Hindu dan menganggap agama Hindu sebagai agama yang tidak bersumber pada wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Bahkan Prof. Dr. Mukti Ali, sebagai tokoh ahli perbandingan agama di Indonesia pada Kongres Agama-Agama di Indonesia, tanggal 11 Oktober 1993 di Yogyakarta menyatakan bahwa agama Hindu tidak mengenal missi karena dibatasi oleh sistem kasta. Bilama Hindu tidak mengenal missi, bagaimana orang Indonesia di masa yang lalu memeluk agama Hindu?<br />Siapakah yang menyebarkan agama Hindu ke Indonesia? Selanjutnya tentang kasta adalah bentuk penyimpanan dan interpretasi yang keliru dari pengertian Varna sebagai tersebut dalam kitab suci Veda. Yang dimaksud dengan Varna adalah pilihan profesi sesuai dengan Guóa (bakat pembawaan orang) dan Karma (kerja yang dia lakoni) oleh setiap orang.<br />Dipakai nama Hindu Dharma sebagai nama agama Hindu menunjukkan bahwa kata Dharma mempunyai pengertian yang jauh lebih luas dibandingkan dengan pengertian kata agama dalam bahasa Indonesia. Dalam kontek pembicaraan kita saat ini pengertian Dharma disamakan dengan agama. Jadi agama Hindu sama dengan Hindu Dharma. Kata Hindu sebenarnya adalah nama yang diberikan oleh orang-orang Persia yang mengadakan komunikasi dengan penduduk di lembah sungai Sindhu dan ketika orang-orang Yunani mengadakan kontak dengan masyarakat di lembah sungai Sindhu mengucapkan Hindu dengan Indoi dan kemudian orang-orang Barat yang datang kemudian menyebutnya dengan India. Pada mulanya wilayah yang membentang dari lembah sungai Shindu sampai yang kini bernama Srilanka, Pakistan, Bangladesh disebut dengan nama Bhàratavarsa yang disebut juga Jambhudvìpa. <br />Kata Sanàtana Dharma berarti agama yang bersifat abadi dan akan selalu dipedomani oleh umat manusia sepanjang Nama asli dari agama ini masa, karena ajaran yang disampaikan adalah kebenaran yang bersifat universal, merupakan santapan rohani dan pedoman hidup umat manusia yang tentunya tidak terikat oleh kurun waktu tertentu. Kata Vaidika Dharma berarti ajaran agama yang bersumber pada kitab suci Veda, yakni wahyu Tuhan Yang Maha Esa (Mahadevan, 1984: 13).<br />Kitab suci Veda merupakan dasar atau sumber mengalirnya ajaran agama Hindu. Para åûi atau mahàrûi yakni orang-orang suci dan bijaksana di India jaman dahulu telah menyatakan pengalaman-pengalaman spiritual-intuisi mereka (Aparokûa-Anubhuti) di dalam kitab-kitab Upaniûad, pengalaman-pengalaman ini sifatnya langsung dan sempurna. Hindu Dharma memandang pengalaman-pengalaman para mahàrûi di jaman dahulu itu sebagai autoritasnya (sebagai wahyu-Nya). Kebenaran yang tidak ternilai yang telah ditemukan oleh para mahàrûi dan orang-orang bijak sejak ribuan tahun yang lalu, membentuk kemuliaan Hinduisme, oleh karena itu Hindu Dharma merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa (Sivananda, 1988: 4)<br />Kebenaran tentang Veda sebagai wahyu Tuhan Yang Maha Esa ditegaskan oleh pernyataan yang terdapat dalam kitab Taittiriya Aranyaka 1.9.1 (Dayananda, 1974:LI) maupun maharsi Aupamanyu sebagai yang dikutip oleh mahàrûi Yàûka (Yàskàcarya) di dalam kitab Nirukta II.11 (Loc.Cit). Bagi umat Hindu kebenaran Veda adalah mutlak, karena merupakan sabda Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya Úrì Chandrasekarendra Sarasvati, pimpinan tertinggi Úaýkara-math yakni perguruan dari garis lurus Úrì Úaýkaràcarya menegaskan : Dengan pengertian bahwa Veda merupakan sabda Tuhan Yang Maha Esa (Apauruûeyam atau non human being) maka para maharsi penerima wahyu disebut Mantradraûþaá (mantra draûþaá iti åûiá). Puruûeyaý artinya dari manusia. Bila Veda merupakan karangan manusia maka para maharsi disebut Mantrakarta (karangan/buatan manusia) dan hal ini tidaklah benar. Para maharsi menerima wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa (Apauruûeyam) melalui kemekaran intuisi (kedalaman dan pengalaman rohani)nya, merealisasikan kebenaran Veda, bukan dalam pengertian atau mengarang Veda. Apakah artinya ketika seorang mengatakan bahwa Columbus menemukan Amerika ? Bukankah Amerika telah ada ribuan tahun sebelum Columbus lahir? Einstein, Newton atau Thomas Edison dan para penemu lainnya menemukan hukum-hukum alam yang memang telah ada ketika alam semesta diciptakan. Demikian pula para maharsi diakui sebagai penemu atau penerima wahyu tuhan Yang Maha Esa yang memang telah ada sebelumnya dan karena penemuannya itu mereka dikenal sebagai para maharsi agung. Mantra-mantra Veda telah ada dan senantiasa ada, karena bersifat Anadi-Ananta yakni kekal abadi mengatasi berbagai kurun waktu. Oleh karena kemekaran intuisi yang dilandasi kesucian pribadi mereka, para maharsi mampu menerima mantra Veda. Para mahàrûi penerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa dihubungkan dengan Sùkta (himpunan mantra), Devatà (Manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang menurunkan wahyu) dan Chanda (irama/syair dari mantra Veda). Untuk itu umat Hindu senantiasa memanjatkan doa pemujaan dan penghormatan kepada para Devatà dan maharsi yang menerima wahyu Veda ketika mulai membaca atau merapalkan mantra-mantra Veda (Chandrasekharendra, 1988: 5).<br />Kitab suci Veda bukanlah sebuah buku sebagai halnya kitab suci dari agama-agama yang lain, melainkan terdiri dari beberapa kitab yang terdiri dari 4 kelompok yaitu kitab-kitab Mantra (Saýhità) yang dikenal dengan Catur Veda (Ågveda, Yajurveda, Sàmaveda atau Atharvaveda). Masing-masing kitab mantra ini memiliki kitab-kitab Bràhmaóa, Àraóyaka dan Upaniûad) yang seluruhnya itu diyakini sebagai wahyu wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang didalam bahasa Sanskerta disebut Úruti. Kata Úruti berarti sabda tuhan Yang Maha Esa yang didengar oleh para maharsi. Pada mulanya wahyu itu direkam melalui kemampuan mengingat dari para maharsi dan selalu disampaikan secara lisan kepada para murid dan pengikutnya, lama kemudian setelah tulisan (huruf) dikenal selanjutnya mantra-mantra Veda itu dituliskan kembali. Seorang maharsi Agung, yakni Vyàsa yang disebut Kåûóadvaipàyaóa dibantu oleh para muridnya menghimpun dan mengkompilasikan mantra-mantra Veda yang terpencar pada berbagai Úàkha, Aúsrama, Gurukula atau Saýpradaya.<br />Didalam memahami ajaran agama Hindu, disamping kitab suci Veda (Úruti) yakni wahyu Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber tertinggi, dikenal pula hiarki sumber ajaran agama Hindu yang lain yang merupakan sumber hukum Hindu adalah Småti (kitab-kitab Dharmaúàstra atau kitab-kitab hukum Hindu), Úìla (yakni tauladan pada mahàrûi yang termuat dalam berbagai kitab Itihàsa (sejarah) dan Puràóa (sejarah kuno), Àcàra (tradisi yang hidup pada masa yang lalu yang juga dimuat dalam berbagai kitab Itihasa (sejarah) dan Àtmanastuûþi, yakni kesepakatan bersama berdasarkan pertimbangan yang matang dari para maharsi dan orang-orang bijak yang dewasa ini diwakili oleh majelis tertinggi umat Hindu dan di Indonesia disebut Parisada Hindu Dharma Indonesia. Majelis inilah yang berhak mengeluarkan Bhisama (semacam fatwa) bilamana tidak ditemukan sumber atau penjelasannya di dalam sumber-sumber ajaran Hindu yang kedudukannya lebih tinggi.<br />Karakteristik Hindu Dharma<br />Hindu Dharma memperkenalkan kemerdekaan mutlak terhadap pikiran rasional manusia. Hindu Dharma tidak pernah menuntut sesuatu pengekangan yang tidak semestinya terhadap kemerdekaan dari kemampuan berpikir, kemerdekaan dari pemikiran, perasaan dan pemikiran manusia. Ia memperkenalkan kebebasan yang paling luas dalam masalah keyakinan dan pemujaan. Hindu Dharma adalah suatu agama pembebasan. Ia memperkenalkan kebebasan mutlak terhadap kemampuan berpikir dan perasaan manusia dengan memandang pertanyaan-pertanyaan yang mendalam terhadap hakekat Tuhan Yang Maha Esa, jiwa, penciptaan, bentuk pemujaan dan tujuan kehidupan ini. Hindu Dharma tidak bersandar pada satu doktrin tertentu ataupun ketaatan akan beberapa macam ritual tertentu maupun dogma-dogma atau bentuk-bentuk pemujaan tertentu. Ia memperkenalkan kepada setiap orang untuk merenungkan, menyelidiki, mencari dan memikirkannya, oleh karena itu, segala macam keyakinan/Úraddhà, bermacam-macam bentuk pemujaan atau sadhana, bermacam-macam ritual serta adat-istiadat yang berbeda, memperoleh tempat yang terhormat secara berdampingan dalam Hindu Dharma dan dibudayakan serta dikembangkan dalam hubungan yang selaras antara yang satu dengan yang lainnya. <br />Tentang kemerdekaan memberikan tafsiran terhadap Hindu Dharma di dalam Mahabharata dapat dijumpai sebuah pernyataan : "Bukanlah seorang maharsi (muni) bila tidak memberikan pendapat terhadap apa yang dipahami" (Radhakrishnan, I, 1989: 27). Inilah salah satu ciri atau karakteristik dari Hindu Dharma. Karakteristik atau ciri khas lainnya yang merupakan barikade untuk mencegah berbagai pandangan yang memungkinkan tidak menimbulkan pertentangan di dalam Hindu Dharma adalah Àdikara dan Iûþa atau Iûþadevatà (Morgan, 1987: 5). Àdikara berarti kebebasaan untuk memilih disiplin atau cara tertentu yang sesuai dengan kemampuan dan kesenangannya, sedangkan Iûþa atau Iûþadevatà adalah kebebasan untuk memilih bentuk Tuhan Yang Maha Esa yang dijelaskan daalam kitab suci dan susatra Hindu, yang ingin dipuja sesuai dengan kemantapan hati.<br />Svami Sivananda, seorang dokter bedah yang pernah praktek di Malaya (kini Malaysia) kemudian meninggalkan profesinya itu menjadi seorang Yogi besar dan rohaniawan agung pendiri Divine Life Society menyatakan : Hindu Dharma sangatlah universal, bebas, toleran dan luwes. Inilah gaambaran indah tentang Hindu Dharma. Seorang asing merasa terpesona keheranan apabila mendengar tentang sekta-sekta dan keyakinan yang berbeda-beda dalam Hindu Dharma; tetapi perbedaan-perbedaan itu sesungguhnya merupakan berbagai tipe pemahaman dan tempramen, sehingga menjadi keyakinan yang bermacam-macam pula. Hal ini adalah wajar. Hal ini merupakan ajaran yang utama dari Hindu Dharma; karena dalam Hindu dharma tersedia tempat bagi semua tipe pemikiran dari yang tertinggi sampai yang terendah, demi untuk pertumbuhan dan evolusi mereka (1984: 34). <br />Sejalan dengan pernyataan ini Max Muller mengatakan bahwa Hindu Dharma mempunyai banyak kamar untuk setiap keyakinan dan Hindu Dharma merangkum semua keyakinan tersebut dengan toleransi yang sangat luas dan Dr.K.M. Sen mengatakan bahwa dengan definisi Hinduisme menimbulkan kesulitan lain. Agama Hindu menyerupai sebatang pohon yang tuumbuh perlahan dibandingkan sebuah bangunan yang dibangun oleh arsitek besar padaa saat tertentu (Natih: 1994: 116).<br /><br /><br /><br /><br /><br />Suka Duka di Jaman Kali (Sebuah Fenomena Sosial)<br /><br /><br />Sebagaimana kita ketahui bahwa Hindu mengenal empat jaman dari Treta Yuga, Kertha Yuga, Dwapara Yuga dan yang terakhir adalah Kali Yuga. Kehidupan kita sekarang ini berada pada jaman kali Yuga. Pada jaman ini banyak hal yang terjadi dan bertentangan dengan hati nurani. Anehnya kegiatan yang justru bertentangan dengan konsep hati nurani banyak penggemarnya. Inilah yang perlu kita kaji dan menjadi acuan berpikir, berkata dan bertindak untuk tetap kiranya ajeg dalam tatanan ajaran Dharma. <br /><br />Kehidupan ini terikat oleh suka dan duka, dimana segala pujian akan datang ketika dalam keadaaan suka dan begitu juga sebaliknya keadaan duka segala penderitaan dan hinaan datang bertamu kepada kita tanpa diuandang. Sesungguhnya Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Kuasa tidak memberikan kita ujian berat yang melebihi kemampuan kita. Kejadian dan perbuatan asubha karma yang dilakukan oleh manusia pada saat ini merupakan contoh konkrit, bahwa ternyata antara kandungan suci falsafah agama yang begitu ideal ternyata pada pelaksanaannya tidaklah sejalan dengan ajaran agama, sistem pengendalian diri yang bersumber pada ajaran Tri Kaya Parisuda, pada saat ini tidak banyak orang yang mampu menerapkannya dengan berbagai alasan kondisi situasional. Penerapan berpikiran yang baik, saat ini sangat sulit dilakukan karena berbagai intrik pribadi maupun kelompok yang membentuk konfigurasi yang kompleks, sehingga manusia merasa saling berebut pembenaran untuk mencapai tujuan yang dianggap paling benar. Penerapan berkata yang baik sesungguhnya sulit juga dilakukan, tutur kata seseorang ibaratkan dapat membunuh orang lain meskipun tidak menyentuhnya secara phisik sedikitpun, tutur kata yang bijak menurut kelompok yang satu, belum tentu baik menurut kelompok yang lain, sehingga sulitlah berkata yang baik. Penerapan bertindak yang baik adalah hal yang lebih sulit lagi dijaman kali yuga ini. Sudah banyak hal-hal yang baik dilakukan misalnya kegiatan keagamaan, tirtayatra, korban suci dan yadnya yang menghabiskan biaya jutaan rupaih, tablik akbar, misa Gereja. Begitu juga banyak buku-buku agama yang tersedia sangat lengkap di mana-mana dan telah kita baca. Demikian pula halnya dengan banyaknya acara kegiatan solidaritas antara sesama manusia, juga telah banyak dilakukan di bumi Nusantara ini. Meditasi yang khusyuk, telah dilakukan oleh para sahabat spiritual, tetapi kenapa kekacauan ini tiada nampak berakhir?<br /><br />Ada orang sedang diberikan ujian suka, hatinya gembira, hartanya melimpah, anak-anaknya berhasil, keluarganya sejahtera, sementara ada orang yang sedang diberikan ujian duka, hatinya bersedih, terperosok dalam kemiskinan, segala usaha ekonomi gagal, keluarganya morat marit. Pada hakekatnya kedua situasi di atas sesungguhnya sedang menguji umat manusia. Itulah resiko hidup di dunia yang terikat dengan material.<br /><br />Bangsa Indonesia sejak dasa warsa terakhir disibukan oleh kegiatan para penguasa atau pemimpin negeri ini yang secara logika teori bisa menjadi pemimpin yang bijak, menjadi contoh ketika dia berada di garis depan atau sebagai pembangkit motivasi dikala berada di tengah-tengah masyarakat dan menjadi pendengar setia ketika berada di balik layar. Tetapi apakah kenyataan yang kita jumpai, justru para penguasa memanfaatkan kesempatan itu untuk korupsi. Inilah fenomena yang terjadi di dunia material. Kegagalan dalam melaksanakan Catur Marga disebabkan karena segala perbuatan kita tidak menggunakan hati nurani di mana jiwa atman yang bersemayam di dalamnya. Kegiatan kegamaan yang nyata nampak, seolah semua itu telah sesuai dengan idealisme agama, namun kenapa kekacauan tetap terjadi? Kedudukan yang baik dan terhormat, posisi kuasa yang strategis, semua itu merupakan ujian bagi diri kita sendiri. Hal hal yang terjadi yang menyimpang dari Dharma merupakan timbangan tanggung jawab kita di hadapan Hyang Widhi sebagai pencipta alam raya semesta yang tengah memberikan ujian kepada kita.<br /><br />Karma kita tidak bisa terhapus karena hal-hal baik ataupun buruk, tetapi semua saling mengisi dan sangat menentukan nilai perjalanan secara evolusi tentang atman. Kedudukan baik dan kesempatan baik hanyalah media uji kita, pada situasi demikian, kita harus menolong diri kita sendiri, karena ujian yang diberikan semakin sulit. Tindakan adharma adalah cerminan bagi kegagalan ujian kita, kegagalan ini harus dipertanggung jawabkan seperti yang tertuang dalam hukum karma. Pertanggung jawaban itu dapat saja datang ketika kita masih hidup di dunia, misalnya sang koruptor dapat dijebloskan ke dalam penjara, atau setelah kita tiada, sehingga dengan perbuatan yang asubha karma dapat mengakibatkan samsara, masuk neraka atau menjelma menjadi makhluk yang derajadnya lebih rendah.<br /><br />Dengan demikian bahwa prinsip dengan hidup yang singkat, pergunakanlah sebaik-baiknya untuk merubah nasib kita di dunia material pada kehidupan yang akan datang. Kita sesungguhnya tidak menolong dunia, tetapi kita menolong diri kita sendiri, maka tolonglah diri kita sendiri selagi kita beruntung menjadi manusia yaitu dengan menyebarkan kebajikan, memberikan cinta kasih, bekerja tanpa pamerih untuk kesejahteraan umat manusia di seluruh dunia./f-igst<br /><br />Semoga berguna,muditahttp://www.blogger.com/profile/05091005719901532104noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8872898609804187426.post-54002966202382962772010-12-15T02:04:00.000-08:002010-12-15T02:05:04.038-08:00TEOLOGI HINDUBAB I PENDAHULUAN<br />1.1 Latar Belakang<br />Sumber utama ajaran Agama Hindu adalah Veda. Veda adalah wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang di dalam Bahasa Sanskerta disebut Úruti, artinya yang terdengar atau yang didengarkan oleh orang-orang suci, yakni para mahàrûi. Úruti disebut juga “Sabda-Brahman”, yakni wacana Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu disebut berasal dari Tuhan Yang Maha Esa (Divine Origin). Para mahàrûi memperoleh wahyu tersebut, oleh karena itu para mahàrûi disebut “Mantradraûþaá” (yang memperoleh wahyu berupa mantra Veda) dan bukan “Mantrakartaá” (yang membuat atau mengarang mantra Veda). Di samping Veda sebagai sumber tertinggi ajaran Agama Hindu terdapat juga sumber-sumber lainnya yang disebut susastra Hindu. <br />Dapat pula ditambahkan bahwa kitab-kitab Tattva di Bali sebenarnya merupakan kajian dari teologi Hindu atau Brahmavidyà, khususnya kitab-kitab Úaiva Siddhànta yang cukup banyak jumlahnya. Kitab-kitab ini merupakan rujukan utama pelaksanaan ajaran Agama Hindu di Bali yang berpadu dengan unsur-unsur sekta yang lain dan dikembangkan dalam wadah budaya Bali.<br /> <br />1.2 Ruang lingkup<br />Lingkup penulisan buku ini dibatasi pada ajaran teologi atau Brahmavidyà dalam susastra Hindu. <br />1.3 Tujuan<br />Tujuan penulisan buku ini adalah: (1) bersifat khsusus, artinya sangat berguna bagi para mahasiswa atau dosen yang berminat untuk secara mendalam menguasai pengetahuan tentang teologi Hindu, dan (2) bersifat umum, artinya memperkaya khasanah pengetahuan dan dalam usaha meningkatkan pengetahuan umat Hindu pada umumnya tentang teologi yang mereka anut dan masyarakat luas yang ingin lebih mendalami ajaran Agama Hindu.<br />1.4 Manfaat<br />Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini meliputi (1) manfaat teoritis, yakni secara teoritis menambah wawasan pembaca untuk mengenal teologi Hindu secara tekstual dan kontekstual, serta (2) manfaat praktis, yakni akan sangat berguna bago para praktisi Agama Hindu seperti para pandita, pinandita atau pamangku, guru dan dosen Agama Hindu, serta umat Hindu dan masyarakat luas yang tertarik untuk mengenal lebih jauh tentang ajaran ketuhanan dalam Agama Hindu. <br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB II TEOLOGI DAN STUDI KEAGAMAAN<br />2.1 Pengertian Teologi dan Brahmavidyà <br />Di dalam The New Oxford Illustrated Dictionary (1978:1736) pengertian teologi dinyatakan sebagai berikut: Science of religion, study of God or gods, esp. of attributes and relations with man etc.; yang berarti ilmu agama, studi tentang Tuhan Yang Maha Esa atau Para Dewa, teristimewa tentang atribut-Nya dan hubungannya dengan manusia, dan sebagainya. Adian dalam Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan (2001:52) menyatakan teologi adalah pengetahuan Yang Illahi. Kata logi berasal dari bahasa Yunani logos yang dapat diartikan sebagai pengetahuan yang berkadar pengetahuan tinggi berbeda dengan opini sehari-hari. Logos berbeda dengan opini karena ia murni kontemplasi tanpa digayuti kepentingan apapun. Teologi kemudian dapat diartikan menjadi pengetahuan kontemplatif, bebas kepentingan, dan benar tentang Yang Ilahi. <br />Kata teologi berasal dari kata theos yang artinya ‘Tuhan’ dan ‘logos’ artinya ‘ilmu’ atau ‘pengetahuan’. Jadi teologi berarti ‘pengetahuan tentang Tuhan’. Ada banyak batasan atau definisi teologi sebagaimana uraian berikut: telogi secara harfiah berarti teori atau studi tentang ‘Tuhan’. Dalam praktek, istilah dipakai untuk kumpulan doktrin dari kelompok keagamaan tertentu atau pemikiran individu (Maulana, dkk. 2003: 500). <br />Ilmu ketuhanan dalam agama Hindu atau teologi Hindu diberi dengan bermacam macam istilah antara lain:<br />a. Brahma Widya<br />b. Brahma Tatwa Jnana<br />Istilah Brahma adalah suatu istilah yang dipergunakan oleh umat Hindu untuk menyebutkan nama Tuhan sebagai pencipta pemelihara maupun tempat tujuan dari manusia atau alam semesta nanti pada zaman pralaya.<br />Mahadevan (1984:300) menyebut brahmavidyà sebagai the knowledge of Brahman, sedang Apte dalam Sanskrit English Dictionary (1987:466) menerjemahkan teologi dengan Ìúvara-brahmajñànam, paramàrthavidyà, adhyàtmajñànavidyà yang secara leksikal berarti pengetahuan tentang ketuhanan, pengetahuan tertinggi, dan pengetahuan rohani (spiritual). Berdasarkan uraian tersebut brahmavidyà berarti pengetahuan tentang Tuhan Yang Maha Esa, mencakup semua manifestasi-Nya, ciptaan-Nya dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Pengertian yang terakhir ini sudah mencakup pengertian yang amat luas tentang brahmavidyà. Menurut Pudja (1984:14) teologi di dalam Bahasa Sanskerta disebut Brahmavidyà atau Brahma Tattva Jñàna.<br /><br />Pada mulanya teologi merupakan istilah yang digunakan oleh para pemikir Kristen untuk menunjukkan suatu disiplin ilmu yang membahas hal Tuhan dan Ketuhanan. Terminologi teologi telah menjadi disiplin ilmu yang diakui oleh para pakar atau ilmuwan dan secara aksiologis atau manfaat dalam penerapannya telah meluas ke seluruh dunia. Disiplin ilmu teolgi menjadi demikian sangat berarti, karena kebeadaannya telah memenuhi tiga persyaratan sebagai sebuah ilmu pengetahuan, yakni: (1) syarat ontologis atau objeknya jelas, (2) syarat epistemologis (procedure), dan (3) syarat aksiologis (makna atau manfaat). Karena keabsahan dan keakuratan dari disiplin ilmu teologi tersebut, maka epistemologi teologi telah menjadi pola, patokan, rujukan dalam berteologi dari semua agama tanpa menyadari bahwa terminologi teologi setiap agama tidak persis sama (Donder, 2006:15).<br />Bila memperhatian uraian di atas, maka brahmavidyà di dalamnya sudah mencakup pengertian teologi yang sangat luas dan dalam, dalam susastra Hindu berbagai atribut penggambaran Tuhan Yang Maha Esa tampak dalam dua pandangan yang berbeda, yakni Tuhan Yang Maha Esa yang berpribadi (Personal God) dan Tuhan Yang Maha Esa yang tidak berpribadi (Impersonal God). Untuk kepentingan bhakti (devotion) Tuhan Yang Maha Esa yang berpribadi menjadi objek pemujaan umat Hindu umumnya.<br /><br />2.2 Perbedaan Studi Keagamaan dan Teologi<br />Uraian ini merupakan saduran dari tulisan Frank Whaling dalam Aneka Pendekatan Studi Agama, Connoly, Ed (2002, 311-374) sebagai berikut. Posisi teologi sangatlah penting dalam berbagai pembahasan tentang studi dan pengajaran agama. Pendekatan teologis memfokuskan pada sejumlah konsep, khususnya didasarkan pada ide theologos, studi atau pengetahuan tentang Tuhan atau Dewa-Dewa. Praanggapan ini memuat pesan yang berbeda dari ilmu-ilmu kemanusiaan atau sosial. Studi-studi keagamaan dalam bentuknya yang modern, dipandang muncul dari Teologi Kristen. Sehingga studi keagamaan dan teologi menimbu1kan bermacam pandangan, ada yang menganggap penting ada yang menganggap tidak penting atau bentuk pro dan kontra lainnya.<br /><br />Ada lima macam pendekatan teologis dalam studi agama, yaitu:<br />1) Teologi agama-agama (theologies of religions), yaitu teologi tertentu yang muncul dalam tradisi keagamaan tertentu. Jadi teologi agama-agama adalah teologi yang mempelajari tentang teologi tertentu yang muncul dari tradisi-tradisi keagamaan. Pada setiap agama merniliki tradisi-tradisi yang sulit dicari sumbernya dalam kitab suci.<br />2) Teologi-teologi agama (theologies of religion) yaitu berbagai sikap teologis dalam tradisi keagamaan partikular yang diadopsi dari luar agama. Jadi teologi-teologi agama adalah teologi yang mempelajari tentang sikap teologis suatu agama terhadap tradisi-tradisi keagamaan yang diambilnya dan luar agamanya. Misalnya orang Kristen di Bali menggunakan ‘banten’ ke gereja, menggunakan ‘penjor’ saat hari raya Natal dan Tahun Baru, menggunakan pakaian adat Bali yang lazim digunakan ke pura oleh umat Hindu namun digunakan oleh umat Kristen Bali ke gereja.<br />3) Teologi agama (theology of religion) yaitu upaya membangun suatu teologi agama yang lebih universal yang dalam hal ini mengkonsentrasikan pada kategori-kategori transenden. Jadi pendekatannya mempelajari tentang teologi yang universal yang memfokuskan diri pada yang transenden (spiritual, kesucian).<br />4) Teologi agama-agama global (a global theology of religion) yaitu dimulai dari situasi global dalam seluruh kompleksitas, moral manusia, natural, dan dari sana kemudian mengkonseptualisasikan kembali kategori-kategori teologis yang muncul dan tradisi keagamaan tertentu yang dapat mengarahkan perkembangan situasi global, yang mempengaruhi setiap orang. Jadi teologi agama-agama global adalah teologi yang mempelajari kompleksitas agama termasuk di dalamnya; moral, manusia, natural, serta mengkonstruksi atau mengkonseptualisasikan kembali kategori-kategori teologis itu.<br />5) Teologi agama perbandingan (comparative theology of religion). Melalui membaca teologi-teologi agama tertentu, kita akan mengeksplorasikan beberapa titik temu dan perbandingan teologis. Jadi teologi agama perbandingan adalah teologi yang mempelajari agama-agama melalui memperbandingkan lewat uraian-uraian teologis setiap agama.<br />Perbedaan studi keagamaan dan teologi. <br />1) Studi keagamaan, selain bersifat multireligius, studi-studi keagamaan juga menggunakan beragam pendekatan dan metode. Sehingga; filsafat, sosiologi, antropologi, sejarah, fenomenologi, psikologi, linguistik, dan sebagainya merupakan komponen-komponen dari studi keagamaan. <br />2) Teologi, lebih merupakan suatu disiplin tersendiri dan meskipun teologi menggunakan berbagai metode yang dipaparkan di atas, metode-metode itu berada di bawah concern teologi dan sering kali juga gereja atau komunitas religius yang terkait.<br />3) Teologi, sering berpusat pada persoalan doktrin. Ortodoksi agama cenderung menitikberatkan terhadap doktrin-doktrin dan elemen-elemen konseptual dalam agama sebagai salah satu yang lebih sentral dibandingkan dengan praktek spiritual atau perilaku.<br />4) Studi keagamaan, memberi titik tekan yang sama terhadap elemen-elemen lain yang ada dalam agarna seperti praktik sosial, ritual, estetika, spiritualitas, mite, simbol dan seterusnya. Tidak ada penekanan yang berlebihan terhadap doktrin atau konsep. <br />5) Teologi memiliki perhatian khusus pada gagasan transendensi yang “dianggap tidak perlu diperdebatkan” sejauh ada hubungannya dengan teologi.<br />6) Studi keagamaan titik fokusnya lebih kepada orang-orang beriman dan pengalarnan atau keyakinannya ketimbang objek keyakinan.<br />7) Teologi berkepentingan dengan transendensi, sedangkan studi keagamaan tidak.<br />8) Dalam pembelajaran abad pertengahan, ilmu tetap memiliki tempat, seperti ditujukkan Durkheim dan lainnya, tetapi menduduki tempat kedua. Meskipun demikian, pengetahuan budaya dan ilmu adalah bagian dari totalitas pembelajaran yang diasarkan pada teologi. Seperti dikemukakan oleh Aquinas, teologi adalah queen of sciences. Di era modern, model dominan kembali mengalami perubahan. Eksperimen terhadap alam dan pengembangan ilmu-ilmu kealaman yang terpancar darinya, menjadi landasan pengetahuan. Porosnya lebih berpusat pada alam dibandingkan Tuhan atau manusia, dan titik tekannya pada ilmu-ilmu kealaman sebagai kunci pembelajaran. Karena penelitian ilmiah disandarkan pada spesialisasi, dan pengetahuan dibagi kedalam wilayah-wilayah khusus, dalam hal ini terjadi kemunduran ketika dipahami terdapat totalitas pengetahuan.<br /><br />Meskipun teologi dan turunannya, studi keagamaan bersamaan dengan humanitas masih tetap ada dan dalam pendekatan terhadap pengetahuan memang cenderung menggunakan pandangan dunia ilmiah tidak ada yang tersembunyi dari fakta bahwa pandangan tentang keutuhan pengetahuan telah terpecah-pecah. Pengetahuan lebih ditemukan dalam bagian unsur-unsurnya, disiplin-disiplinnya, ketimbang dengan totalitasnya. Di era sekarang dengan perspektif global, terdapat concern yang lebih besar terhadap perlunya mengintegrasikan kembali pengetahuan, bersamaan dengan kesadaran yang lebih dalam akan keuntungan dan kerugian pandangan dunia ilmiah. Gerakan New Age dan posmodernisme, sekalipun memiliki kepentingan tertentu, menghidupi semangat ini dan terdapat keinginan menyatukan kembali pengetahuan guna memenuhi tuntutan dunia global. Dengan kata lain terdapat kesadaran yang lebih besar tentang komplementaritas model-model pengetahuan dan perlunya interkoneksi yang lebih dalam. Teologi dan studi-studi keagamaan, humanitas, dan ilmu-ilmu ke-alam-an saling membutuhkan satu sama lainnya.<br />Ada tiga alasan bagi teologi maupun studi-studi keagamaan tentang pentingnya model pengetahuan. Pertama, Konsep-konsep yang begitu penting bagi teologi hanyalah salah satu dari delapan elemen yang dikemukakan dalam model ini. Studi-studi keagamaan berkaitan dengan kedelapan elemen; (1) komunitas keagamaan (2) ritual, (3) etika, (4) keterlibatan sosial dan politik (5) kitab sud dan mite, (6) konsep-konsep, (7) estetika, dan (8) spiritualitas, tanpa melebihkan salah satunya. Terlebih lagi studi-studi keagamaan bersifat lintas budaya dan tidak ada kepentingan tertentu untuk memperkembangkan salah satu tradisi. Kedua, Model ini membahas gagasan transendensi, fokus yang memediasi dan keyakinan atau intensinalitas yang juga terdapat dalam teologi. Bagi tradisi keagamaan tertentu, keyakinan adalah keyakinan terhadap transendensi mereka sendiri, melalui fokus yang memediasikan yang begitu penting, dan ini tampak jelas dalam teologi-teologi tertentu. Namun, selain pengertian ini, model ini dapat menjelaskan struktur umum dan makna dari tradisi keagamaan tertentu, ia memiliki asumsi-asumsi dasar yakni kepentingan umum (general interest). Model ini juga dapat menunjukkan bahwa agama-agama secara radikal berbeda jika kita membandingkannya secara terbuka melalui model ini. Di sisi lain, model ini juga dapat dipahami guna menunjukkan arah keyakinan, dan transendensi sebagai kategori teologis universal dan oleh karenanya juga arah teologi agama general. Ketiga, Meskipun teologi memiliki suatu kecenderungan terhadap formulasi doktrinal, model ini menunjukkan bahwa formulasi-formulasi itu bisa jadi luas dan beragam. Teologi memberi perhatian pada delapan elemen terkait dan dalam tahun-tahun terakhir perhatian ini berkembang dalam tradisi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kita melihat meningkatnya minat pada teologi komunitas-komunitas keagamaan, teologi skriptural, teologi doktrinal, teologi seni, dan teologi ritual dan liturgi, etika teologi, teologi praksis sosial dan politis, dan teologi spiritual.<br /><br />Singkatnya, meskipun batas-batas dan perhatian teologi dan studi-studi keagamaan itu terpisah, namun bukan pemisahan yang mendasar. Keduanya, saling berjalin dengan cara seperti yang telah disampaikan yaitu kaitannya dengan model-model pengetahuan barat dan dengan suatu model agama general.<br />Tradisi cenderung beragam berdasarkan inti doktrin yang lebih kurang bersifat “terben” (given, bahasa Bali muleketo), dan semua agama memiliki doktrin yang sifatnya seperti ini. Standar kualitas konseptual tradisi Hindu semenjak era klasik, konsep-konsep kunci tertentu telah menjadi parameter bagi Hindu way of life. <br />1) Konsep Hindu berpusat pada gagasan tentang Brahman sebagai realitas ultimate di balik alam,<br />2) Àtmà sebagai diri inner dalam manusia,<br />3) Karma manusia sebagai lingkaran kelahiran kembali yang terus-menerus,<br />4) Penyelamatan sebagai pelepasan diri dari kelahiran kembali,<br />5) Cara-cara penyadaran inner (jñàna), ketaatan (bhakti), dan terlibat aktif di dunia (di bawah kuasa Tuhan) sebagai jalan penyelamatan, dan peran berbagai manifestasi-Nya seperti Śiva, Viûóu, Devì, dan dua inkarnasi dari Viûóu (avatàra) yakni Ràma dan Kåûóa.<br />John Hick menguraikan bahwa ada tiga sikap teologis pokok yang dapat diterapkan tradisi keagamaan terhadap wilayah keagamaan yang lebih luas: (1) Eksklusivisme, suatu pendapat bahwa satu-satunya posisi yang benar adalah posisi keagamaannya sendiri, (2) Inklusivisme, suatu pandangan bahwa tradisi keagamaan !ain juga memuat kebenaan religius tetapi di hari akhir akan dimasukkan ke dalam posisi yang mereka miliki, (3) Pluralisme, pendapat bahwa tradisi-tradisi keagamaan mengejawantahkan diri dalam beragam konsepsi mengenai yang sejati (the real) dan memberi respon terhadapnya, dari sana muncul jalan kultur yang berbeda-beda bagi manusia. Tiga sikap teologis itu beranggapan bahwa seseorang mencari dengan berangkat dari suatu sistem teologis partikular dan berdasar pada sistem lainnya sebagai entitas yang terpisah. Sikap-sikap ini mengasumsikan nahwa teologi berarti teologi partikular dari suatu tradisi keagamaan partikular.<br />Agama Hindu sejak diturunkannya kitab suci Veda sudah mengamanatkan umatnya untuk mengembangkan sikap inklusivisme dan pluralisme artinya mengakui ada kebenaran pada tradisi keagamaan lain serta adanya beragam konsepsi yang sejati (the real) dan memberi respon terhadapnya, seperti tampak dalam perkembangan agama Hindu di Bali, kepercayaan kepada roh suci leluhur masih mendapatkan tempat yang semestinya.<br /><br /><br /><br />BAB III TEOLOGI DALAM SUSASTRA SANSKERTA<br />3.1 Pengertian dan Lingkup Susastra Hindu<br />Di dalam pendahuluan telah diuraikan sepintas tentang sumber ajaran Agama Hindu, yakni Veda sebagai sumber tertinggi dan otoritasnya sangat diakui karena Veda merupakan Úruti atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Kitab suci Veda terdiri dari kitab-kitab: <br />1) Saýhità ( Samitha ), <br />2) Bràhmaóa (Brahmana ), <br />3) Āraóyaka ( Aranyaka), dan <br />4) Upaniûad ( Upanisad ).<br />Kitab-kitab Saýhità terdiri dari Ågveda, Yajurveda, Sàmaveda, dan Atharvaveda. Masing-masing kitab Saýhità tersebut memiliki kitab-kitab Bràhmaóa, Āraóyaka, dan Upaniûad. Unsur-unsur upacara yang terdapat di dalam kitab Veda dikembangkan secara luas di dalam kitab-kitab Bràhmaóa. Bila di dalam Veda upacara korban berarti untuk memohon karunia para devatà dan kemudian menjadi akhir dari segalanya. Di dalam kitab-kitab Bràhmaóa, para devatà mempunyai kedudukan yang penting terutama dalam sistem upacara.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />BAB IV KESIMPULAN<br /><br />Ilmu Ketuhanan dalam agama Hindu diberi bermacam macam istilah, salah satuanya yaitu “Brahma Vidya”. Brahma Vidya merupakan salah satu dari ajaran agama Hindu yang membahas mengenai teologi Hindu. Didalam ajaran Brahma Vidya tidak saja membahas tentang Tuhan Yang Maha Esa, Para Dewa, dan Roh Suci Leluhur, tetapi juga membahas ciptaan-Nya. <br /><br /><br /><br /><br />BAB V DAFTAR PUSTAKA<br /><br /><br />Musna, I Wayan; Materi Teologi Hindu; 1-6; PAHD2533/2 SKS/oleh I Wayan Musna, I Ketut Murada.—Jakarta: Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha, Universitas Terbuka, 1993.<br /><br />www.parisada.org ( Teologi dalam Susastra Hindu )muditahttp://www.blogger.com/profile/05091005719901532104noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8872898609804187426.post-64356518526678200642010-12-15T01:55:00.000-08:002010-12-15T01:58:37.207-08:00KONSEP SURGA DAN NERAKA MENURUT PANDANGAN AN AGAMA HINDU LANJUTANBerbeda dengan konsep Sorga-Neraka di agama-agama semitis, agama Hindu memberikan kesempatan kepada manusia untuk selalu berupaya memperbaiki diri dalam beberapa kali masa kehidupan, sebelum dicapai tujuan tertinggi dalam Hindu, yaitu Moksha. <br />Sorga dan Neraka adalah dua hal yang oleh kebanyakan umat beragama bicarakan dan perdebatkan, dari sekedar bagaimana mempercayainya sampai bagaimana cara mendapatkannya atau menghindarinya. Setiap manusia selalu berusaha untuk dapat mencapai Sorga setelah hidup, dan sebaliknya, tak seorang pun menghendaki berjumpa Neraka setelah jiwa meninggalkan raga. <br />Dalam beberapa waktu saya sering merasa heran, betapa setiap manusia selalu berorientasi pada Sorga dan melupakan Tuhan sebagai pemilik Sorga. Hampir sebagian besar manusia selalu melakukan perbuatan baik hanya karena sangat takut masuk Neraka dan menginginkan hanya Sorga.<br />Padahal, kita semua sepatutnya hanya takut pada Tuhan. Mungkin lirik lagu Ahmad Dhani dan Krisye kiranya tepat mengambarkan orientasi manusia terhadap tujuan hidup yang hakiki ; " Jika Surga dan Neraka tak pernah ada masihkah kau bersujud pada Nya", yakni berbakti kepada Tuhan dan bukan hanya karena sorga ataupun neraka.<br />Pada kesempatan ini, saya bermaksud memperkenalkan pandangan Hindu mengenai konsep Sorga dan Neraka. Banyak umat Hindu beranggapan bahwa di dalam ajaran Hindu tidak ada dan tidak dikenal konsep mengenai Sorga dan Neraka mengingat dalam konsep Panca Shrada ( lima keyakinan ) umat hindu mempercayai adanya Purnabawa ( Reingkarnasi ). <br />Sorga dan Neraka dalam pandangan Hindu amat jarang diperbincangkan, karena agama Hindu kerap hanya dipahami meyakini hukum kharmaphala dan mempercayai Reinkarnasi atau kehidupan kembali setelah kematian, sehingga banyak orang meyakini bahwa Hindu tidak mengenal Sorga dan Neraka. <br />Sesungguhnya konsep Sorga dan Neraka ada dalam ajaran Hindu. Namun ia bukan menjadi tujuan akhir dari manusia sehingga bagi orang Hindu tujuan akhir adalah bukan masuk Sorga, melainkan Moksha atau bersatunya jiwa (Atman) dengan Sang Maha Pencipta ( Brahman). <br />Pertanyaannya yang kemudian muncul, lantas Sorga itu seperti apa dan untuk apa?. Sorga dalam Hindu seperti digambarkan dalam Weda; Adalah suatu tempat, satu dunia, dimana cahaya selalu bersinar, suatu masyarakat orang suci, dunia kebaikan, dunia abadi. <br />Beberapa pemikiran mengatakan bahwa Sorga dan Neraka bukanlah tempat, melainkan suatu kondisi. Artinya, apabila kita dalam kondisi senang atau bahagia, itulah Sorga. Sebaliknya, apabila kita dalam kondisi sedih atau menderita, itulah Neraka. Mungkin hal tersebut ada benarnya. <br />Dalam Kitab suci Weda disebutkan, Sorga dan Neraka adalah suatu tempat di balik dunia ini yang dibatasi oleh kematian. Dengan kata lain, Sorga dan Neraka akan kita temukan setelah kita melewati “jembatan“ yang bernama kematian. Secara harfiah, Sorga berasal dari kata Sanserketa “svar” dan “ga”. “Svar” artinya cahaya dan “ga” artinya pergi. Jadi svarga artinya perjalanan menuju cahaya. Di dalam Weda juga dikatakan bahwa Sorga adalah “dunia ketiga” yang penuh sinar dan cahaya. <br />Sorga: persinggahan sementara<br />Dalam kitab suci Hindu dikatakan bahwa Sorga merupakan persinggahan sementara. Bahkan, menurut Swami Dayananda Saraswati, Sorga adalah pengalaman liburan. Bagawad Gita dalam hal ini mengatakan:”setelah menikmati Sorga yang luas , mereka kembali ke dunia. Sorga adalah kesenangan sementara, sedangkan kebahagiaan yang sejati adalah Moksha, bersatunya Atman (Jiwa) dengan Brahman (Sang Pencipta))<br />Neraka Menurut Hindu<br />Neraka memang diperlukan. Ini adalah ungkapan yang sangat profokatif. Sebuah argumen mengatakan, apabila hasil yang diterima setiap orang sama—entah itu baik atupun tidak dan mendapat imbalan yang sama—lantas apa yang mendasari orang untuk selalu berbuat baik, berbuat berdasarkan Dharma. <br />Neraka dalam pandangan agama semit digambarkan sebagai suatu tempat yang terletak jauh di dalam bumi. Ia adalah tempat penyiksaan yang sangat mengerikan berbentuk kawah api yang panasnya beribu kali lipat dari panas api di dunia. Roh- roh yang banyak melakukan dosa di dunia akan mengalami penyiksaan ditusuk dengan tombak dan dipukuli dengan palu godam. <br />Di dalam Hindu sangat sedikit mantra ataupun sloka yang menjelaskan kosep Neraka mengingat Hindu mengakui terjadinya reinkarnasi atau proses kelahiran kembali dan konsep Moksha. Di Hindu Neraka dikatakan merupakan balasan yang diterima pada saat reinkarnasi atau dalam proses kelahiran kembali. Di dalamnya kita di berikan dua pilihan yang berdasar pada perbuatan kita pada masa hidup terdahulu, yaitu reinkarnasai Sorga atau reinkarnasi Neraka. <br />Reinkarnasi Sorga ada dalam proses kelahiran kembali kita mendapatkan takdir yang lebih baik, sedangkan reinkarnasi Neraka apabila kita dilahirkan dengan takdir yang lebih buruk. Di Hindu kelainan fisik pada saat kelahiran dapat dijelaskan sebagai sebuah bentuk penebusan terhadap segala perbuatan yang buruk yang pada masa hidup yang pernah di lakukan. <br />Konsep Sorga-Neraka seperti ini mungkin berbeda dengan konsep serupa dalam agama lain, yang menyatakan setiap manusia yang lahir adalah sebuah individu baru dan suci, ibarat buku belum ternoda oleh tinta kehidupan. <br />Bagi umat Hindu, kehidupan ini adalah suatu perjalanan yang saling berhubungan dan berjalan terus menerus. Dalam kerangka Tuhan Maha Pengampun, Hindu menjelaskan setiap manusia selalu di berikan kesempatan untuk selalu memperbaiki dirinya dalam beberapa kali masa kehidupan untuk kemudian mencapai tujuan tertinggi dalam Hindu, yaitu Moksha.[]muditahttp://www.blogger.com/profile/05091005719901532104noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8872898609804187426.post-80433562072110214762010-11-10T06:44:00.000-08:002010-11-10T06:45:13.570-08:00PENGERTIAN AGAMA HINDU DAN PERKEMBANGANNYA DI INDIAPengertian dan Tujuan Agama Hindu<br /><br />Agama sebagai pengetahuan kerohanian yang menyangkut soal-soal rohani yang bersifat gaib dan methafisika secara esthimologinya berasal dari bahasa sansekerta, yaitu dari kata "A" dan "gam". "a" berarti tidak dan "gam" berarti pergi atau bergerak. Jadi kata agama berarti sesuatu yang tidak pergi atau bergerak dan bersifat langgeng. Menurut Hindu yang dimaksudkan memiliki sifat langgeng (kekal, abadi dan tidak berubah-ubah) hanyalah Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Demikian pula ajaran-ajaran yang diwahyukan-Nya adalah kebenaran abadi yang berlaku selalu, dimana saja dan kapan saja.<br />Berangkat dari pengertian itulah, maka agama adalah merupakan kebenaran abadi yang mencakup seluruh jalan kehidupan manusia yang diwahyukan oleh Hyang Widhi Wasa melalui para Maha Rsi dengan tujuan untuk menuntun manusia dalam mencapai kesempurnaan hidup yang berupa kebahagiaan yang maha tinggi dan kesucian lahir bathin.<br />Perkembangan Agama Hindu di India pada zaman weda<br /><br />Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 fase, yakni Jaman Weda, Jaman Brahmana, Jaman Upanisad dan Jaman Budha. Dari peninggalan benda-benda purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di India pada jamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan yang menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa. Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada jaman ini telah dikenal adanya penyembahan terhadap Dewa-dewa. <br /><br />Jaman Weda dimulai pada waktu bangsa Arya berada di Punjab di Lembah Sungai Sindhu, sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum Masehi, setelah mendesak bangsa Dravida kesebelah Selatan sampai ke dataran tinggi Dekkan. bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi, mereka menyembah Dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun semuanya adalah manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal dan Maha Kuasa dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta, yang disebut "Rta". Pada jaman ini, masyarakat dibagi atas kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra.<br />Dikatakan bahwa orang- orang Aryalah yang menerima wahyu Weda. Wahyu- wahyu Weda ini tidak turun sekaligus, melainkan dalam jangka waktu yang agak lama, dan juga tidak diwahyukan di satu tempat saja. Penerima wahyu disebut Maha Resi, diterima melalui pendengaran, dan oleh sebab itu wahyu Weda disebut Sruti (sru= pendengaran). Kurun waktu turunnya wahyu- wahyu Weda itulah yang disebut jaman Weda dan ajaran Weda inilah yang kemudian tersebar ke berbagai penjuru dunia.<br />Pada Jaman Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana amat besar pada kehidupan keagamaan, kaum brahmanalah yang mengantarkan persembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu. Jaman Brahmana ini ditandai pula mulai tersusunnya "Tata Cara Upacara" beragama yang teratur. Kitab Brahmana, adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan upacaranya. Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di dalam ayat-ayat Kitab Suci Weda.<br />Sedangkan pada Jaman Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya terbatas pada Upacara dan Saji saja, akan tetapi lebih meningkat pada pengetahuan bathin yang lebih tinggi, yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib. Jaman Upanisad ini adalah jaman pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu jaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada jaman ini muncullah ajaran filsafat yang tinggi-tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran Darsana, Itihasa dan Purana. Sejak jaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.<br />Selanjutnya, pada Jaman Budha ini, dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama "Sidharta", menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan semadhi, sebagai jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.<br />Agama Hindu, dari India Selatan menyebar sampai keluar India melalui beberapa cara. Dari sekian arah penyebaran ajaran agama Hindu sampai juga di Nusantara.muditahttp://www.blogger.com/profile/05091005719901532104noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-8872898609804187426.post-36661176331014906582010-10-13T07:29:00.000-07:002010-10-13T07:30:04.462-07:00HINDU PADA JAMAN KERAJAAN SRIWIJAYAPENGETAHUAN mengenai sejarah Sriwijaya baru lahir pada permulaan abad ke-20 M, ketika George Coedes menulis karangannya berjudul Le Royaume de Crivijaya pada tahun 1918 M. Sebenarnya, lima tahun sebelum itu, yaitu pada tahun 1913 M, Kern telah menerbitkan Prasasti Kota Kapur, sebuah prasasti peninggalan Sriwijaya yang ditemukan di Pulau Bangka. Namun, saat itu, Kern masih menganggap nama Sriwijaya yang tercantum pada prasasti tersebut sebagai nama seorang raja, karena Cri biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar raja.<br />Pada tahun 1896 M, sarjana Jepang Takakusu menerjemahkan karya I-tsing, Nan-hai-chi-kuei-nai fa-ch‘uan ke dalam bahasa Inggris dengan judul A Record of the Budhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago. Namun, dalam buku tersebut tidak terdapat nama Sriwijaya, yang ada hanya Shih-li-fo-shih. Dari terjemahan prasasti Kota Kapur yang memuat nama Sriwijaya dan karya I-Tsing yang memuat nama Shih-li-fo-shih, Coedes kemudian menetapkan bahwa, Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan.<br />Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa, letak ibukota Sriwijaya adalah Palembang, dengan bersandar pada anggapan Groeneveldt dalam karangannya, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-fo-ts‘I adalah Palembang. Sumber lain, yaitu Beal mengemukakan pendapatnya pada tahun 1886 bahwa, Shih-li-fo-shih merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai Musi, dekat kota Palembang sekarang. Dari pendapat ini, kemudian muncul suatu kecenderungan di kalangan sejarawan untuk menganggap Palembang sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya.<br />Sumber lain yang mendukung keberadaan Palembang sebagai pusat kerajaan adalah prasasti Telaga Batu. Prasasti ini berbentuk batu lempeng mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh kepala ular kobra, dengan sebentuk mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil tempat keluar air) di bawahnya. Menurut para arkeolog, prasasti ini digunakan untuk pelaksanaan upacara sumpah kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat. Dalam prosesi itu, pejabat yang disumpah meminum air yang dialirkan ke batu dan keluar melalui cerat tersebut. Sebagai sarana untuk upacara persumpahan, prasasti seperti itu biasanya ditempatkan di pusat kerajaan. Karena ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918 M, maka diduga kuat Palembang merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya.<br />Petunjuk lain yang menyatakan bahwa Palembang merupakan pusat kerajaan juga diperoleh dari hasil temuan barang-barang keramik dan tembikar di situs Talang Kikim, Tanjung Rawa, Bukit Siguntang dan Kambang Unglen, semuanya di daerah Palembang. Keramik dan tembikar tersebut merupakan alat yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Temuan ini menunjukkan bahwa, pada masa dulu, di Palembang terdapat pemukiman kuno. Dugaan ini semakin kuat dengan hasil interpretasi foto udara di daerah sebelah barat Kota Palembang, yang menggambarkan bentuk-bentuk kolam dan kanal. Kolam dan kanal-kanal yang bentuknya teratur itu kemungkinan besar buatan manusia, bukan hasil dari proses alami. Dari hasil temuan keramik dan kanal-kanal ini, maka dugaan para arkeolog bahwa Palembang merupakan pusat kerajaan semakin kuat.<br />Sebagai pusat kerajaan, kondisi Palembang ketika itu bersifat mendesa (rural), tidak seperti pusat-pusat kerajaan lain yang ditemukan di wilayah Asia Tenggara daratan, seperti di Thailand, Kamboja, dan Myanmar. Bahan utama yang dipakai untuk membuat bangunan di pusat kota Sriwijaya adalah kayu atau bambu yang mudah didapatkan di sekitarnya. Oleh karena bahan itu mudah rusak termakan zaman, maka tidak ada sisa bangunan yang dapat ditemukan lagi. Kalaupun ada, sisa pemukiman dengan konstruksi kayu tersebut hanya dapat ditemukan di daerah rawa atau tepian sungai yang terendam air, bukan di pusat kota, seperti di situs Ujung Plancu, Kabupaten Batanghari, Jambi. Memang ada bangunan yang dibuat dari bahan bata atau batu, tapi hanya bangunan sakral (keagamaan), seperti yang ditemukan di Palembang, di situs Gedingsuro, Candi Angsoka, dan Bukit Siguntang, yang terbuat dari bata. Sayang sekali, sisa bangunan yang ditemukan tersebut hanya bagian pondasinya saja.<br />Seiring perkembangan, semakin banyak ditemukan data sejarah berkenaan dengan Sriwijaya. Selain prasasti Kota Kapur, juga ditemukan prasasti Karang Berahi (ditemukan tahun 1904 M), Telaga Batu (ditemukan tahun 1918 M), Kedukan Bukit (ditemukan tahun 1920 M) Talang Tuo (ditemukan tahun 1920 M) dan Boom Baru. Di antara prasasti di atas, prasasti Kota Kapur merupakan yang paling tua, bertarikh 682 M, menceritakan tentang kisah perjalanan suci Dapunta Hyang dari Minanga dengan perahu, bersama dua laksa (20.000) tentara dan 200 peti perbekalan, serta 1.213 tentara yang berjalan kaki. Perjalanan ini berakhir di mukha-p. Di tempat tersebut, Dapunta Hyang kemudian mendirikan wanua (perkampungan) yang diberi nama Sriwijaya.<br />Dalam prasasti Talang Tuo yang bertarikh 684 M, disebutkan mengenai pembangunan taman oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk semua makhluk, yang diberi nama Sriksetra. Dalam taman tersebut, terdapat pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan.<br />Data tersebut semakin lengkap dengan adanya berita Cina dan Arab. Sumber Cina yang paling sering dikutip adalah catatan I-tsing.<br />Ia merupakan seorang peziarah Budha dari China yang telah mengunjungi Sriwijaya beberapa kali dan sempat bermukim beberapa lama. Kunjungan I-sting pertama adalah tahun 671 M. Dalam catatannya disebutkan bahwa, saat itu terdapat lebih dari seribu orang pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha tersebut sama dengan aturan dan upacara yang dilakukan oleh para pendeta Budha di India. I-tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu, baru ia berangkat ke Nalanda, India. Setelah lama belajar di Nalanda, I-tsing kembali ke Sriwijaya pada tahun 685 dan tinggal selama beberapa tahun untuk menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. Catatan Cina yang lain menyebutkan tentang utusan Sriwijaya yang datang secara rutin ke Cina, yang terakhir adalah tahun 988 M.<br />Dalam sumber lain, yaitu catatan Arab, Sriwijaya disebut Sribuza. Mas‘udi, seorang sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya pada tahun 955 M. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar, dengan tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kardamunggu, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.<br />Dari catatan asing tersebut, bisa diketahui bahwa Sriwijaya merupakan kerajaan besar pada masanya, dengan wilayah dan relasi dagang yang luas sampai ke Madagaskar. Sejumlah bukti lain berupa arca, stupika, maupun prasasti lainnya semakin menegaskan bahwa, pada masanya Sriwijaya adalah kerajaan yang mempunyai komunikasi yang baik dengan para saudagar dan pendeta di Cina, India dan Arab. Hal ini hanya mungkin bisa dilakukan oleh sebuah kerajaan yang besar, berpengaruh, dan diperhitungkan di kawasannya.<br />Pada abad ke-11 M, Sriwijaya mulai mengalami kemunduran. Pada tahun 1006 M, Sriwijaya diserang oleh Dharmawangsa dari Jawa Timur. Serangan ini berhasil dipukul mundur, bahkan Sriwijaya mampu melakukan serangan balasan dan berhasil menghancurkan kerajaan Dharmawangsa. Pada tahun 1025 M, Sriwijaya mendapat serangan yang melumpuhkan dari kerajaan Cola, India. Walaupun demikian, serangan tersebut belum mampu melenyapkan Sriwijaya dari muka bumi. Hingga awal abad ke-13 M, Sriwijaya masih tetap berdiri, walaupun kekuatan dan pengaruhnya sudah sangat jauh berkurang.<br /><br />Silsilah <br />Salah satu cara untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah dengan melakukan perkawinan dengan kerajaan lain. Hal ini juga dilakukan oleh penguasa Sriwijaya. Dapunta Hyang yang berkuasa sejak 664 M, melakukan pernikahan dengan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan Tarumanegara, Linggawarman. Perkawinan ini melahirkan seorang putra yang menjadi raja Sriwijaya berikutnya: Dharma Setu. Dharma Setu kemudian memiliki putri yang bernama Dewi Tara. Putri ini kemudian ia nikahkan dengan Samaratungga, raja Kerajaan Mataram Kuno dari Dinasti Syailendra. Dari pernikahan Dewi Setu dengan Samaratungga, kemudian lahir Bala Putra Dewa yang menjadi raja di Sriwijaya dari 833 hingga 856 M. Berikut ini daftar silsilah para raja Sriwijaya:<br />Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683, Talang Tuo, 684).<br />1. Cri Indrawarman (berita Cina, tahun 724).<br />2. Rudrawikrama (berita Cina, tahun 728, 742).<br />3. Wishnu (prasasti Ligor, 775).<br />4. Maharaja (berita Arab, tahun 851).<br />5. Balaputradewa (prasasti Nalanda, 860).<br />6. Cri Udayadityawarman (berita Cina, tahun 960).<br />7. Cri Udayaditya (berita Cina, tahun 962).<br />8. Cri Cudamaniwarmadewa (berita Cina, tahun 1003, prasasti Leiden, 1044).<br />9. Maraviyayatunggawarman (prasasti Leiden, 1044).<br />10. Cri Sanggaramawijayatunggawarman (prasasti Chola, 1044).<br /><br />Periode Pemerintahan <br />Kerajaan Sriwijaya berkuasa dari abad ke-7 hingga awal abad ke-13 M, dan mencapai zaman keemasan di era pemerintahan Balaputra Dewa (833-856 M). Kemunduran kerajaan ini berkaitan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di Sumatera, dan munculnya kekuatan Singosari dan Majapahit di Pulau Jawa.<br />Wilayah Kekuasaan<br />Dalam sejarahnya, kerasaan Sriwijaya menguasai bagian barat Nusantara. Salah satu faktor yang menyebabkan Sriwijaya bisa menguasai seluruh bagian barat Nusantara adalah runtuhnya kerajaan Fu-nan di Indocina. Sebelumnya, Fu-nan adalah satu-satunya pemegang kendali di wilayah perairan Selat Malaka. Faktor lainnya adalah kekuatan armada laut Sriwijaya yang mampu menguasai jalur lalu lintas perdagangan antara India dan Cina. Dengan kekuatan armada yang besar, Sriwijaya kemudian melakukan ekspansi wilayah hingga ke pulau Jawa. Dalam sumber lain dikatakan bahwa, kekuasaan Sriwijaya sampai ke Brunei di pulau Borneo.<br />Dari prasasti Kota Kapur yang ditemukan JK Van der Meulen di Pulau Bangka pada bulan Desember 1892 M, diperoleh petunjuk mengenai Kerajaan Sriwijaya yang sedang berusaha menaklukkan Bumi Jawa. Meskipun tidak dijelaskan wilayah mana yang dimaksud dengan Bhumi Jawa dalam prasasti itu, beberapa arkeolog meyakini, yang dimaksud Bhumi Jawa itu adalah Kerajaan Tarumanegara di Pantai Utara Jawa Barat. Selain dari isi prasasti, wilayah kekuasaan Sriwijaya juga bisa diketahui dari persebaran lokasi prasasti-prasasti peninggalan Sriwjaya tersebut. Di daerah Lampung ditemukan prasasti Palas Pasemah, di Jambi ada Karang Berahi, di Bangka ada Kota kapur, di Riau ada Muara Takus. Semua ini menunjukkan bahwa, daerah-daerah tersebut pernah dikuasai Sriwijaya. Sumber lain ada yang mengatakan bahwa, kekuasaan Sriwijaya sebenarnya mencapai Philipina. Ini merupakan bukti bahwa, Sriwijaya pernah menguasai sebagian besar wilayah Nusantara.<br />Struktur Pemerintahan <br />Kekuasaan tertinggi di Kerajaan Sriwijaya dipegang oleh raja. Untuk menjadi raja, ada tiga persyaratan yaitu:<br />1. Samraj, artinya berdaulat atas rakyatnya.<br />2. Indratvam, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu memberikan kesejahteraan pada rakyatnya.<br />3. Ekachattra. Eka berarti satu dan chattra berarti payung. Kata ini bermakna mampu memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya.<br />Penyamaan raja dengan Dewa Indra menunjukkan raja di Sriwijaya memiliki kekuasaan yang bersifat transenden.<br />Belum diketahui secara jelas bagaimana struktur pemerintahan di bawah raja. Salah satu pembantunya yang disebut secara jelas hanya senapati yang bertugas sebagai panglima perang.<br />Kehidupan Ekonomi, Sosial, Budaya<br />Sebagai kerajaan besar yang menganut agama Budha, di Sriwijaya telah berkembang iklim yang kondusif untuk mengembangkan agama Budha tersebut. Dalam catatan perjalanan I-tsing disebutkan bahwa, pada saat itu, di Sriwijaya terdapat seribu pendeta. Dalam perjalanan pertamanya, I-tsing sempat bermukim selama enam bulan di Sriwijaya untuk mendalami bahasa Sansekerta. I-tsing juga menganjurkan, jika seorang pendeta Cina ingin belajar ke India, sebaiknya belajar dulu setahun atau dua tahun di Fo-shih (Palembang), baru kemudian belajar di India. Sepulangnya dari Nalanda, I-tsing menetap di Sriwijaya selama tujuh tahun (688-695 M) dan menghasilkan dua karya besar yaitu Ta T‘ang si-yu-ku-fa-kao-seng-chuan dan Nan-hai-chi-kuei-nei-fa-chuan (A Record of the Budhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago) yang selesai ditulis pada tahun 692 M. Ini menunjukkan bahwa, Sriwijaya merupakan salah satu pusat agama Budha yang penting pada saat itu.<br />Sampai awal abad ke-11 M, Kerajaan Sriwijaya masih merupakan pusat studi agama Buddha Mahayana. Dalam relasinya dengan India, raja-raja Sriwijaya membangun bangunan suci agama Budha di India. Fakta ini tercantum dalam dua buah prasasti, yaitu prasasti Raja Dewapaladewa dari Nalanda, yang diperkirakan berasal dari abad ke-9 M; dan prasasti Raja Rajaraja I yang berangka tahun 1044 M dan 1046 M.<br />Prasasti pertama menyebutkan tentang Raja Balaputradewa dari Suwarnadwipa (Sriwijaya) yang membangun sebuah biara; sementara prasasti kedua menyebutkan tentang Raja Kataha dan Sriwijaya, Marawijayayottunggawarman yang memberi hadiah sebuah desa untuk dipersembahkan kepada sang Buddha yang berada dalam biara Cudamaniwarna, Nagipattana, India.<br />Di bidang perdagangan, Kerajaan Sriwijaya mempunyai hubungan perdagangan yang sangat baik dengan saudagar dari Cina, India, Arab dan Madagaskar. Hal itu bisa dipastikan dari temuan mata uang Cina, mulai dari periode Dinasti Song (960-1279 M) sampai Dinasti Ming (abad 14-17 M). Berkaitan dengan komoditas yang diperdagangkan, berita Arab dari Ibn al-Fakih (902 M), Abu Zayd (916 M) dan Mas‘udi (955 M) menyebutkan beberapa di antaranya, yaitu cengkeh, pala, kapulaga, lada, pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak, kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah, dan penyu. Barang-barang ini dibeli oleh pedagang asing, atau dibarter dengan porselen, kain katun dan kain sutra.muditahttp://www.blogger.com/profile/05091005719901532104noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8872898609804187426.post-58155133828922570042010-10-13T07:19:00.000-07:002010-10-13T07:20:39.680-07:00PERKEMBANGAN AGAMA HINDU PADA SAAT KERAJAAN KALINGGAKalingga adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Tengah, yang pusatnya berada di daerah Kabupaten Jepara sekarang. Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.<br />Putri Maharani Shima, Parwati, menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Mandiminyak, yang kemudian menjadi raja kedua dari Kerajaan Galuh.<br />Maharani Shima memiliki cucu yang bernama Sanaha yang menikah dengan raja ketiga dari Kerajaan Galuh, yaitu Brantasenawa. Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama Sanjaya yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732 M).<br />Setelah Maharani Shima meninggal di tahun 732 M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram, dan kemudian mendirikan Dinasti/Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.<br />Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban.<br />Kemudian Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran.<br />Pada abad ke-5 muncul Kerajaan Ho-ling (atau Kalingga) yang diperkirakan terletak di utara Jawa Tengah. Keterangan tentang Kerajaan Ho-ling didapat dari prasasti dan catatan dari negeri Cina. Pada tahun 752, Kerajaan Ho-ling menjadi wilayah taklukan Sriwijaya dikarenakan kerajaan ini menjadi bagian jaringan perdagangan Hindu, bersama Malayu dan Tarumanagara yang sebelumnya telah ditaklukan Sriwijaya. Ketiga kerajaan tersebut menjadi pesaing kuat jaringan perdagangan Sriwijaya-Buddha.<br />Catatan dari zaman Dinasti Tang<br />Cerita Cina pada zaman Dinasti Tang (618 M - 906 M) memberikan tentang keterangan Ho-ling sebagai berikut.<br />• Ho-ling atau disebut Jawa terletak di Lautan Selatan. Di sebelah timurnya terletak Pulau Bali dan di sebelah barat terletak Pulau Sumatera.<br />• Ibukota Ho-ling dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tonggak kayu.<br />• Raja tinggal di suatu bangunan besar bertingkat, beratap daun palem, dan singgasananya terbuat dari gading.<br />• Penduduk Kerajaan Ho-ling sudah pandai membuat minuman keras dari bunga kelapa<br />• Daerah Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak dan gading gajah.<br />Catatan dari berita Cina ini juga menyebutkan bahwa sejak tahun 674, rakyat Ho-ling diperintah oleh Ratu Sima (Simo). Ia adalah seorang ratu yang sangat adil dan bijaksana. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Ho-ling sangat aman dan tentram.<br />[sunting] Catatan I-Tsing<br />Catatan I-Tsing (tahun 664/665 M) menyebutkan bahwa pada abad ke-7 tanah Jawa telah menjadi salah satu pusat pengetahuan agama Buddha Hinayana. Di Ho-ling ada pendeta Cina bernama Hwining, yang menerjemahkan salah satu kitab agama Buddha. Ia bekerjasama dengan pendeta Jawa bernama Janabadra. Kitab terjemahan itu antara lain memuat cerita tentang Nirwana, tetapi cerita ini berbeda dengan cerita Nirwana, tetapi cerita ini berbeda dengan cerita Nirwana dalam agama Buddha Hinayana.<br />[sunting] Prasasti<br />Prasasti peninggalan Kerajaan Ho-ling adalah Prasasti Tukmas. Prasasti ini ditemukan di Desa Dakwu daerah Grobogan, Purwodadi di lereng Gunung Merbabu di Jawa Tengah. Prasasti bertuliskan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Prasasti menyebutkan tentang mata air yang bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan dengan Sungai Gangga di India. Pada prasasti itu ada gambar-gambar seperti trisula, kendi, kapak, kelasangka, cakra dan bunga teratai yang merupakan lambang keeratan hubungan manusia dengan dewa-dewa Hindu.muditahttp://www.blogger.com/profile/05091005719901532104noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8872898609804187426.post-82818676113831444162010-10-12T03:14:00.000-07:002010-10-12T03:15:43.875-07:00KODEFIKASI DAN KLASIFIKASI VEDAI. KODIFIKASI VEDA SRUTI<br />Pada mulanya para maharsi menerima wahyu itu lama kemudian ketika tulisan ditemukan, barulah dituliskan kembali mantram-mantram Veda itu. Tradisi pembelajaran Veda pada jaman dulu disebut sakha yang kemudian berkembang menjadi sampradaya atau asrama, yakni pusat pembelajaran Veda yang dipimpin oleh seorang maharsi atau lebih. Di dalam asrama itu wahyu Tuhan didiskusikan dan diteruskan secara lisan melalui sistem parampara dalam tradisi Hindu. Dan diyakini yang menghimpun atau mengkompilasi mantram-mantram Veda (Sruti) yang sebelumnya tersebar dalam berbagai sakha adalah Maharsi Vyasa. Veda disusun dan dituliskan kembali oleh Maharsi Vyasa dalam 4 himpunan dibantu 4 orang siswanya yaitu :<br />1. Pulaha, yang menyusun Rgveda yang merupakan himpunan pengetahuan suci yang berhubungan dengan pemujaan.<br />2. Vaisampayana, yang menyusun Yajurveda yang isinya pengetahuan suci tentang upacara korban.<br />3. Jaimini, yang menyusun Samaveda yang berisi himpunan pengetahuan suci tentang irama (melodi).<br />4. Sumantu, yang menyusun Atharvaveda yang berisi nyanyian-nyanyian yang bersifat magis. <br />Pengelompokkan dari keempat kitab Veda (Sruti) itu terdiri dari :<br />1. Samhita yakni himpunan mantra-mantra Veda yang mengandung mantra upasana (doa kebaktian, pemujaan, ucapan syukur, mantra-mantra upacara korban), ajaran filsafat dan tata susila, pendidikan, dan lain-lain.<br />2. Brahmana yakni uraian tentang ketuhanan/teologi teristimewa observasi tentang jalannya upacara korban atau mistis dari upacara korban yang dilakukan oleh individu atau kelompok.<br />3. Aranyaka dan Upanisad. Aranyaka berarti buku hutan dan Upanisad berarti ajaran yang bersifat rahasia (rahasyam). Di dalam kitab-kitab tersebut terkandung ajaran tentang teologi, ajaran filsafat Hindu yang sangat mendalam dan medias atau kehidupan menjadi pertapa di hutan, juga ajaran Yoga untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.<br />I.A. Rgveda<br />Rgveda terdiri dari 1028 sukta (himne), 10.552 mantra. Terbagi atas 10 mandala dan masing-masing mandala terdiri dari beberapa sukta atau varga (himne) dan masing-masing sukta terdiri dari beberapa mantra. Rgveda memiliki beberapa resensi yaitu resensi Sakala, Baskala, Aswalayana, Samkhyayana dan Mandukaya. Resensi Sakala adalah resensi yang paling lengkap.<br />Kitab Aitareya (40 adhyaya) dan Kausitaki (Samkhyayana) (30) merupakan kitab Brahmana dari Rgveda. Aitareya umurnya lebih tua dan isinya lebih tebal, tetapi Kausitaki lebih kaya dan isinya lebih bervariasi. Aitareya ditulis oleh Mahidasa Aitareya; isinya ialah persembahan Soma, Agnihotra (persembahan api) dan Rajasuya (upacara penobatan raja). Kausitaki memuat 30 adhyaya; adhyaya 1 sampai 6 berisi tentang persembahan makanan, sedangkan adhyaya 7 sampai 30 tentang upacara persembahan Soma.<br />Aitareya Brahmana memuat Aitareya Aranyaka dan Kausitaki Brahmana memuat Kausitaki Aranyaka. Upanisad yang tergolong dalam Rgveda ada 10 buah yaitu : Aitareya, Kausitaki, Nadabindu, Atmaprabodha, Nirvana, Mudgala, Aksamalika, Tripura, Sambhagya dan Bahvrca.<br />I.B. Samaveda<br />Samaveda terdiri dari 1875 mantra yang sebagian besar diambil dari mantra-mantra Rgveda (1800 mantra merupakan pengulangan dari mantra-mantra Rgveda, 2 mantra berasal dari Yajurveda). Terdapat 3 resensi Samaveda yaitu Kauthuma, Ranayaniya dan Jaiminiya (Jaiminiya merupakan yang terpenting). Kauthuma terdiri dari 2 bagian yaitu Mantra dan Brahmana. Kitab Mantra terdiri dari 2 sub bagian yaitu Purvarcika (dari Rgveda) dan Uttararcika (mantra tambahan)<br />Kitab Brahmana dalam Samaveda adalah Tandyamaha Brahmana (Pancavimsa Brahmana), Jaiminiya Brahmana, Talavakara dan Kautama. Tandyamaha Brahmana terdiri dari 25 bab, 2 bab merupakan sisipan yang dianggap bagian yang berdiri sendiri dengan satu tambahan yang disebut Sadvimsa Brahmana.<br />Pada bagian awal dari Chandogya Upanisad merupakan kitab Aranyaka dari kitab Brahmana kitab Samaveda. Upanisad yang tergolong dalam Samaveda adalah Kena, Chandogya, Aruni, Maitrayani, Vajrasucika, Yogacundamani, Vasudeva, Mahat, Sanyasa, Avyakta, Kundika, Savitri, Rudraksa Jabala, Darsana, Jabali dan Maitreyi.<br />I.C. Yajurveda<br />Yajurveda terdiri dari 1975 mantra yang tersebar kedalam 40 adhyaya. Adhyaya yang terbesar adalah adhyaya 12 yang terdiri dari 117 mantra, diikuti oleh adhyaya 17 (99 mantra), adhyaya 24 ( 98 mantra), adhyaya 33 (97 mantra), adhyaya 19 (95 mantra), adhyaya 20 (90 mantra), adhyaya 11 (83 mantra); yang terpendek adalah adhyaya 39 (13 mantra). Ada 2 bagian kitab Yajurveda yaitu:<br />1. 1. Sukla Yajurveda; terdiri dari 2 resensi yaitu Kanva dan Madhyandina ( Vajasaneyi). Kitab Brahmana dari Yajurveda adalah Satapatha Brahmana ( mengatur tentang upacara ) yang terbagi atas 100 adhyaya yang disusun oleh Yajnavalkya Vajasaneya. Upanisad yang tergolong dalam kelompok Sukla Yajurveda adalah Isavasya, Brhadaranyaka, Jabala, Hamsa, Paramahamsa, Subala, Mantrika, Nirambha, Trisikhi, Brahmana, Turiyatita, Advayataraka, Paingala, Biksu, Adhyatma, Tarasara, Yajnavalkya, Satyayani, Muktika, Mandala Brahmana.<br />2. 2. Krsna Yajurveda; memiliki 4 resensi yaitu Kathaka, Kapisthala Katha, Maitrayani dan Taittiriya. Taittiriya terbagi atas 2 bagian yaitu Apastaba dan Hiranyakesin. Taittiriya Brahmana merupakan kitab Brahmana dari Krsna Yajurveda. Upanisad yang termasuk dalam kelompok Krsna Yajurveda antara lain: Kathavali, Taittiriya, Brahma, Kaivalya, Svetasvatara, Garbha, Narayana, Amrtabindu, Amrta-nada, Kalagnirudra, Sarvasara, Sukharahasya, Tejobindu, Dhyanabindu, Yogatattva, Daksinamurti, Skanda, Sariraka, Yogasikha, Ekaksara, Aksi, Avaduta, Katha, Rudrahrdya, Yoga kundalini, Pancabrahma, Pranagnihotra, Varaha, Kalisamtarana, Sarasvatirahasya, Ksurika.<br />I.D Atharvaveda<br />Atharvaveda ditulis oleh Maharsi Atharvan, terdiri dari 5987 mantra, 20 kanda dimana tiap-tiap kanda terbagi atas himne dan tiap-tiap himne terdapat beberapa mantra. Kanda 1 sampai 7 mengandung nyanyian-nyanyian pendek, kanda 8 sampai 12 mengandung nyanyian yang lebih panjang, kanda 13 berisi nyanyian-nyanyian yang ditujukan kepada matahari (Rohita), kanda 14 berisi nyanyian-nyanyian perkawinan, kanda 15 tentang Vratya, kanda 18 tentang nyanyian untuk orang mati.<br />Aslinya terdapat 9 resensi tentang Atharvaveda dan kini yang masih tersisa hanyalah resensi dari Sakha Paippalada dan Saunaka. Sembilan resensi itu adalah Paippalada, Danta, Pradanta, Snata, Snauta, Brahmadavala, Saunaka, Devadarsani dan Caranavidya.<br />Gopatha Brahmana adalah kitab Brahmana dari Atharvaveda. Upanisad yang masuk dalam kelompok Atharvaveda antara lain: Prasna, Mundaka, Mandukya, Atharvasira, Atharvasikha, Brhajabala, Nrsimhatapani, Naradaparivrajaka, Sita, Sarabha, Mahanarayana, Ramarahasya, Ramatapani, Sandilya, Annapurna, Surya, Atma, Pasupata, Parabrahma, Tripuratapani, Dewi, Paramahamsa, Parivrajaka, Bhawana, Ganapati, Mahavakya, Gopalatapani, Krsna, Brahmajabala, Hayagriva, Dattareya, Garuda.muditahttp://www.blogger.com/profile/05091005719901532104noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8872898609804187426.post-37990588018920853812010-10-12T03:13:00.000-07:002010-10-12T03:14:46.401-07:00Penciptaan Alam Semesta Menurut VedaPenciptaan Alam Semesta Menurut Veda<br /><br />Dalam Manawa Dharmasastra 1.5; dijelaskan bahwa Alam semerta ini pada mulanya adalah bentuk kegelapan, tak dapat dilihat tanpa ciri2 sama sekali, tak terjangkau leh daya pikiran, tak dapat dikenal, se-olah2 sebagai orang yang tenggelam dalam tidur yang paling menyenyakan.<br /><br />Chandogya Upanisad 3.14.1 menyatakan bahwa semuanya adalah Brahman.<br />Tidak ada neraka abadi karena bahkan neraka pun tidak bisa dipisahkan dengan Tuhan. Bahkan, tidak ada surga atau neraka pada akhir zaman. Semesta hanyalah manifestasi dari Yang Kuasa, dan akhir dari siklus semesta yang sekarang disebut “Mahapralaya” saat semua kembali pada Purusa. Di akhir zaman, tidak ada surga, tidak ada neraka dan tidak ada jiwa. <br /><br />Matsya Purana 2.25-30, penciptaan diceritakan terjadi setelah Mahapralaya, leburnya alam semesta, kegelapan di mana-mana. Semuanya dalam keadaan tidur. Tidak ada materi apapun, baik yang bergerak maupun tak bergerak. Lalu Svayambhu, self being, menjelma, yang merupakan bentuk di luar indra. Ia menciptakan air/cairan pertama kali, dan menciptakan bibit penciptaan di dalamnya. Bibit itu tumbuh menjadi telur emas. Lalu Svayambhu memasuki telur itu, dan disebut Visnu karena memasukinya.<br /><br />Manawa Dharmasastra 1.8-11; Ia (Tuhan) yang ingin menciptakan dirinya sendiri semua makhluk2 hidup yang beranekaragam, mula2 dengan pikiranNYa terciptalah benih dan benih itupun menjadi telor alam yang maha suci dan maha terang, dalam telor itulah Ia menciptakan dirinya sebagai Brahman, pencipta dan cikal bakal dari alam semesta. dari cikal bakal (sebab) yang pertama ini, yang tak berbedakan, kekal yang nyata dan tak nyata, munculah purusa.<br /><br />Rg. Veda menjelaskan bahwa sebelum penciptaan Alam semesta dalam bentuk tak berwujud yang disebut rahim emas, rahim dari semesta atau Hiranyagharba.<br />“Sebelum penciptaan adalah rahim emas, ia adalah tuan dari segala yang lahir. Ia memegang bumi.” – Rg. Veda 10.121.1 <br /><br />Sebelum penciptaan yang ada hanya kosong. Belum ada ruang maupun waktu. Tak ada materi.<br />“Pada mulanya sama sekali tiada apapun. Tiada surga, tiada bumi dan atmosfer.” - Taittiriya Brahmana 2.2.9.1<br />“Seluruh semesta termasuk bulan, matahari, galaksi dan planet-planet ada di dalam telur. Telur ini dikelilingi oleh sepuluh kualitas dari luar.” - Vayu Purana 4.72-73 <br />“Di akhir dari ribuan tahun, Telur itu dibagi dua oleh Vayu.” - Vayu Purana 24.73<br />“Dari telur emas, alam material diciptakan.” - Manusmrti 1.13<br /><br />istilah telur emas atau telur alam sekedar merupakan bahasa yang melukiskan sifat2 yang mengandung ide kesucian / keistimewaan. Saat Penciptaan Semesta, Purusa/Prajapati/Brahman menciptakan dua kekuatan yang disebut Purusa yaitu kekuatan hidup (batin / nama) dan Prakerti (pradana/rupa) yaitu kekuatan kebendaan. Kemudian timbul “citta” yaitu alam pikiran yang dipengaruhi oleh Tri Guna yaitu Satwam (sifat kebenaran / Dharma), Rajah (sifat kenafsuan / dinamis) dan Tamah (Adharma / kebodohan / apatis). Kemudian timbul Budi (naluri pengenal), setelah itu timbul Manah (akal dan perasaan), selanjutnya timbul Ahangkara (rasa keakuan). Setelah ini timbul Dasa indria (sepuluh indria/gerak keinginan) yang terbagi dalam kelompok;<br />• Panca Budi Indria yaitu lima gerak perbuatan/rangsangan: Caksu indria (penglihatan), Ghrana indria (penciuman), Srota indria (pendengaran), Jihwa indria (pengecap), Twak indria (sentuhan atau rabaan). <br />• Panca Karma Indria yaitu lima gerak perbuatan/penggerak: Wak indria (mulut), Pani (tangan), Pada indria (kaki), Payu indria (pelepasan), Upastha indria (kelamin).<br />Setelah itu timbullah lima jenis benih benda alam ( Panca Tanmatra): Sabda Tanmatra (suara), Sparsa Tanmatra (rasa sentuhan), Rupa Tanmatra (penglihatan), Rasa Tanmatra (rasa), Gandha Tanmatra (penciuman). Dari Panca Tanmatra lahirlah lima unsur-unsur materi yang dinamakan Panca Maha Bhuta, yaitu Akasa (ether), Bayu (angin), Teja (sinar), Apah (zat cair) dan Pratiwi (zat padat).<br />Pancamahabhuta berbentuk Paramānu atau benih yang lebih halus daripada atom. Pada saat penciptaan, Pancamahabhuta bergerak dan mulai menyusun alam semesta dan mengisi kehampaan. Setiap planet dan benda langit tersusun dari kelima unsur tersebut, namun kadangkala ada salah satu unsur yang mendominasi. <br /><br />“dan juga diciptakan tingkatan daripada Dewa2 yang memiliki hidup dan sifat bergerak, juga diciptakan Sandhya serta Yadnya yang kekal. diciptakan juga olehNYA waktu, bagian dari waktu, gugusan2, bulan2 dan planet2” - Manawa Dharmasastra 1.22-24<br />“dengan memakai lima macam unsur alam yang halus (panca tanmatra) sebagai sarana seluruh alam ini dibentuk olehNya dengan susunan yang teratur secara sempurna, Ia menentukan tujuan dari ciptaannya untuk selanjutnya arah itu merupakan jalan yang tetap dari ciptaanya yang mengikutinya” - Manawa Dharmasastra 1.27-28<br /><br />Unsur-unsur tersebut dicampur dengan Citta, Buddhi, Ahamkara, Dasendria, Pancatanmatra dan Pancamahabhuta. Dari pencampuran tersebut, timbulah benih makhluk hidup, yaitu Swanita dan Sukla. Pertemuan kedua benih tersebut menyebabkan terjadinya makhluk hidup.<br /><br />Teori penciptaan Veda lebih jauh dijelaskan dalam Bhagavata Purana/ Srimad Bhagavatam;<br />Srimad Bhagavatam (3.11.41) menjelaskan: “Lapisan-lapisan unsur yang menutupi alam semesta, masing-masing sepuluh kali lebih tebal dari lapisan sebelumnya, dan kumpulan seluruh alam semesta bersama-sama kelihatan bagai atom-atom dalam kombinasi yang besar.”<br />Srimad Bhagavatam (5.20.43-46) : “Matahari berada di pertengahan alam semesta, yaitu di wilayah ruang (antariksha) antara Bhurloka dan Bhuvarloka”<br /><br />Sementara itu pada Srimad Bhagavatam skanda 5 bab 24 mengatakan munculnya alam semesta dari pori-pori Tuhan dalam wujud Karanodakasayi Visnu, dari sini muncul Garbhodakasayi Visnu yang berikutnya dari pusar Beliau muncul bentuk yang menyerupai bunga padma. Di atas bunga padma inilah Tuhan menciptakan mahluk hidup yang pertama, yaitu Dewa Brahma. Dewa Brahma diberi wewenang sebagai arsitek yang menciptakan susunan galaksi beserta isinya dalam satu alam semesta yang dikuasainya. Alam semesta berjumlah jutaan dan tidak terhitung banyaknya yang muncul dari pori-pori Karanodakasayi Visnu dan setiap alam semesta memiliki dewa Brahma yang berbeda-beda. <br /><br />Ada Dewa Brahma yang berkepala 4 seperti yang dijelaskan menguasai alam semesta tempat bumi ini berada. Dan ada juga Brahma yang lain yang memiliki atribut yang berbeda, berkepala 8, 16, 32 dan sebagainya. Yang jelas dapat disimpulkan bahwa Brahma adalah merupakan kedudukan dalam sebuah alam semesta dan di seluruh jagat material terdapat sangat banyak dewa Brahma, bukan saja dewa Brahma bermuka empat yang telah biasa dibicarakan oleh umat Hindu saat ini. <br /><br />Hal pertama yang diciptakan Brahma adalah susunan benda antariksa, planet, bintang dan sejenisnya mulai dari tingkatan paling halus sampai dengan yang paling kasar. Dalam penciptaan ini dijelaskan bahwa Tuhan menjelma sebagai Ksirodakasayi Visnu dan masuk kedalam setiap atom. Inilah kemahahebatan Tuhan sebagai maha ada dan menguasai setiap unsur dalam ciptaannya. Setelah itu Dewa Brahma menciptakan berbagai jenis kehidupan mulai dari para dewa, alien, mahluk halus, binatang, tumbuhan sampai pada bakteri yang keseluruhannya berjumlah 8.400.000 jenis kehidupan.<br /><br />Ketika alam semesta berekspansi, Ia juga diberi nama Virata yang diturunkan dari akar kata ‘Vr’ yang artinya untuk menutupi yang juga berarti ‘sangat besar’.<br />“Vrtra menutupi kesemua tri loka.” - Taittiriya Samhita 2.4.12.2<br />“Vrtra berada jauh di atas di Antariksa.” – Rg.Veda 2.30.3<br />Tri loka melukiskan alam semesta, jadi disini Vrtra menutupi alam semesta. Jika Vrtra ada di batas alam semesta, ia bisa dikatakan berada ditempat yang jauh sekali.<br /><br />Dalam Rg.Veda 1.32 dilukiskan bahwa Vrtra (sang ular) menahan air, dimatra 12 dijelaskan bahwa kekalahan Vrtra dari Indra membebaskan tujuh sungai untuk mengalir. Pembebasan tujuh sungai (sapta sindhu) oleh Indra bukanlah disebutkan hanya satu kali, tapi berulang-ulang kali dalam Rg.Veda. Ide dimana ular menahan air juga ditemukan dalam manuskrip yang berbeda-beda diseluruh dunia.<br /><br />Mitos dari Quiches, suku Indian di Amerika Selatan, bisa ditemukan di Popol Vuh. Suku Quiches percaya bahwa pada mulanya adalah air dan ular berbulu.<br /><br />Dalam Rg.Veda 4.17.13 Indra disebut sebagai Asanimana yang artinya Ia yang menguasai petir. Lebih lanjut dalam Kausitaki Brahmana 6.9, Indra disebut sebagai Asani (petir). Satapatha Brahmana mengatakan: “Siapakah Indra dan siapakah Prajapati? Petir adalah Indra dan Yajna adalah Prajapati.” - Satapatha Brahmana 11.6.3.9<br /><br />Lebih lanjut dalam Rg.Veda bab II.72.4 disebutkan<br />“Aditer dakso ajayata, daksad uaditih pari” artinya : Dari aditi (materi) asalnya daksa (energi) dan dari daksa (energi) asalnya aditi (materi).<br />Mengakomodir pemaparan ayat-ayat Veda tentang penciptaan alam semesta, Veda mengajukan teori baru yang berbeda dengan teori penciptaan yang umum dikenal sekarang.<br /><br />Secara garis besar Veda mengatakan bahwa alam semesta muncul dari pori-pori Tuhan yang merupakan energi maha besar dan berikutnya berkembang dan terus meluas membentuk materi yang memenuhi semesta raya.<br /><br />Lebih lanjut, Srimad Bhagavatam dalam skanda yang sama menjelaskan pada akhir peleburan suatu alam semesta, alam semesta akan kembali masuk ke dalam pori-pori Tuhan.<br /><br />Sementara itu pada akhir abad ke-20 para ilmuan mengamati adanya lubang hitam yang memiliki medan gravitasi sangat besar dan bahkan menarik cahaya masuk ke dalamnya, benda inilah yang disebut sebagai Black Hole. Jadi dikaitkan dengan fenomena tertariknya materi termasuk cahaya ke dalam lubang hitam ini, penulis mengajukan hipotesa dengan nama baru sesuai dengan konsep penciptaan dan peleburan alam semesta versi Veda, yaitu konsep Black Hole – White Hole. Meskipun pada kenyataannya saat ini belum satupun ilmuan yang mengamati keberadaan White Hole, White Hole barulah sebuah teori yang dihasilkan dari pemodelan Relativitas umum.<br /><br />Black Hole adalah sebagai lubang tempat materi (aditi) kembali berubah menjadi energi (daksa) dan White Hole adalah lubang tempat energi (daksa) berubah menjadi materi (aditi). Dari satu White Hole akan terbentuk gelembung besar yang pada akhirnya membentuk satu alam semesta yang antara satu alam semesta dengan alam semesta lainnya masing-masing dibatasi oleh tegangan permukaan/lapisan yang sangat kuat [lihat Srimad Bhagavatam (3.11.41) ]. <br /><br />Dalam satu alam semesta sendiri juga terbentuk gelembung-gelembung (phena) yang memberi jarak yang tidak merata antara satu susunan galaksi dengan yang lainnya [lihat Satapatha Brahmana 6.1.3.2] Sementara itu di jagat raya terdapat jutaan White Hole yang masing-masing memunculkan satu gelembung alam semesta. Akankah fenomena White Hole belum teramati oleh teleskop tercanggih, Hubble sampai saat ini? White Hole muncul saat awal lahirnya alam semesta material. Hanya saja, apakah saat ini proses penciptaan alam material sebagaimana lahirnya alam semesta masih berlangsung?<br /><br />Penciptaan Manusia dan Isi Bumi<br />Teori penciptaan Veda mengenai isi bumi dapat dilihat dalam kitab Veda Smriti yaitu Manawa Dharma sastra. disana disebutkan Brahman menciptakan mahlkuk hidup dan isi alam ini melalui tapaNya;<br />“kemudian Aku ingin menciptakan mahluk2 hidup, menjalankan tapa dengan maksud menciptakan sepuluh maharsi pemimpin dari mahluk hidup” - Manawa Dharmasastra 1.34<br />“mereka menjelmakan Tujuh Manu lagi yang memiliki cahaya cemerlang, para dewa dengan tingkat2annya dan maharsi yang memiliki kekuatan batin yang tinggi” - Manawa Dharmasastra 1.36<br />“diciptakan pula para yaksa, raksasa dan banyak tingkatan roh, kilat, guruh, mendung, pelangi, hujan, suara2 gaib, bintang2 yang bergerak serta sinar2 langit yang beraneka ragam. para kinnara, tumbuhan, berbagai jenis ikan, kura2, burung2, binatang, manusia dan segala macam benda2 tak bergerak. demikian semua ciptaan yang bergerak maupun tak bergerak, diciptakan oleh MahaAtma dengan kekuatan tapanya, semuanya atas perintahKu dan menurut hasil daripada perbuatannya” - Manawa Dharmasastra 1.37-41.<br />“ada Enam Manu lagi yang berjiwa suci dan berpikiran sangat tinggi, yang menjadi warga manu keturunan dari Swayambhu Manu yang telah menjadikan semua mahluk hidup di dunia ini” - Manawa Dharmasastra 1.61<br />“ketujuh Manu yang gemilang ini yang pertama adalah Swayambhu Manu, mengadakan dan melindungi semua mahluk hidup dan benda mati di dunia ini sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan baginya” - Manawa Dharmasastra 1.63<br /><br />Dalam agama Hindu, Manu adalah pemimpin setiap Manwantara, yaitu suatu kurun zaman dalam satu kalpa. Ada empat belas Manwantara, sehingga ada empat belas Manu. Daftar para Manu dipaparkan di bawah ini dari manu pertama sampai manu ke empat belas; Swayambu, Swarocisa, Utama, Tamasa, Raiwata, Caksusa, Waiwaswata, Sawarni, Daksasawarni, Brahmasawarni, Darmasawarni, Rudrasawarni, Rocya atau Dewasarni dan Botya atau Indrasawarni. Zaman sekarang adalah Manwantara ketujuh dan oleh Manu ketujuh yang bergelar Waiwaswata Manu. Jadi, tujuh Manwantara lainnya akan terjadi di masa depan, dan dipimpin oleh seorang Manu yang baru. Menurut Hindu, keberadaan alam semesta tak lepas dari siklus kalpa. Satu kalpa berlangsung selama jutaan tahun, dan satu kalpa terdiri dari empat belas Manwantara (siklus Manu). <br /><br />Manu yang pertama adalah Swayambu Manu, sebagai kakek moyang manusia. Swayambu Manu menikah dengan Satarupa dan memiliki keturunan. Anak cucu dari Manu disebut Manawa (secara harfiah berarti keturunan Manu), merujuk kepada manusia zaman sekarang. Menurut agama Hindu, Swayambu Manu dan Satarupa merupakan pria dan wanita pertama di dunia .<br /><br />Waiwaswata Manu, atau Manu yang sekarang, dikatakan merupakan putra dari Surya (Wiwaswan), yaitu dewa matahari menurut mitologi Hindu. Waiwaswata Manu terlahir pada zaman Satyayuga dan mendirikan kerajaan bernama Kosala, dengan pusat pemerintahan di Ayodhya. Ia memiliki sepuluh anak: Wena, Dresnu (Dresta), Narisyan (Narisyanta), Nabaga, Ikswaku, Karusa, Saryati, Ila, Persadru (Persadra), dan Nabagarista. Dalam kitab Matsyapurana, ia muncul sebagai raja yang menyelamatkan umat manusia dari bencana air bah setelah mendapat pesan dari Wisnu yang berwujud ikan (Matsya Awatara). Cerita penyelamatan raja dan mahluk hidup ini sangat mirip dengan riwayat Nabi Nuh (kisah perahu Noah/Nuh dalam torah) yang menyelamatkan mahluk hidup dari bencana air bah.<br /><br />Manwantara (Sanskerta: मन्वन्तर ) adalah satuan waktu dalam agama Hindu yang terdiri dari 71 Mahayuga. Menurut mitologi Hindu, bila 14 Manwantara telah berlalu, maka seluruh dunia akan dihancurkan. Saat ini, sudah enam manwantara berlalu dan zaman sekarang adalah manwantara ketujuh. Jadi, masih ada tujuh manwantara lagi sebelum dunia dihancurkan.<br /><br />Menurut kitab Purana, dunia terbagi menjadi empat zaman, diawali oleh Satyayuga (zaman kebenaran), dan diakhiri oleh Kaliyuga (zaman kegelapan). Setelah Kaliyuga berakhir, dimulailah Satyayuga yang baru. Demikian seterusnya dan siklus dari zaman Satyayuga menuju Kaliyuga disebut Mahayuga. Menurut kitab Brahmapurana, satu Mahayuga berlangsung selama 12.000 tahun para dewa atau 4.320.000 tahun manusia. <br /><br />Secara singkat diuraikan sebagai berikut:<br />Satyayuga (1.728.000 tahun), Tretayuga (1.296.000 tahun), Dwaparayuga (864.000 tahun), Kaliyuga (432.000 tahun), Sehinga lama Mahayuga (4.320.000 tahun)<br /><br />71 Mahayuga membentuk satu manwantara. Dengan demikian, lama berlangsungnya 1 manwantara dapat dihitung sebagai berikut:<br />• 1 Mahayuga = 4.320.000 tahun<br />• 71 Mahayuga = 1 Manwantara<br />• 1 Manwantara = 71 × 4.320.000 tahun = 306.720.000 tahun<br />Maka, satu manwantara berlangsung selama 306.720.000 tahun. Setelah 14 manwantara berlangsung, maka tercapailah periode satu Kalpa. Alam semesta dihancurkan setiap periode satu Kalpa. Menurut berbagai kitab Purana, zaman sekarang adalah manwantara ketujuh, berarti enam manwantara telah berlalu dan masih ada tujuh manwantara lagi sebelum dunia dihancurkan.<br /><br />mengenai kiamat juga sudah dijelaskan dalam Veda, bahwa kiamat itu sendiri sudah biasa dan sudah pernah terjadi berulang-ulang kalinya;muditahttp://www.blogger.com/profile/05091005719901532104noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8872898609804187426.post-63452067147949275252010-08-20T06:22:00.000-07:002010-08-20T06:23:38.035-07:00ASTA AISWARYASifat – sifat Tuhan <br />Di dalam kitab Wrhaspatitattwa terdapat keterangan tentang sifat- sifat Tuhan yang disebut Asta Sakti atau Astaiswarya yang artinya delapan sifat kemahakuasaan Tuhan.<br />1. “Hana Anima ngaranya”, Kesaktian Tuhan yang disebut Anima "Anu" yang berarti "atom". Anima dari Astaiswarya, ialah sifat yang halus bagaikan kehalusan atom yang dimiliki oleh Sang Hyang Widhi Wasa. Contohnya dalam sifat ini dapat meresap kesemua tempat termasuk ke dalam pikiran manusia seperti air yang bisa menuembus batu,gunung yang besar tanpa halangan.<br />2. “hana Laghima ngaranya”, Kesaktian Tuhan yang disebut Laghima Laghima berasal dari kata "Laghu" yang artinya ringan. Laghima berarti sifat- Nya yang amat ringan lebih ringan dari ether. Contohnya seperti gas yang dapat meresap ke pori-pori atau lubang sekecil apapun dan dapat terbang keangkasa, serta dapat mengapung di air.<br />3. ”hana Mahima ngaranya”, Kesaktian Tuhan yang disebut Mahima Mahima berasal dari kata "Maha" yang berarti Maha Besar, di sini berarti Sang Hyang Widhi Wasa meliputi semua tempat. Tidak ada tempat yang kosong (hampa) bagi- Nya, semua ruang angkasa dipenuhi. <br />4. “hana Prapti ngaranya”, Kesaktian Tuhan yang disebut Prapti Prapti berasal dari "Prapta" yang artinya tercapai. Prapti berarti segala tempat tercapai oleh- Nya, ke mana Ia hendak pergi di sana Ia telah ada. Contohnya beliau adalah maha Agung yang ada dimana-mana atau yang disebut “Sarwagatah”. Walau beliau di sembah pada tempat yang berbeda beliau akan datang atau ada pada tempat itu pada waktu yang bersaman.<br />5. “hana Prakamya ngaranya”, Kesaktian Tuhan yang disebut Prakamya Prakamya berasal dari kata "Pra Kama" berarti segala kehendak- Nya selalu terlaksana atau terjadi. Contohnya pada setiap kegiatan pasti akan menghasilkan sesuatu tujuan seperti pada saat kita menanam padi belum tentu akan langsung menghasilkan padi dan pada waktunya dia akan berbuah.<br />6. “hana Isitwa ngaranya”, Kesaktian Tuhan yang disebut Isitwa Isitwa berasal dari kata "Isa" yang berarti raja, Isitwa berarti merajai segala- galanya, dalam segala hal paling utama. Contohnya beliau maharaja dari raja beliau yang memimpin alam semesta beserta isinya.<br />7. “hana Wasitwa ngaranya”, Kesaktian Tuhan yang disebut Wasitwa Wasitwa berasal dari kata "Wasa" yang berarti menguasai dan mengatasi. Wasitwa artinya paling berkuasa. Contohnya beliau merupakan mahakuasa yang menguasai alam semesta.<br />8. “hana Yatrakamawasayitwa ngaranya”, Kesaktian Tuhan yang disebut Yatrakamawasayitwa Yatrakamawasayitwa berarti tidak ada yang dapat menentang kehendak dan kodrat- Nya. Contohnya apabila beliau mengkehendaki adanya bencana atau peristiwa maka manusia gak akan dapat menentang atau menghalangi keinginan beliau tersebut.<br />Kedelapan sifat keagungan Sang Hyang Widhi Wasa ini, disimbulkan dengan singgasana teratai (padmasana) yang berdaun bunga delapan helai (astadala). Singgasana teratai adalah lambang kemahakuasaan- Nya dan daun bunga teratai sejumlah delapan helai itu adalah lambang delapan sifat agung/ kemahakuasaan (Astaiswarya) yang menguasai dan mengatur alam semesta dan makhluk semua.muditahttp://www.blogger.com/profile/05091005719901532104noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-8872898609804187426.post-78081993890773521932010-06-19T06:01:00.000-07:002010-06-19T06:02:39.857-07:00CONTOH ANAK YANG SUPUTRAAda seorang brahmana yang bernama Jaratkaru, sebabnya oleh raja disebut Jaratkaru, ayam ity âhuhJarâtiks, (karena) jarat berarti suka mengalah (har. kemunduran), ikasya tad bhayamkârun, suka berbelas kasih, tempat berlindung bagi yang sedang dalam ketakutan, oleh karena itu (dia) benar-benar luar biasa, seyogyanyalah (dia) disegani, karena sifatnya yang suka mengalah.<br />Teringatlah dia akan penjelmaan badan, tahkârur iti smr, karena itu namanya Jaratkaru, (yang mana) takut kepada kesengsaraan penjelmaan. Ya ta warakulotpannah, dia adalah putera seorang Bikhu (= pendeta) yang mempunyai tapa yang luar biasa, seorang Bikhu yang gembira memungut padi yang tersebar dan telah terbuang di jalan, yang dicari (dan) dibersihkannya. Akhirnya menjadi banyaklah (padi yang dikumpulkannya itu), kemudian ditanaknya (padi-padi itu), (yang mana) ketika itu disajikannya kepada Bhatara (= dewa-dewa) serta memberikannya kepada para tamu. Begitulah tapa orang tuanya, tahan akan penderitaan, tidak bergaul dengan perempuan, hanya tapa yang dibesarkannya, diajarinya, menderita membuat tapa. Ketika itu Maharaja Parikesit berburu, lalu dikutuk oleh Bhagawan Sranggi dimakan oleh ular Taksaka[1]. Oleh karena itulah Jaratkaru membuat tapa. Setelah dia manjur mantranya, dia (dapat) pergi ke segala alam, (dapat) mengunjungi ke segala tempat asing hendak dia datangi dan (dapat) berjalan di atas air. Makin lama makin jauh perjalanannya, sampai dia terbawa ke Ayatanasthana, yaitu suatu tempat yang mengantarai surga dan neraka, tempatnya arwah menunggu (untuk) mendapatkan surga-neraka. Tempat itu terkunjungi oleh Jaratkaru, dia berada di Ayatanasthana.<br />Ada satu arwah yang digantung di sebatang bambu, yang digantung sungsang dan diikat kakinya. Di bawahnya adalah jurang yang dalam yang menuju ke alam neraka. Jika bambu itu patah, maka yang digantung itu akan menuju ke tempat itu (/alam neraka). Ada seekor tikus tinggal di lobang bambu yang dipinggir jurang itu. Setiap hari dia menggigit bambu itu. Hal itu terlihat oleh Jaratkaru, sehingga mengalirlah air matanya, maka dari itu berbelas kasihlah dia, hancur luluh hatinya kepada arwah yang digantung terbalik di ujung bambu itu serta diikat kakinya. Jaratkaru terpengaruh hatinya oleh arwah yang menyerupai seorang Bikhu yang berambut terjalin serta berpakaian dari kulit pohon. Tidak sepantasnyalah dia menghadapi kesengsaraan yang dideritanya. Dia menderita tidak makan seperti daun yang tergantung, yang kekeringan karena kemarau, yang berayun-ayun oleh karena angin deras, dia tidak makan selalu. Demikianlah keadaan arwah itu.<br />?"astambam âçritâh"Ke bhawanto ’walambante wîran<br />Kata Jaratkaru: "Siapakah tuanku yang digantung di sebatang bambu yang hampir patah oleh gigitan tikus, (yang hampir jatuh ke dalam) jurang yang tidak diketahui dalamnya. Keadaan yang demikian itu membuat sangat sedih hati hamba, sehingga hamba menaruh belas kasih hendak menolong engkau. Hamba membuat tapa sejak masih kanak-kanak serta menimbun beratnya tapa hamba, lalu sampai ke sini (dan melihat tuanku yang menderita), sehingga berbelas kasihlah hamba melihat kesengsaraanmu. Seberapa besar pahala dari tapa hamba yang harus hamba berikan, supaya engkau dapat pulang ke surga sehingga dapat berhenti menghadapi sengsara? Seperempatkah atau setengahkah yang (dapat) aku berikan sesuai dengan jalanmu untuk mendapatkan surga".<br />Perkataan Jaratkaru tersebut terdengar oleh arwah itu. Menjawablah dia dengan sangat dingin seperti disiram oleh air hidup hatinya:<br />"Tapawrata karma wayam. Hamba ditanya oleh tuanku, dan akan kuberitahukan semua keadaanku, ayetratoumarambham krtam karma santânam preks, (Itu semua terjadi) karena (akan) putus keturunanku. Karena itulah aku terputus dari Pitraloka (= alam arwah para leluhur) dan bergantung-gantung pada sebatang bambu yang seolah-olah (hampir) jatuh ke alam neraka. (Sebenarnya) aku mempunyai satu keturunan. Namanya Jaratkaru. Tetapi dia moksa juga, hendak meluputkan segala sesuatu yang membelenggu manusia, tidak beristri, menjadi murid brahmana yang suci. ...[2] Jika seandainya keturunanku terputus, maka akibatnya adalah binasa. Semula aku senang terutama oleh pekerjaan tapa yang istimewa. (Tetapi) hal yang demikianlah yang terjadi sekarang ini, yaitu dengan tidak adanya keturunanku, tino yathâkr dusnarah, tidak ada perbedaan antara aku dengan (orang) yang melakukan perbuatan dosa, yang (sama-sama) menghadapi kesengsaraan. Hal inilah yang dapat engkau lakukan jika engkau berbelas kasih "Bikhu itu bernama Jaratkaru, mita belas kasihlah kepadanya. Suruh supaya dia beranak, agar supaya aku dapat pulang ke Pitraloka. Beritahukanlah kepadanya bahwa aku menghadapi sengsara, agar supaya hatinya dapat berbelas kasih".<br />Dengan arwah itu berbicara, maka semakin mengalir air mata Jaratkaru. Seperti diiris hatinya melihat bapaknya menghadapi keadaan susah: "Hamba ini bernama Jaratkaru, keturunanmu yang tamak akan tapa, yang mengingini kedudukan sebagai murid brahmana. Aku kira sekarang ini engkau belum selesai, padahal telah sempurna tapa yang telah dibuat. Adapun sekarang, mengenai jalanmu pulang ke surga, janganlah tuanku khawatirkan. Biarlah hamba berhenti sebagai murid brahmana, dengan mencari istri sehingga hamba dapat mendapatkan anak. Adapun yang hamba kehendaki sebagai istri adalah yang senama dengan nama hamba, agar tidak ada halangan bagi perkawinan hamba. Jikalau hamba telah mempunyai anak, biarlah hamba dapat menjadi murid brahmana lagi. Tenangkanlah hati tuanku."<br />Demikianlah kata Jaratkaru. Berjalanlah dia mencari istri yang senama dengan dirinya. Ketika dia mengembara mencari istri, ketika itu maharaja Janamejaya[3] baru beristrikan Bhamustiman. Pada waktu itulah Jaratkaru mengembara. Telah sepuluh daerah (= desa) yang dijelajahinya, tetapi dia tidak mendapatkan istri yang senama dengannya. Dia tidak tahu lagi apa yang harus diperbuatnya untuk memikirkan upaya agar bapaknya keluar dari sengsara. Kemudian menyusuplah dia ke hutan yang sunyi, menangis dan memanggil segala dewa, segala butha (= makhluk raksasa), katanya:<br />"i caYâni bhûtâni santîha, janggamâni sthîrân, hai semua butha, para makhluk hidup yang menjadi penjelmaanmu, hamba bernama Jaratkaru, seorang brahmana yang hendak beristri. Berilah hamba istri yang senama dengan hamba, yaitu yang bernama Jaratkaru, supaya hamba mendapat anak, sehingga orang tuaku dapat memperoleh surga.<br />Demikianlah tangis Jaratkaru. Ketika keributan itu terjadi (tangis Jaratkaru) itu terdengar oleh semua naga (= ular) yang disuruh oleh Basuki untuk mencari seorang brahmana yang bernama Jaratkaru supaya brahmana itu mempunyai anak dari adiknya yang akan diberikan kepadanya, yang merupakan ular betina yang bernama Jaratkaru, supaya anak yang dilahirkan itu akan membebaskan mereka (= ular-ular tadi) dari korban ular. Itulah maksud Basuki (menyuruh ular-ular itu pergi mencari seorang brahmana bernama Jaratkaru). Dan ketika terdengar oleh mereka tangis Jaratkaru, gembiralah mereka dan memberitahukan kepada Basuki supaya mengundang Jaratkaru dan diberikan kepada adiknya. Tertariklah hatinya kepada Jaratkaru. Dibawa pulanglah dia (= Jaratkaru) oleh Basuki, dan dikawinkannyalah dia serta dinikahkanlah dia dengan upacara yang telah semestinya. Selama dia (= Jaratkaru) duduk di tempat duduk, berkatalah Jaratkaru kepada istrinya:<br />"Saya berjanji dengan engkau, jika engkau mengucapkan apa yang tidak menyenangkan kepadaku, apalagi melakukan perbuatan yang tidak pantas, jika seandainya hal itu dilakukan olehmu, maka aku akan meninggalkan engkau".<br />Demikianlah kata Jaratkaru kepada istrinya. Hidup bersamalah mereka. Setelah beberapa lama mereka hidup bersama, mengandunglah si naga perempuan Jaratkaru. Terlihatlah tanda kehamilan itu oleh si suami. Maka dia meminta supaya ditunggui ketika tidur, ketika dia bermaksud mau meninggalkan istrinya[4]. Memohonlah dia untuk dipangku kepalanya oleh istrinya, katanya:<br />Pangkulah olehmu kepalaku waktu tidur". Dengan hati-hati si istri memangku kepada si suami. Sangat lama dia tidur, hingga waktu senja, waktu sembahyang. Teringatlah si naga perempuan Jaratkaru, katanya:<br />"Sekarang adalah waktu sorenya para dewa. Waktu ini tuan brahmana harus membuat doa. Sebaiknya dia dibangunkan. Jikalau menunggu sampai dia terbangun, pastilah dia akan marah, karena dia sangat takut kalau terlambat sembahyang karena itu bagi dia merupakan tugas agama kepada para dewa." Lalu dibangunnyalah si suami:<br />"Hai tuanku Maha Brahmana, bangunlah tuanku! Sekarang waktu telah senja tuanku, waktu untuk mengerjakan tugas agama. Bunga telah tersedia serta bau-bauan dan padi."<br />Demikianlah katanya sambil mengusap wajah si suami. Kemudian bangunlah Jaratkaru. Cahaya kemarahan memancar pada matanya dan memerah mukanya karena marah besarnya. Katanya:<br />"Cih! Engkau naga perempuan yang sangat jahat, engkau sebagai istri menghinaku. strînâmAyukto maryâdah, engkau sampai hati menggagu tidurku. Tidak layak lagi tingkah lakumu sebagai istri. Oleh karena itu akan kutinggalkan engkau sekarang ini."<br />Demikianlah sudah dia kemudian meninggalkan si istri. Ikutlah si naga perempuan, dan lari memeluk si suami:<br />"Hai tuanku, maafkan hamba tuanku! Bukan maksud hati menghina, jika hamba membangunkan tuanku. Hamba hanya mengingatkan sembahyangmu tiap senja. Salahkah itu, sehingga aku menyembah tuanku. Seyogyanyalah engkau kembali ... tuan yang terhormat. Jika hamba telah beranak, di mana anak itu akan menghapuskan korban ular bagi saudara-saudaraku, maka tuanku dapat membuat tapa lagi."<br />Demikianlah kata si naga perempuan meminta belas kasih. Jaratkaru menjawab: "Alangkah pantas sikap si naga perempuan. Engkau mengingatkan hamba untuk memuja dewa ketika senja tiba. Tetapi hal itu tidak dapat mengubah kataku untuk meninggalkan engkau. Aku tidak akan tersesat. Itu kehendakku. Janganlah engkau kuatir. Asti, itulah (nama) anak itu. Anak itu akan menolong engkau kelak dari korban ular. Tenangkanlah hatimu".<br />Kemudian pergilah Jaratkaru. Dia tidak dapat ditahan. Si naga perempuan memberitahukan kepada Basuki akan kepergian si suami. Dia memberitahukan semua ucapan Jaratkaru dan memberitahukan bahwa perutnya ada isinya. Bersuka citalah Basuki mendengar itu semua. Setelah beberapa lama, lahirlah anak laki-laki dengan tubuh sempurna. Dinamailah anak itu Astika, karena si bapak mengucapkan "asti".<br />Dipeliharalah dia oleh Basuki, dididik serta diasuh menurut segala apa yang diharuskan bagi brahmana, dirawat dan diberi kalung brahmana. Dengan lahirnya Astika, maka arwah yang menggantung di ujung bambu itu melesat pulang pe Pitraloka, menikmati pahala tapanya, yaitu tapa yang luar biasa. Patuhlah Astika, sehingga dapat membaca Weda. Diijinkannyalah dia untuk mempelajari segala sastra, mengikuti ajaran Bhrgu. Demikianlah cerita tentang Astika. Dia adalah orang yang membuat naga Taksaka terhindar dari korban ular maharaja Janamejaya.muditahttp://www.blogger.com/profile/05091005719901532104noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8872898609804187426.post-1867261842301699992010-04-30T04:41:00.000-07:002010-04-30T04:42:33.955-07:00KONSEP SURGA DAN NERAKA DALAM AGAMA HINDUDalam Agama Hindu. <br />Tidak kita temukan gambaran neraka seperti itu. Lalu apakah orang baik dan orang jahat sama-sama masuk surga?. Bagaimana soal keadilan ditegakkan?. Dalam agama Hindu sebagaimana dijelaskan sebelumnya, setelah mati, jiwa kita (1) mencapai moksa atau (2) lahir kembali kedunia. Bila kita lahir kembali, maka dalam kelahiran itu kita menerima akibat- akibat dari perbuatan kita dari kehidupan yang terdahulu. Akibat baik atau akibat buruk. <br />Disini dikenal istilah kelahiran surga dan kelahiran neraka. Kelahiran surga artinya dalam hidup ini kita menjadi orang yang beruntung dan berbahagia. Kelahiran neraka artinya dalam hidup ini kita akan menderita dan banyak mendapat kesulitan. Penderitaan itu sangat banyak jenisnya. Misalnya karena : sakit yang tidak dapat disembuhkan, penghianatan, kebencian, dendam, iri hati, sakit hati, dan kemarahan yang tak terkendali adalah bentuk neraka didunia ini. <br /><br />pandangan Hindu mengenai konsep Sorga dan Neraka. Banyak umat Hindu beranggapan bahwa di dalam ajaran Hindu tidak ada dan tidak dikenal konsep mengenai Sorga dan Neraka mengingat dalam konsep Panca Shrada ( lima keyakinan ) umat hindu mempercayai adanya Purnabawa ( Reingkarnasi ). <br />Sorga dan Neraka dalam pandangan Hindu amat jarang diperbincangkan, karena agama Hindu kerap hanya dipahami meyakini hukum kharmaphala dan mempercayai Reinkarnasi atau kehidupan kembali setelah kematian, sehingga banyak orang meyakini bahwa Hindu tidak mengenal Sorga dan Neraka. <br />Sesungguhnya konsep Sorga dan Neraka ada dalam ajaran Hindu. Namun ia bukan menjadi tujuan akhir dari manusia sehingga bagi orang Hindu tujuan akhir adalah bukan masuk Sorga, melainkan Moksha atau bersatunya jiwa (Atman) dengan Sang Maha Pencipta ( Brahman). <br />Pertanyaannya yang kemudian muncul, lantas Sorga itu seperti apa dan untuk apa?. Sorga dalam Hindu seperti digambarkan dalam Weda; Adalah suatu tempat, satu dunia, dimana cahaya selalu bersinar, suatu masyarakat orang suci, dunia kebaikan, dunia abadi. <br />Beberapa pemikiran mengatakan bahwa Sorga dan Neraka bukanlah tempat, melainkan suatu kondisi. Artinya, apabila kita dalam kondisi senang atau bahagia, itulah Sorga. Sebaliknya, apabila kita dalam kondisi sedih atau menderita, itulah Neraka. Mungkin hal tersebut ada benarnya. <br />Dalam Kitab suci Weda disebutkan, Sorga dan Neraka adalah suatu tempat di balik dunia ini yang dibatasi oleh kematian. Dengan kata lain, Sorga dan Neraka akan kita temukan setelah kita melewati “jembatan“ yang bernama kematian. Secara harfiah, Sorga berasal dari kata Sanserketa “svar” dan “ga”. “Svar” artinya cahaya dan “ga” artinya pergi. Jadi svarga artinya perjalanan menuju cahaya. Di dalam Weda juga dikatakan bahwa Sorga adalah “dunia ketiga” yang penuh sinar dan cahaya. <br />Sorga: persinggahan sementara<br />Dalam kitab suci Hindu dikatakan bahwa Sorga merupakan persinggahan sementara. Bahkan, menurut Swami Dayananda Saraswati, Sorga adalah pengalaman liburan. Bagawad Gita dalam hal ini mengatakan:”setelah menikmati Sorga yang luas , mereka kembali ke dunia. Sorga adalah kesenangan sementara, sedangkan kebahagiaan yang sejati adalah Moksha, bersatunya Atman (Jiwa) dengan Brahman (Sang Pencipta))<br />Neraka Menurut Hindu<br />Neraka memang diperlukan. Ini adalah ungkapan yang sangat profokatif. Sebuah argumen mengatakan, apabila hasil yang diterima setiap orang sama—entah itu baik atupun tidak dan mendapat imbalan yang sama—lantas apa yang mendasari orang untuk selalu berbuat baik, berbuat berdasarkan Dharma. <br />Neraka dalam pandangan agama semit digambarkan sebagai suatu tempat yang terletak jauh di dalam bumi. Ia adalah tempat penyiksaan yang sangat mengerikan berbentuk kawah api yang panasnya beribu kali lipat dari panas api di dunia. Roh- roh yang banyak melakukan dosa di dunia akan mengalami penyiksaan ditusuk dengan tombak dan dipukuli dengan palu godam. <br />Di dalam Hindu sangat sedikit mantra ataupun sloka yang menjelaskan kosep Neraka mengingat Hindu mengakui terjadinya reinkarnasi atau proses kelahiran kembali dan konsep Moksha. Di Hindu Neraka dikatakan merupakan balasan yang diterima pada saat reinkarnasi atau dalam proses kelahiran kembali. Di dalamnya kita di berikan dua pilihan yang berdasar pada perbuatan kita pada masa hidup terdahulu, yaitu reinkarnasai Sorga atau reinkarnasi Neraka. <br />Reinkarnasi Sorga ada dalam proses kelahiran kembali kita mendapatkan takdir yang lebih baik, sedangkan reinkarnasi Neraka apabila kita dilahirkan dengan takdir yang lebih buruk. Di Hindu kelainan fisik pada saat kelahiran dapat dijelaskan sebagai sebuah bentuk penebusan terhadap segala perbuatan yang buruk yang pada masa hidup yang pernah di lakukan. <br />Konsep Sorga-Neraka seperti ini mungkin berbeda dengan konsep serupa dalam agama lain, yang menyatakan setiap manusia yang lahir adalah sebuah individu baru dan suci, ibarat buku belum ternoda oleh tinta kehidupan. <br />Bagi umat Hindu, kehidupan ini adalah suatu perjalanan yang saling berhubungan dan berjalan terus menerus. Dalam kerangka Tuhan Maha Pengampun, Hindu menjelaskan setiap manusia selalu di berikan kesempatan untuk selalu memperbaiki dirinya dalam beberapa kali masa kehidupan untuk kemudian mencapai tujuan tertinggi dalam Hindu, yaitu Moksha.[]muditahttp://www.blogger.com/profile/05091005719901532104noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-8872898609804187426.post-68212731872544481302010-04-07T06:07:00.000-07:002010-04-07T06:09:03.292-07:00KELOMPOK ILMU PENGETAHUANYang menjadi dasar pengelompokan ilmu pengetahuan<br /><br />Ilmu pengetahuan dapat dikelompokan melalui beberapa cara. Secara umum ilmu pengetahuan dikelompokan menjadi tiga yaitu ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, dan ilmu pengetahuan budaya atau lebih umum disebut ilmu pengetahuan humaniora. Pengelompokan ilmu pengetahuan ini yang mendasari pengembangan Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, dan Ilmu Budaya Dasar sebagai matakuliah dasar umum yang wajib diambil oleh mahasiswa di samping matakuliah dasar umum lainnya seperti Agama, Pancasila, dan Kewiraan. Matakuliah Ilmu Sosial Dasar bukanlah merupakan suatu disiplin ilmu tetapi lebih merupakan kajian yang sifatnya multi atau interdisipliner. Ilmu Sosial Dasar diajarkan untuk memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum kepada mahasiswa tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji gejala-gejala sosial yang terjadi di sekitamya. Dengan demikian, diharapkan mahasiswa dapat memiliki kepekaan sosial yang tinggi terhadap lingkungan sosialnya. Dengan kepekaan sosial yang dimilikinya, mahasiswa diharapkan memiliki kepedulian sosial dalam menerapkan ilmunya di masyarakat.<br /><br /><br />Perbedaan antara pengetahuan ilmiah dan pengetahuan bukan ilmiah<br />pengetahuan (knowledge) dan pengetahuan ilmiah (sains) itu berbeda. Istilah ini seringkali membingungkan kita, karena keduanya sama-sama menggunakan kata “pengetahuan” di dalam bahasa Indonesia. Kalau dalam bahasa Inggris, jelas, bahwa yang satu knowledge dan yang lain sains.<br />Pengetahuan adalah hasil usaha seseorang untuk menangkap suatu realitas ke dalam jiwa hingga hasil tangkapan itu tidak membuatnya ragu-ragu lagi. Obyek realitas itu bisa benda, sifat sesuatu, atau peristiwa dari sekitar kita. Jadi pengetahuan itu tidak menimbulkan keraguan di pikiran pemiliknya.<br />Pengetahuan ilmiah (sains) adalah pengetahuan yang diperoleh itu diketahui adanya hubungan sebab-akibat (cause-effect). mengapa hubungan sebab akibat itu penting, karena sains hanya diperoleh melalui tahapan-tahapan ilmiah. Tahapan-tahapan ini tentunya akan melalui metode saing.<br />Oleh karena itu cara memperoleh pengetahuan dan cara memperoleh sains sudah jelas beda. Karena itu paling tidak definisi di atas dapat membantu pemahaman kita antara kedua konsep tersebut.<br /><br />Kreteria metode ilmiah<br />Metode ilmiah boleh dikatakan suatu pengejaran terhadap kebenaran yang diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis. Karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh interelasi yang sistematis dari fakta-fakta, maka metode ilmiah berkehendak untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan pendekatan kesangsian sistematis. Karena itu, penelitian dan metode ilmiah mempunyai hubungan yang dekat sekali, jika tidak dikatakan sama. Dengan adanya metode ilmiah, pertanyaan-pertanyaan dalam mencari dalil umum akan mudah terjawab, seperti menjawab seberapa jauh, mengapa begitu, apakah benar, dan sebagainya.<br />Menurut Almadk (1939),” metode ilmiah adalah cara menerapkan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan dan penjelasan kebenaran. Sedangkan Ostle (1975) berpendapat bahwa metode ilmiah adalah pengejaran terhadap sesuatu untuk memperoleh sesuatu interelasi.”<br />Metode ilmiah dalam meneliti mempunyai kriteria serta langkah-langkah tertentu dalam Metode ilmiah bekerja. seperti di bawah ini.<br />Kriteria<br />1. Berdasarkan fakta<br />2. Bebas dari prasangka<br />3. Menggunakan prinsip-prinsip analisa<br />4. Menggunakan hipolesa<br />5. Menggunakan ukuran objektif<br />6. Menggunakan teknik kuantifikasi<br />Langkah-langkah<br />1. Memilih dan mendefinisikan masalah.<br />2. Survei terhadap data yang tersedia.<br />3. Memformulasikan hipotesa.<br />4. Membangun kerangka analisa serta alat-alat dalam menguji hipotesa.<br />5. Mengumpulkan data primair.<br />6. Mengolah, menganalisa serla membuat interpretasi.<br />7. Membual generalisasi dan kesimpulan.<br />8. Membuat Laporan<br />KRITERIA METODE IMIAH<br />Supaya suatu metode yang digunakan dalam penelitian disebut metode ilmiah, maka metode tersebut harus mempunyai kriteria sebagai berikut:<br />1. Berdasarkan fakta.<br />2. Bebas dari prasangka (bias)<br />3. Menggunakan prinsip-prinsip analisa.<br />4. Menggunakan hipotesa<br />5. Menggunakah ukuran objektif.<br />6. Menggunakan teknik kuantifikasi.<br />6.1. Berdasarkan Fakta<br />Keterangan-keterangan yang ingin diperoleh dalam penelitian, baik yang akan dikumpulkan dan yang dianalisa haruslah berdasarkan fakta-fakta yang nyata. Janganlah penemuan atau pembuktian didasar-kan pada daya khayal, kira-kira, legenda-legenda atau kegiatan sejenis.<br />6.2. Bebas dari Prasangka<br />Metode ilmiah harus mempunyai sifat bebas prasangka, bersih dan jauh dari pertimbangan subjektif. Menggunakan suatu fakta haruslah dengan alasan dan bukti yang lengkap dan dengan pembuktian yang objektif.<br />6.3. Menggunakan Prinsip Analisa<br />Dalam memahami serta member! arti terhadap fenomena yang kompleks, harus digunakan prinsip analisa. Semua masalah harus dicari sebab-musabab serta pemecahannya dengan menggunakan analisa yang logis, Fakta yang mendukung tidaklah dibiarkan sebagaimana adanya atau hanya dibuat deskripsinya saja. Tetapi semua kejadian harus dicari sebab-akibat dengan menggunakan analisa yang tajam.<br />6.4. Menggunakan Hipotesa<br />Dalam metode ilmiah, peneliti harus dituntun dalam proses berpikir dengan menggunakan analisa. Hipotesa harus ada untuk mengonggokkan persoalan serta memadu jalan pikiran ke arah tujuan yang ingin dicapai sehingga hasil yang ingin diperoleh akan mengenai sasaran dengan tepat. Hipotesa merupakan pegangan yang khas dalam menuntun jalan pikiran peneliti.<br />6.5. Menggunakan Ukuran Obyektif<br />Kerja penelitian dan analisa harus dinyatakan dengan ukuran yang objektif. Ukuran tidak boleh dengan merasa-rasa atau menuruti hati nurani. Pertimbangan-pertimbangan harus dibuat secara objektif dan dengan menggunakan pikiran yang waras.<br />6.6. Menggunakan Teknik Kuantifikasi<br />Dalam memperlakukan data ukuran kuantitatif yang lazim harus digunakan, kecuali untuk artibut-artibut yang tidak dapat dikuantifikasikan Ukuran-ukuran seperti ton, mm, per detik, ohm, kilogram, dan sebagainya harus selalu digunakan Jauhi ukuran-ukuran seperti: sejauh mata memandang, sehitam aspal, sejauh sebatang rokok, dan sebagai¬nya Kuantifikasi yang termudah adalah dengan menggunakan ukuran nominal, ranking dan rating<br />LANGKAH DALAM METODE ILMIAH<br />Pelaksanaan penelitian dengan menggunakan metode ilmiah harus mengikuti langkah-langkah tertentu. Marilah lebih dahulu ditinjau langkah-langkah yang diambil oleh beberapa ahli dalam mereka melaksanakan penelitian.<br />Schluter (1926) memberikan 15 langkah dalam melaksanakan penelitian dengan metode ilmiah. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:<br />1. Pemilihan bidang, topik atau judul penelitian.<br />2. Mengadakan survei lapangan untuk merumuskan masalah-malalah yang ingin dipecahkan.<br />3. Membangun sebuah bibliografi.<br />4. Memformulasikan dan mendefinisikan masalah.<br />5. Membeda-bedakan dan membuat out-line dari unsur-unsur permasalahan.<br />6. Mengklasifikasikan unsur-unsur dalam masalah menurut hu-bungannya dengan data atau bukti, baik langsung ataupun tidak langsung.<br />7. Menentukan data atau bukti mana yang dikehendaki sesuai dengan pokok-pokok dasar dalam masalah.<br />8. Menentukan apakah data atau bukti yang dipertukan tersedia atau tidak.<br />9. Menguji untuk diketahui apakah masalah dapat dipecahkan atau tidak.<br />10. Mengumpulkan data dan keterangan yang diperlukan.<br />11. Mengatur data secara sistematis untuk dianalisa.<br />12. Menganalisa data dan bukti yang diperoleh untuk membuat interpretasi.<br />13. Mengatur data untuk persentase dan penampilan.<br />14. Menggunakan citasi, referensi dan footnote (catatan kaki).<br />15. Menulis laporan penelitian.<br />Dalain melaksanakan penelitian secara ilmiah. Abclson (1933) mcmberikan langkah-langkah berikut:<br />1. Tentukan judul. Judul dinyatakan secara singkat<br />2. Pemilihan masalah. Dalam pemilihan ini harus: a). Nyatakan apa yang disarankan oleh judul. b). Berikan alasan terhadap pemilihan tersebut. Nyatakan perlunya diselidiki masalah menurut kepentingan umum. c). Sebutkan ruang lingkup penelitian. Secara singkat jelaskan materi. situasi dan hal-hal lain yang menyangkut bidang yang akan diteliti.<br />3. Pemecahan masalah. Dalain niemecahkan masalah harus diikuti hal-hal berikut: a). <br />Analisa harus logis. Aturlah bukti dalam bnntuk yang sistematis dan logis. Demikian juga halnya unsur-unsur yang dapat memecahkan masalah. b). Proscdur penelitian yang digunakan harus dinyatakan secara singkat. c) Urutkan data, fakta dan keterangan-keterangan khas yang diperlukan d). Harus dinyatakan bagaimana set dari data diperoleh termasuk referensi yang digunakan. e). Tunjukkan cara data dilola sampai mempunyai arti dalam memecahkan masalah. f). Urutkan asumsi-asumsi yang digunakan serta luibungannya dalam berbagai fase penelitian.<br />4. Kesimpulan<br />a). Berikan kesimpulan dari hipotesa. nyatakan dua atau tiga kesimpulan yang mungkin diperoleh b). Berikan implikasi dari kesimpulan. Jelaskan bebernpa implikasi dari produk hipotesa dengan memberikan beberapa inferensi.<br />5. Berikan studi-studi sebelumnya yang pernah dikerjakan yang berhubungan dengan masalah.<br />Nyalakan kerja-kerja sebelumnya secara singkat dan berikan referensi bibliografi yang mungkin ada manfaatnya scbagai model dalam memecahkan masalah. Dari pedoman beberapn ahli di atas, maka dapal disimpulkan balnwa penelitian dengan mcnggunakan metode ilmiah sckurang-kurangnya dilakukan dengan langkah-langkah berikut:<br />5.1. Merumuskan serta mcndefinisikan masalah<br />langkah pertama dalam meneliti adalah menetapkan masalah yang akan dipecahkan. Untuk menghilangkan keragu-raguan. masalah tersebut didefinisikan secara jelas. Sampai ke mana luas masalah yang akan dipecahkan Sebutkan beberapa kata kunci (key words) yang terdapal dalam masalah Misalnya. masalah yang dipilih adalah Bagaimana pengaruh mekanisasi terhadap pendapatan usaha tani di Aceh?<br />Berikan definisi tentang usaha tani, tentang mekanisasi, pada musim apa. dan sebagainya<br />5.2. Mengadakan studi kepustakaan<br />Setelah masalah dirumuskan, step kedua yang dilakukan dalam mencari data yang tersedia yang pernah ditulis peneliti sebelumnya yang ada hubungannya dengan masalah yang ingin dipecahkan. Kerja mencari bahan di perpustakaan merupakan hal yang tak dapat dihindarkan olch seorang peneliti. Ada kalanya. perumusan masalah dan studi keputusan dapat dikerjakan secara bersamaan.<br />5.3. Memformulasikan hipotesa<br />Setelah diperoleh infonnasi mengenai hasil penelitian ahli lain yang ada sangkut-pautnya dengan masalah yang ingin dipecahkan. maka tiba saatnya peneliti memformulasikan hipotesa-hipolesa unttik penelitian. Hipotesa tidak lain dari kesimpulan sementara tentang hubunggan sangkut-paut antarvariabel atau fenomena dalam penelitian. Hipotesa merupakan kesimpulan tentatif yang diterima secara sementara sebelum diuji.<br />5.4. Menentukan model untuk menguji hipotesa<br />Setelah hipotesa-hipotesa ditetapkan. kerja selanjutnya adalah merumuskan cara-cara untuk menguji hipotesa tersebut. Pada ilmu-ilmu sosial yang telah lebih berkembang. scperti ilmu ekonomi misalnva. pcnguji’an hipotesa didasarkan pada kerangka analisa (analytical framework) yang telah ditetapkan. Model matematis dapat juga dibuat untuk mengrefleksikan hubungan antarfenomena yang secara implisif terdapal dalam hipotesa. untuk diuji dengan teknik statistik yang tersedia.<br />Pcngujian hipotesa menghendaki data yang dikumpulkan untuk keperluan tersebut. Data tersebut bisa saja data prime ataupun data sekunder yang akan dikumpulkan oleh peneliti.<br />5.5. Mengumpulkan data<br />Peneliti memerlukan data untuk menguji hipotesa. Data tersebut yang merupakan fakta yang digunakan untuk menguji hipotesa perlu dikumpulkan. Bcrgantung dan masalah yang dipilih serta metode pcnelitian yang akan digunakan. teknik pengumpulan data akan berbeda-beda. Jika penelitian menggunakan metode percobaan. misalnya. data diperoleh dan plot-plot pcrcobaan yang dibual sendiri oleh peneliti Pada metodc scjarah ataupun survei normal, data diperoleh dengan mcngajukan pertanyaan-pertanyaan kepada responden. baik secara langsung ataupun dengan menggunakan questioner Ada kalanya data adalah hasil pengamatan langsung terhadap perilaku manusia di mana peneliti secara partisipatif berada dalam kelompok orang-orang yang diselidikinya.<br />5.6. Menyusun, Menganalisa, and Menyusun interfensi<br />Setelah data terkumpul. pcneliti menyusun data untuk mengadakan analisa Sebelum analisa dilakukan. data tersebul disusun lebih dahulu untuk mempermudah analisa. Penyusunan data dapat dalam bentuk label ataupun membuat coding untuk analisa dengan komputer. Sesudah data dianalisa. maka perlu diberikan tafsiran atau interpretasi terhadap data tersebut.<br />5.7. Membuat generalisasi dan kesimpulan<br />Setelah tafsiran diberikan, maka peneliti membuat generalisasi dari penemuan-penemuan, dan selanjutnya memberikan beberapa kesimpulan. Kesimpulan dan generalisasi ini harus berkaitan dengan hipotesa. Apakah hipotesa benar untuk diterima. ataukah hiporesa tersebut ditolak.<br />5.8. Membuat laporan ilmiah<br />Langkah terakhir dari suatu penelitian ilmiah adalah membuat laporan ilmiah tentang hasil-hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut. Penulisan secara ilmiah mempunyai teknik tersendiri.<br />Cara mendapatkan pengetahuan terhadap mitos dan ramalan nasib<br /><br />1. 3. MITOS PENALARAN DAN CARA MEMPEROLEH PENGETAHUAN<br />Mitos adalah cerita yang di buat – buat atau dongeng yang pada umumnya mengangkat tokoh kuno, seperti dewa atau manusia perkasa yang ada kaitannya dengan apa yang terjadi di alam.<br />Secara garis besar dapat dibedakan 3 macam mitos, yaitu mitos sebenarnya, cerita rakyat, dan legenda.<br />Mitos yang merupakan cerita rakyat adalah usaha manusia mengisahkan peristiwa penting yang menyangkut kehidupan masyarakat, biasanya juga disampaikan dari mulut ke mulut sehingga sulit diperiksa kebenarannya.<br />Mitos sebagai legenda, dikemukakan tentang seorang tokoh yang dikaitkan dengan terjadinya suatu daerah. Mitos yang dapat diterima dan dipercayai kebenarannya (masa prasejarah)<br />1. keterbatasan pengetahuan karena keterbatasan pengindraan<br />2. keterbatasan penalaran manusia<br />3. hasrat ingin tahu terpenuhi <br />1. 4. METODE ILMIAH<br />Pengetahuan tentang mitos, ramalan nasib berdasarkan perbintangan bahkan percaya adanya dewa diperoleh dengan cara berprasangka, berintuisi dan coba-coba (trial and error)<br />Suatu pengetahuan dapat dikatakan pengetahuan yang ilmiah apabila memenuhi syarat-syarat antara lain;<br />1. Objektif : pengetahuan itu sesuai dengan objeknya, atau didukung metodik fakta empiris<br />2. Metodik : pengetahuan ilmiah itu diperoleh dengan menggunakan cara – cara tertentu yang teratur dan terkontrol <br />3. Sistematik : pengetahuan ilmiah itu tersusun dalam suatu sistem, tidak berdiri sendiri, satu dengan yang lain saling berkaitan, saling menjelaskan, sehingga seluruhnya merupakan satu kesatuan yang utuh<br />4. Berlaku umum : pengetahuan itu harus dapat dimengerti semua orang dengan cara eksperimentasi yang sama akan memperoleh hasil yang sama atau konsisten.<br />Salah satu syarat ilmu pengetahuan tersebut harus diperoleh melalui metode ilmiah. Kriteria metode ilmiah yang digunakan dalam penelitian antara lain harus berdasarkan fakta, bebas prasangka, menggunakan prinsip-prinsip analisis, hipotesis, berukuran objektif serta menggunakan teknik kuantitatif atau kualitatif.<br />Alur berpikir yang mencakup metode ilmiah dapat dijabarkan dalam langkah-langkah yang mencerminkan tahapan kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah operasional metode ilmiah, yaitu perumusan masalah, penyusun kerangka berpikir, pengajuan hipotesis, perumusan hipotesis, pengujian hipotesis, dan penarikan simpulan.<br />Metode ilmiah mempunyai keterbatasan maupun keunggulan. Keterbatasan metode ilmiah adalah ketidaksanggupannya menjangkau untuk menguji adanya Tuhan, membuat kesimpulan yang berkenan dengan baik dan buruk atau sistem nilai dan juga tidak dapat menjangkau tentang seni dan keindahan. Sedangkan keunggulannya, antara lain:<br />1. mencintai kebenaran yang objektif dan bersikap adil;<br />2. kebenaran ilmu tidak absolut sehingga dapat dicari terus-menerus;<br />1. mengurangi kepercayaan pada tahayul, astrologi maupun peruntungan, dan lain- lain.<br />Peranan matematika terhadap IPA sangat besar, karena matematika merupakan alat bantu untuk mengatasi sebagian permasalahan menghadapi lingkungan hidupnya. Contoh pada zaman modern ini, pembuatan mesin-mesin, pabrik bahkan perjalanan ke ruang angkasa.<br />Sejarah Pengetahuan yang diperoleh Manusia <br />Manusia selalu merasa ingin tahu maka sesuatu yang belum terjawab dikatakan wallahualam, artinya Allah yang lebih mengetahui atau wallahualam bissawab yang artinya Allah mengetahui sebenarnya. Perkembangan lebih lanjut dari rasa ingin tahu manusia ialah untuk memenuhi kebutuhan nonfisik atau kebutuhan alam pikirannya, untuk itu manusia mereka-reka sendiri jawabannya. <br />A. Comte menyatakan bahwa ada tiga tahap sejarah perkembangan manusia, yaitu tahap teologi (tahap metafisika), tahap filsafat dan tahap positif (tahap ilmu). Mitos termasuk tahap teologi atau tahap metafisika. Mitologi ialah pengetahuan tentang mitos yang merupakan kumpulan cerita-cerita mitos. Cerita mitos sendiri ditularkan lewat tari-tarian, nyanyian, wayang dan lain-lain. <br />Secara garis besar, mitos dibedakan atas tiga macam, yaitu mitos sebenarnya, cerita rakyat dan legenda. Mitos timbul akibat keterbatasan pengetahuan, penalaran dan panca indera manusia serta keingintahuan manusia yang telah dipenuhi walaupun hanya sementara. <br />Puncak hasil pemikiran mitos terjadi pada zaman Babylonia (700-600 SM) yaitu horoskop (ramalan bintang), ekliptika (bidang edar Matahari) dan bentuk alam semesta yang menyerupai ruangan setengah bola dengan bumi datar sebagai lantainya sedangkan langit-langit dan bintangnya merupakan atap. <br />Tonggak sejarah pengamatan, pengalaman dan akal sehat manusia ialah Thales (624-546) seorang astronom, pakar di bidang matematika dan teknik. Ia berpendapat bahwa bintang mengeluarkan cahaya, bulan hanya memantulkan sinar matahari, dan lain-lain. Setelah itu muncul tokoh-tokoh perubahan lainnya seperti Anaximander, Anaximenes, Herakleitos, Pythagoras dan sebagainya. <br /><br />1. 5. PERKEMBANGAN IPA<br />Dengan bertambah majunya alam pikiran dan makin berkembangnya cara-cara penyelidikan, manusia dapat menjawab banyak pertanyaan tanpa mengarang mitos. Berkat pengamatan yang sistematis, kritis dan makin bertambahnya pengalaman yang diperoleh, lambat laun manusia berusaha mencari jawab secara rasional. Dalam menyusun pengetahuan, kaum rasionalis menggunakan penalaran deduktif dan penalaran induktif.<br />Penalaran deduktif ialah cara berpikir yang bertolak belakang dari pernyataan yang bersifat umum untuk menarik simpulan yang bersifat khusus. Sedangkan penalaran induktif (empiris) ialah cara berpikir dengan menarik simpulan umum dari pengamatan atas gejala-gejala yang bersifat khusus.<br />Karena himpunan pengetahuan yang diperoleh dari penalaran deduktif dan induktif tidak dapat diandalkan sebagai ilmu pengetahuan maka muncullah ilmu yang secara teoretis didapat dari pengamatan dan eksperimentasi terhadap gejala-gejala alam. Konsep itu disebut Ilmu Pengetahuan Alam.<br />Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) terbagi menjadi IPA kualitatif dan IPA kuantitatif. IPA kualitatif hanya mampu menjawab pertanyaan tentang hal-hal yang bersifat aktual, sedangkan IPA kuantitatif adalah IPA yang dihasilkan oleh metode ilmiah yang didukung oleh data kuantitatif dengan menggunakan statistik.<br /><br />Alasan mengapa matematika di katakana sebagai bahasa<br />Di manakah letak konsep-konsep matematika, misalnya letak bilangan 1? Banyak para pakar matematika, misalnya para pakar Teori Model (lihat model matematika) yang juga mendalami filsafat di balik konsep-konsep matematika bersepakat bahwa semua konsep-konsep matematika secara universal terdapat di dalam pikiran setiap manusia. Jadi, yang dipelajari di dalam matematika adalah berbagai lambang dan ungkapan untuk mengomunikasikannya. Misalnya orang Jawa secara lisan memberi lambang bilangan 3 dengan mengatakan Telu sedangkan dalam bahasa Indonesia, bilangan tersebut dilambangkan melalui ucapan Tiga. Inilah sebabnya, banyak pakar mengkelompokkan matematika ke dalam kelompok bahasa, atau lebih umum lagi dalam kelompok (alat) komunikasi, bukan ilmu pengetahuan.<br />Dalam pandangan formalis, matematika adalah penelaahan struktur abstrak yang didefinisikan secara aksiomatis dengan menggunakan logika simbolik dan notasi matematika; ada pula pandangan lain, misalnya yang dibahas dalam filsafat matematika.<br />Struktur spesifik yang diselidiki oleh matematikawan sering kali berasal dari ilmu pengetahuan alam, dan sangat umum di fisika, tetapi matematikawan juga mendefinisikan dan menyelidiki struktur internal dalam matematika itu sendiri, misalnya, untuk menggeneralisasikan teori bagi beberapa sub-bidang, atau alat bantu untuk perhitungan biasa. Akhirnya, banyak matematikawan belajar bidang yang dilakukan mereka untuk sebab estetis saja, melihat ilmu pasti sebagai bentuk seni daripada sebagai ilmu praktis atau terapan.<br />Matematika tingkat lanjut digunakan sebagai alat untuk mempelajari berbagai gejala fisika yang kompleks, khususnya berbagai gejala alam yang teramati, agar pola struktur, perubahan, ruang dan sifat-sifat gejala bisa didekati atau dinyatakan dalam sebuah bentuk perumusan yang sistematis dan penuh dengan berbagai perjanjian, lambang, dan notasi. Hasil perumusan yang menggambarkan perilaku atau proses gejala fisika tersebut biasa disebut model matematika dari gejala.muditahttp://www.blogger.com/profile/05091005719901532104noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8872898609804187426.post-90567557976298708402010-04-01T05:34:00.000-07:002010-04-01T05:35:57.663-07:00AWATARA DALAM AGAMA HINDUAPAKAH AWATARA ITU?<br /><br />Seorang Awatara adalah seorang inkarnasi Tuhan. Ketika Tuhan turun ke bumi dalam suatu bentuk hidup apapun, maka<br />kita menyebut itu Awatara.<br /><br />AYAH, APAKAH TUJUAN DARI AWATARA ITU?<br /><br />Dalam Bagawad Gita ditulis, "Bilamana ada kerusakan dharma (kebenaran) dan kejayaan Adharma (ketidak-benaran),<br />aku datang ke dunia untuk melindungi kebaikan, untuk menghancurkan kejahatan dan menegakkan kembali Dharma.<br />Aku lahir dari zaman ke zaman."<br /><br />Sepuluh Awatara / utusan Tuhan sebagai pemelihara alam yaitu:<br />1. Matsya Awatara yaitu Hyang Widhi turun kedunia sebagai Ikan yang besar yang menyelamatkan manusia pertama dari tenggelam saat dunia dilanda banjir yang maha besar.<br />Dalam kitab Matsyapurana diceritakan, pada suatu hari, saat Raja Satyabrata (yang lebih dikenal sebagai Waiwaswata Manu) mencuci tangan di sungai, seekor ikan kecil menghampiri tangannya dan sang raja tahu bahwa ikan itu meminta perlindungan. Akhirnya beliau memelihara ikan tersebut. Ia menyiapkan kolam kecil sebagai tempat tinggal ikan tersebut. Namun lambat laun ikan tersebut bertambah besar, hampir memenuhi seluruh kolam. Akhirnya beliau memindahkan ikan tersebut ke kolam yang lebih besar. Kejadian tersebut terus terjadi berulang-ulang sampai akhirnya beliau sadar bahwa ikan yang ia pelihara bukanlah ikan biasa.<br />Akhirnya melalui upacara, diketahuilah bahwa ikan tersebut merupakan penjelmaan Dewa Wisnu. Ikan itu sendiri menyampaikan kabar bahwa di bumi akan terjadi bencana air bah yang sangat hebat selama tujuh hari. Ikan itu berpesan agar sang raja membuat sebuah bahtera besar untuk menyelamatkan diri dari banjir besar, dan mengisi bahtera tersebut dengan berbagai makhluk hidup yang setiap jenisnya berjumlah sepasang (betina dan jantan), serta membawa obat-obatan, makanan, dan bibit segala macam tumbuhan. Ikan tersebut juga menambahkan bahwa setelah banjir besar tiba, diharapkan agar Saptaresi (tujuh nabi) dibawa serta dan bahtera tersebut diikat ke tanduk sang ikan dengan naga Basuki sebagai talinya. Setelah menyampaikan seluruh pesan, ikan ajaib tersebut menghilang.<br />Seratus tahun kemudian, kekeringan yang hebat melanda bumi. Banyak makhluk yang mati kelaparan. Kemudian, langit dipenuhi oleh tujuh macam awan yang dengan hebatnya mencurahkan hujan lebat. Dengan cepat, air yang dicurahkan menutupi daratan di bumi. Oleh karena Waiwaswata Manu sudah membuat bahtera sesuai dengan petunjuk yang disampaikan awatara Wisnu, maka ia beserta pengikutnya selamat dari bencana.<br /><br />2. Kurma Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai kura-kura besar yang menumpu dunia agar selamat dari bahaya terbenam saat pemutaran Gunung Mandara di Lautan Susu (Kesire Arnawa) oleh para Dewa untuk mencari Tirta Amertha (Air suci kehidupan)<br />Kisah tentang Kurma Awatara muncul dari kisah pemutaran Mandaragiri yang terdapat dalam Kitab Adiparwa.<br />[sunting] Pemutaran Mandaragiri<br />Dikisahkan pada zaman Satyayuga, para Dewa dan asura (rakshasa) bersidang di puncak gunung Mahameru untuk mencari cara mendapatkan tirta amerta, yaitu air suci yang dapat membuat hidup menjadi abadi. Sang Hyang Nārāyana (Wisnu) bersabda, "Kalau kalian menghendaki tirta amerta tersebut, aduklah lautan Ksera (Kserasagara), sebab dalam lautan tersebut terdapat tirta amerta. Maka dari itu, kerjakanlah!"<br />Setelah mendengar perintah Sang Hyang Nārāyana, berangkatlah para Dewa dan asura pergi ke laut Ksera. Terdapat sebuah gunung bernama Gunung Mandara (Mandaragiri) di Sangka Dwipa (Pulau Sangka), tingginya sebelas ribu yojana. Gunung tersebut dicabut oleh Sang Anantabhoga beserta segala isinya. Setelah mendapat izin dari Dewa Samudera, gunung Mandara dijatuhkan di laut Ksira sebagai tongkat pengaduk lautan tersebut. Seekor kura-kura (kurma) raksasa bernama Akupa yang konon katanya sebagai penjelmaan Wisnu, menjadi dasar pangkal gunung tersebut. Ia disuruh menahan gunung Mandara supaya tidak tenggelam.<br />Naga Basuki dipergunakan sebagai tali, membelit lereng gunung tersebut. Dewa Indra menduduki puncaknya, suapaya gunung tersebut tidak melambung ke atas. Setelah siap, para Dewa, rakshasa dan asura mulai memutar gunung Mandara dengan menggunakan Naga Basuki sebagai tali. Para Dewa memegang ekornya sedangkan para asura dan rakshasa memegang kepalanya. Mereka berjuang dengan hebatnya demi mendapatkan tirta amerta sehingga laut bergemuruh. Gunung Mandara menyala, Naga Basuki menyemburkan bisa membuat pihak asura dan rakshasa kepanasan. Lalu Dewa Indra memanggil awan mendung yang kemudian mengguyur para asura dan rakshasa. Lemak segala binatang di gunung Mandara beserta minyak kayu hutannya membuat lautan Ksira mengental, pemutaran Gunung Mandara pun makin diperhebat.<br /> <br /> <br />Relief dari Angkor Wat, Kamboja, menampilkan pemutaran Mandara Giri: Wisnu di tengah, awatara beliau yang berwujud Kurma di bawah, para asura dan Dewa di sebelah kiri dan kanan.<br />[sunting] Timbulnya racun<br />Saat lautan diaduk, racun mematikan yang disebut Halahala menyebar. Racun tersebut dapat membunuh segala makhluk hidup. Dewa Siwa kemudian meminum racun tersebut maka lehernya menjadi biru dan disebut Nilakantha (Sanskerta: Nila: biru, Kantha: tenggorokan). Setelah itu, berbagai dewa-dewi, binatang, dan harta karun muncul, yaitu:<br />• Sura, Dewi yang menciptakan minuman anggur<br />• Apsara, kaum bidadari kahyangan<br />• Kostuba, permata yang paling berharga di dunia<br />• Uccaihsrawa, kuda para Dewa<br />• Kalpawreksa, pohon yang dapat mengabulkan keinginan<br />• Kamadhenu, sapi pertama dan ibu dari segala sapi<br />• Airawata, kendaraan Dewa Indra<br />• Laksmi, Dewi keberuntungan dan kemakmuran<br />Akhirnya keluarlah Dhanwantari membawa kendi berisi tirta amerta. Karena para Dewa sudah banyak mendapat bagian sementara para asura dan rakshasa tidak mendapat bagian sedikit pun, maka para asura dan rakshasa ingin agar tirta amerta menjadi milik mereka. Akhirnya tirta amerta berada di pihak para asura dan rakshasa dan Gunung Mandara dikembalikan ke tempat asalnya, Sangka Dwipa.<br />[sunting] Perebutan tirta amerta<br />Melihat tirta amerta berada di tangan para asura dan rakshasa, Dewa Wisnu memikirkan siasat bagaimana merebutnya kembali. Akhirnya Dewa Wisnu mengubah wujudnya menjadi seorang wanita yang sangat cantik, bernama Mohini. Wanita cantik tersebut menghampiri para asura dan rakshasa. Mereka sangat senang dan terpikat dengan kecantikan wanita jelmaan Wisnu. Karena tidak sadar terhadap tipu daya, mereka menyerahkan tirta amerta kepada Mohini. Setelah mendapatkan tirta, wanita tersebut lari dan mengubah wujudnya kembali menjadi Dewa Wisnu. Melihat hal itu, para asura dan rakshasa menjadi marah. Kemudian terjadilah perang antara para Dewa dengan asura dan rakshasa. Pertempuran terjadi sangat lama dan kedua pihak sama-sama sakti. Agar pertempuran dapat segera diakhiri, Dewa Wisnu memunculkan senjata cakra yang mampu menyambar-nyambar para asura dan rakshasa. Kemudian mereka lari tunggang langgang karena menderita kekalahan. Akhirnya tirta amerta berada di pihak para Dewa.<br />Para Dewa kemudian terbang ke Wisnuloka, kediaman Dewa Wisnu, dan di sana mereka meminum tirta amerta sehingga hidup abadi. Seorang rakshasa yang merupakan anak Sang Wipracitti dengan Sang Singhika mengetahui hal itu, kemudian ia mengubah wujudnya menjadi Dewa dan turut serta meminum tirta amerta. Hal tersebut diketahui oleh Dewa Aditya dan Chandra, yang kemudian melaporkannya kepada Dewa Wisnu. Dewa Wisnu kemudian mengeluarkan senjata chakranya dan memenggal leher sang rakshasa, tepat ketika tirta amerta sudah mencapai tenggorokannya. Badan sang rakshasa mati, namun kepalanya masih hidup karena tirta amerta sudah menyentuh tenggorokannya. Sang rakshasa marah kepada Dewa Aditya dan Chandra, dan bersumpah akan memakan mereka pada pertengahan bulan.<br /><br />3. Waraha Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai Badak Agung yang mengait dunia kembali agar selamat dari bahaya tenggelam<br />Menurut mitologi Hindu, pada zaman Satyayuga (zaman kebenaran), ada seorang raksasa bernama Hiranyaksa, adik raksasa Hiranyakasipu. Keduanya merupakan kaum Detya (raksasa). Hiranyaksa hendak menenggelamkan Pertiwi (planet bumi) ke dalam "lautan kosmik," suatu tempat antah berantah di ruang angkasa.<br />Melihat dunia akan mengalami kiamat, Wisnu menjelma menjadi babi hutan yang memiliki dua taring panjang mencuat dengan tujuan menopang bumi yang dijatuhkan oleh Hiranyaksa. Usaha penyelamatan yang dilakukan Waraha tidak berlangsung lancar karena dihadang oleh Hiranyaksa. Maka terjadilah pertempuran sengit antara raksasa Hiranyaksa melawan Dewa Wisnu. Konon pertarungan ini terjadi ribuan tahun yang lalu dan memakan waktu ribuan tahun pula. Pada akhirnya, Dewa Wisnu yang menang.<br />Setelah Beliau memenangkan pertarungan, Beliau mengangkat bumi yang bulat seperti bola dengan dua taringnya yang panjang mencuat, dari lautan kosmik, dan meletakkan kembali bumi pada orbitnya. Setelah itu, Dewa Wisnu menikahi Dewi Pertiwi dalam wujud awatara tersebut.<br />Waraha Awatara dilukiskan sebagai babi hutan yang membawa planet bumi dengan kedua taringnya dan meletakkannya di atas hidung, di depan mata. Kadangkala dilukiskan sebagai manusia berkepala babi hutan, dengan dua taring menyangga bola dunia, bertangan empat, masing-masing membawa: cakra, terompet dari kulit kerang (sangkakala), teratai, dan gada.<br />4. Nara Simbha Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai manusia berkepala singa (Simbha/Sima) yang membasmi kekejaman Raja Hyrania Kasipu yang sangat lalim dan menindas Adharma<br />Menurut kitab Purana, pada menjelang akhir zaman Satyayuga (zaman kebenaran), seorang raja asura (raksasa) yang bernama Hiranyakasipu membenci segala sesuatu yang berhubungan dengan Wisnu, dan dia tidak senang apabila di kerajaannya ada orang yang memuja Wisnu. Sebab bertahun-tahun yang lalu, adiknya yang bernama Hiranyaksa dibunuh oleh Waraha, awatara Wisnu.<br />Agar menjadi sakti, ia melakukan tapa yang sangat berat, dan hanya memusatkan pikirannya pada Dewa Brahma. Setelah Brahma berkenan untuk muncul dan menanyakan permohonannya, Hiranyakasipu meminta agar ia diberi kehidupan abadi, tak akan bisa mati dan tak akan bisa dibunuh. Namun Dewa Brahma menolak, dan menyuruhnya untuk meminta permohonan lain. Akhirnya Hiranyakashipu meminta, bahwa ia tidak akan bisa dibunuh oleh manusia, hewan ataupun dewa, tidak bisa dibunuh pada saat pagi, siang ataupun malam, tidak bisa dibunuh di darat, air, api, ataupun udara, tidak bisa dibunuh di dalam ataupun di luar rumah, dan tidak bisa dibunuh oleh segala macam senjata. Mendengar permohonan tersebut, Dewa Brahma mengabulkannya.<br />Sementara ia meninggalkan rumahnya untuk memohon berkah, para dewa yang dipimpin oleh Dewa Indra, menyerbu rumahnya. Narada datang untuk menyelamatkan istri Hiranyakasipu yang tak berdosa, bernama Lilawati. Saat Lilawati meninggalkan rumah, anaknya lahir dan diberi nama Prahlada. Anak itu dididik oleh Narada untuk menjadi anak yang budiman, menyuruhnya menjadi pemuja Wisnu, dan menjauhkan diri dari sifat-sifat keraksasan ayahnya.<br />Mengetahui para dewa melindungi istrinya, Hiranyakasipu menjadi sangat marah. Ia semakin membenci Dewa Wisnu, dan anaknya sendiri, Prahlada yang kini menjadi pemuja Wisnu. Namun, setiap kali ia membunuh putranya, ia selalu tak pernah berhasil karena dihalangi oleh kekuatan gaib yang merupakan perlindungan dari Dewa Wisnu. Ia kesal karena selalu gagal oleh kekuatan Dewa Wisnu, namun ia tidak mampu menyaksikan Dewa Wisnu yang melindungi Prahlada secara langsung. Ia menantang Prahlada untuk menunjukkan Dewa Wisnu. Prahlada menjawab, "Ia ada dimana-mana, Ia ada di sini, dan Ia akan muncul".<br />Mendengar jawaban itu, ayahnya sangat marah, mengamuk dan menghancurkan pilar rumahnya. Tiba-tiba terdengar suara yang menggemparkan. Pada saat itulah Dewa Wisnu sebagai Narasinga muncul dari pilar yang dihancurkan Hiranyakasipu. Narasinga datang untuk menyelamatkan Prahlada dari amukan ayahnya, sekaligus membunuh Hiranyakasipu. Namun, atas anugerah dari Brahma, Hiranyakasipu tidak bisa mati apabila tidak dibunuh pada waktu, tempat dan kondisi yang tepat. Agar berkah dari Dewa Brahma tidak berlaku, ia memilih wujud sebagai manusia berkepala singa untuk membunuh Hiranyakasipu. Ia juga memilih waktu dan tempat yang tepat. Akhirnya, berkah dari Dewa Brahma tidak berlaku. Narasinga berhasil merobek-robek perut Hiranyakasipu. Akhirnya Hiranyakasipu berhasil dibunuh oleh Narasinga, karena ia dibunuh bukan oleh manusia, binatang, atau dewa. Ia dibunuh bukan pada saat pagi, siang, atau malam, tapi senja hari. Ia dibunuh bukan di luar atau di dalam rumah. Ia dibunuh bukan di darat, air, api, atau udara, tapi di pangkuan Narasinga. Ia dibunuh bukan dengan senjata, melainkan dengan kuku.<br />Makna dari cerita<br />• Narasinga memberi contoh bahwa Tuhan itu ada dimana-mana<br />• Rasa bakti yang tulus dari Prahlada menunjukkan bahwa sikap seseorang bukan ditentukan dari golongannya, ataupun bukan karena berasal dari keturunan yang jelek, melainkan dari sifatnya. Meskipun Prahlada seorang keturunan Asura, namun ia juga seorang penyembah Wisnu yang taat.<br />Membunuh Hiranyakasipu dengan mengambil wujud sebagai Narasinga merupakan salah satu cara menghukum yang paling sadis dari Dewa Wisnu. Di India, Narasinga sangat terkenal. Dalam festival tradisional India, kisah ini berhubungan dengan perayaan Holi, salah satu perayaan terpenting di India. Dari sinilah Narasimha menjadi terkenal. Di India Selatan, Narasinga sering dituangkan ke dalam bentuk seni pahatan dan lukisan. Narasinga merupakan awatara yang paling terkenal setelah Rama dan Kresna.<br /><br />5. Wamana Awatara yaitu Hyang Widhi turun kedunia sebagai orang kerdil berpengetahuan tinggi dan mulia dalam mengalahkan Maha Raja Bali yang sombong dan ingin menguasai dunia serta menginjak-injak Dharma.<br />Dalam agama Hindu, Wamana (Devanagari: वामन ; Vāmana) adalah awatara Wisnu yang kelima, turun pada masa Tretayuga, sebagai putra Aditi dan Kasyapa, seorang Brahmana. Ia (Wisnu) turun ke dunia guna menegakkan kebenaran dan memberi pelajaran kepada raja Bali (Mahabali), seorang Asura, cucu dari Prahlada. Raja Bali telah merebut surga dari kekuasaan Dewa Indra, karena itu Wisnu turun tangan dan menjelma ke dunia, memberi hukuman pada Raja Bali. Wamana awatara dilukiskan sebagai Brahmana dengan raga anak kecil yang membawa payung. Wamana Awatara merupakan penjelmaan pertama Dewa Wisnu yang mengambil bentuk manusia lengkap, meskipun berwujud Brahmana mungil. Wamana kadang-kadang dikenal juga dengan sebutan "Upendra."<br />Kisah Wamana Awatara dimuat dalam kitab Bhagawatapurana. Menurut cerita dalam kitab, Wamana sebagai Brahmana cilik datang ke istana Raja Bali karena pada saat itu Raja Bali mengundang seluruh Brahmana untuk diberikan hadiah. Ia sudah dinasehati oleh Sukracarya agar tidak memberikan hadiah apapun kepada Brahmana yang aneh dan lain daripada biasanya. Pada waktu pemberian hadiah, seorang Brahmana kecil muncul di antara Brahmana-Brahmana yang sudah tua-tua. Brahmana tersebut juga akan diberi hadiah oleh Bali.<br />Brahmana kecil itu meminta tanah seluas tiga jengkal yang diukur dengan langkah kakinya. Raja Bali pun takabur dan melupakan nasihat Sukracarya. Ia menyuruh Brahmana kecil itu melangkah.<br />Pada waktu itu juga, Brahmana tersebut membesar dan terus membesar. Dengan ukurannya yang sangat besar, ia mampu melangkah di surga dan bumi sekaligus. Pada langkah yang pertama, ia menginjak surga. Pada langkah yang kedua, ia menginjak bumi. Pada langkah yang ketiga, karena tidak ada lahan untuknya berpijak, maka Bali menyerahkan kepalanya. Sejak itu, tamatlah kekuasaan Bali. Karena terkesan dengan kedermawanan Bali, Wamana memberinya gelar Mahabali. Ia juga berjanji bahwa kelak Bali akan menjadi Indra pada Manwantara berikutnya.<br /><br />6. Paracu Rama Awatara yaitu Hyang Widhi turun kedunia sebagai Rama Parasu yaitu Rama bersenjatakan Kapak yang membasmi para ksatrya yang menyeleweng dari ajaran Dharma.<br />Parashurama Bhargava<br />) atau yang di Indonesia<br /> kadang disebut <br />Ramaparasu<br />, adalah nama seorang tokoh Chiranjiwin<br /> dalam ajaran agama Hindu<br />. Secara harfiah<br />, nama <br />Parashurama<br /> bermakna "Rama yang bersenjata kapak". Nama lainnya adalah <br />Bhargawa<br /> yang bermakna "keturunan Maharesi Bhrigu". Ia sendiri dikenal sebagai awatara<br /> Wisnu<br /> yang keenam dan hidup pada zaman Treta Yuga<br />. Pada zaman ini banyak kaum kesatria<br /> yang berperang satu sama lain sehingga menyebabkan kekacauan di dunia. Maka, Wisnu sebagai dewa<br /> pemelihara alam semesta lahir<br /> ke dunia sebagai seorang brahmana<br />berwujud angker, yaitu <br />Rama putra Jamadagni<br />, untuk menumpas para kesatria tersebut. [sunting<br />]Kisah masa muda Parasurama merupakan putra bungsu Jamadagni<br />, seorang resi<br /> keturunan Bhrigu. Itulah sebabnya ia pun terkenal dengan julukan<br />Bhargawa<br />. Sewaktu lahir Jamadagni memberi nama putranya itu <br />Rama<br />. Setelah dewasa, Rama pun terkenal dengan julukan Parasurama karena selalu membawa kapak sebagai senjatanya. Selain itu, Parasurama juga memiliki senjata lain berupa busur panah yang besar luar biasa. Sewaktu muda Parasuama pernah membunuh ibunya sendiri, yang bernama Renuka. Hal itu disebabkan karena kesalahan Renuka dalam melayani kebutuhan Jamadagni sehingga menyebabkan suaminya itu marah. Jamadagni kemudian memerintahkan putra-putranya supaya membunuh ibu mereka tersebut. Ia menjanjikan akan mengabulkan apa pun permintaan mereka. Meskipun demikian, sebagai seorang anak, putra-putra Jamadagni, kecuali Parasurama, tidak ada yang bersedia melakukannya. Jamadagni semakin marah dan mengutuk mereka menjadi batu. Parasurama sebagai putra termuda dan paling cerdas ternyata bersedia membunuh ibunya sendiri. Setelah kematian Renuka, ia pun mengajukan permintaan sesuai janji Jamadagni. Permintaan tersebut antara lain, Jamadagni harus menghidupkan dan menerima Renuka kembali, serta mengembalikan keempat kakaknya ke wujud manusia. Jamadagni pun merasa bangga dan memenuhi semua permintaan Parasurama. [sunting<br />]Menumpas kaum kesatria <br /> Lukisan Parasurama yang sedang memotong seribu lengan Raja Arjuna Kartawirya<br />(Arjuna Sahasrabahu). Pada zaman kehidupan Parasurama, ketenteraman dunia dikacaukan oleh ulah kaum kesatria<br /> yang gemar berperang satu sama lain. Parasurama pun bangkit menumpas mereka, yang seharusnya berperan sebagai pelindung kaum lemah. Tidak terhitung banyaknya kesatria, baik itu raja ataupun pangeran, yang tewas terkena kapak dan panah milik Rama putra Jamadagni. Konon Parasurama bertekad untuk menumpas habis seluruh kesatria dari muka bumi. Ia bahkan dikisahkan telah mengelilingi dunia sampai tiga kali. Setelah merasa cukup, Parasurama pun mengadakan upacara pengorbanan suci di suatu tempat bernama Samantapancaka. Kelak pada zaman berikutnya, tempat tersebut terkenal dengan nama Kurukshetra<br /> dan dianggap sebagai tanah suci yang menjadi ajang perang saudara <br />besar-besaran<br /> antara keluarga Pandawa<br /> dan Korawa<br />. Penyebab khusus mengapa Parasurama bertekad menumpas habis kaum kesatria adalah karena perbuatan raja Kerajaan Hehaya<br /> bernama Kartawirya Arjuna<br /> yang telah merampas sapi milik Jamadagni. Parasurama marah dan membunuh raja tersebut. Namun pada kesempatan berikutnya, anak-anak Kartawirya Arjuna membalas dendam dengan cara membunuh Jamadagni. Kematian Jamadagni inilah yang menambah besar rasa benci Parasurama kepada seluruh golongan kesatria. [sunting<br />]Bertemu awatara Wisnu lainnya Meskipun jumlah kesatria yang mati dibunuh Parasurama tidak terhitung banyaknya, namun tetap saja masih ada yang tersisa hidup. Antara lain dari Wangsa Surya yang berkuasa di Kerajaan Ayodhya<br />. Salah seorang keturunan wangsa tersebut adalah Sri <br />Rama<br /> putra Dasarata<br />. Pada suatu hari ia berhasil memenangkan sayembara diKerajaan <br />Mithila<br /> untuk memperebutkan Sita<br /> putri negeri tersebut. Sayembara yang digelar ialah yaitu membentangkan busur pusaka pemberian Siwa<br />. Dari sekian banyak pelamar hanya Sri Rama yang mampu mengangkat, bahkan mematahkan busur tersebut. Suara gemuruh akibat patahnya busur Siwa sampai terdengar oleh Parasurama di pertapaannya. Ia pun mendatangi istana Mithila untuk menantang Sri Rama yang dianggapnya telah berbuat lancang. Sri Rama dengan lembut hati berhasil meredakan kemarahan Parasurama yang kemudian kembali pulang ke pertapaannya. Ini merupakan peristiwa bertemunya sesamaawatara<br /> Wisnu<br />, karena saat itu Wisnu telah menjelma <br />kembali<br /> sebagai Sri Rama sedangkan Parasurama sendiri masih hidup. Peran Parasurama sebagai awatara Wisnu saat itu telah berakhir namun sebagai seorang Chiranjiwin<br />, ia hidup abadi. Pada zaman Dwapara Yuga<br /> Wisnu terlahir kembali sebagai Sri Kresna<br /> putra Basudewa<br />. Pada zaman tersebut Parasurama menjadi guru sepupu Sri Kresna yang bernama Karna<br /> yang menyamar sebagai anak seorang brahmana<br />. Setelah mengajarkan berbagai ilmu kesaktian, barulah Parasurama mengetahui kalau Karna berasal dari kaum kesatria. Ia pun mengutuk Karna akan lupa terhadap semua ilmu kesaktian yang pernah dipelajarinya pada saat pertempuran terakhirnya. Kutukan tersebut menjadi kenyataan ketika Karna berhadapan dengan adiknya sendiri, yang bernama Arjuna<br />, dalam perang di Kurukshetra<br />. Parasurama diyakini masih hidup pada zaman sekarang. Konon saat ini ia sedang bertapa mengasingkan diri di puncak gunung, atau di dalam hutan belantara. [sunting<br />]Versi Pewayangan <br /> <br /> Parasurama dalam bentuk wayang kulit<br /> digambarkan bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam legam. Parasurama juga ditampilkan sebagai tokoh dalam pewayangan<br />. Antara lain di Jawa<br /> ia lebih terkenal dengan sebutan <br />Ramabargawa<br />. Selain itu ia juga sering dipanggil Jamadagni, sama dengan nama ayahnya. Ciri khas pewayangan Jawa adalah jalinan silsilah yang saling berkaitan satu sama lain. Kisah-kisah tentang Ramabargawa yang bersumber dari naskah <br />Serat Arjunasasrabahu<br /> antara lain menyebut tokoh ini sebagai keturunan Batara Surya<br />. Ayahnya bernama Jamadagni<br /> merupakan sepupu dari Kartawirya raja Kerajaan Mahespati<br />. Adapun Kartawirya adalah ayah dari Arjuna Sasrabahu<br /> alias Kartawirya Arjuna<br />. Selain itu, Jamadagni juga memiliki sepupu jauh bernama Resi Gotama, ayah dari Subali<br /> dan Sugriwa<br />. Dalam pewayangan dikisahkan Ramabargawa menghukum mati ibunya sendiri, yaitu Renuka, atas perintah ayahnya. Penyebabnya ialah karena Renuka telah berselingkuh dengan Citrarata raja Kerajaan Martikawata. Peristiwa tersebut menyebabkan kemarahan dan rasa benci luar biasa Ramabargawa terhadap kaum kesatria. Setelah menumpas kaum kesatria, Ramabargawa merasa jenuh dan memutuskan untuk meninggalkan dunia. Atas petunjuk dewata, ia akan mencapai surga<br /> apabila mati di tangan titisan<br /> Wisnu<br />. Adapun Ramabargwa versi Jawa bukan titisan Wisnu. Sebaliknya, Wisnu dikisahkan menitis kepada Arjuna Sasrabahu yang menurut versi asli adalah musuh Ramabargawa. Akhirnya, Ramabargawa berhasil menemui Arjuna Sasrabahu. Namun saat itu Arjuna Sasrabahu telah kehilangan semangat hidup setelah kematian sepupunya, yaitu Sumantri<br />, dan istrinya, yaitu Citrawati, akibat ulah Rahwana<br /> raja Kerajaan Alengka<br /> yang pernah dikalahkannya. Dalam pertarungan tersebut, justru Ramabargawa yang berhasil menewaskan Arjuna Sasrabahu. Ramabargawa kecewa dan menuduh dewata telah berbohong kepadanya. Batara <br />Narada<br /> selaku utusan kahyangan<br /> menjelaskan bahwa Wisnu telah meninggalkan Arjuna Sasrabahu untuk terlahir kembali sebagai Sri Rama<br /> putra Dasarata<br />. Ramabargawa diminta bersabar untuk menunggu Rama dewasa. Beberapa tahun kemudian, Ramabargawa berhasil menemukan Sri Rama yang sedang dalam perjalanan pulang setelah memenangkan sayembara<br /> Sinta<br />. Ia pun menantang Rama bertarung. Dalam perang tanding tersebut, Ramabargawa akhirnya gugur dan naik ke kahyangan menjadi dewa, bergelar Batara Ramaparasu. Pada zaman berikutnya, Ramaparasu bertemu awatara<br /> Wisnu<br /> lainnya, yaitu Sri <br />Kresna<br /> ketika dalam perjalanan sebagai duta perdamaian utusan para Pandawa<br /> menuju Kerajaan Hastina<br />. Saat itu Ramaparasu bersama Batara Narada, Batara Kanwa, dan Batara Janaka menghadang kereta Kresna untuk ikut serta menuju Hastina sebagai saksi perundingan Kresna dengan pihak Korawa<br />. Kisah ini terdapat dalam naskah <br />Kakawin Bharatayuddha<br /> dari zaman Kerajaan Kadiri<br />. <br />Dalam agama Hindu<br /><br />7. Rama Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai Sang Rama putra raja Dasa Rata dari Ayodya untuk menghanncurkan kejahatan dan kelaliman yang ditimbulkan oleh Raksasa Rahwana dari negara Alengka.<br />Dalam agama Hindu, Rama (Sanskerta: राम; Rāma) atau Ramacandra (Sansekerta: रामचन्द्र; Rāmacandra) adalah seorang raja legendaris yang terkenal dari India yang konon hidup pada zaman Tretayuga, keturunan Dinasti Surya atau Suryawangsa. Ia berasal dari Kerajaan Kosala yang beribukota Ayodhya. Menurut pandangan Hindu, ia merupakan awatara Dewa Wisnu yang ketujuh yang turun ke bumi pada zaman Tretayuga. Sosok dan kisah kepahlawanannya yang terkenal dituturkan dalam sebuah sastra Hindu Kuno yang disebut Ramayana, tersebar dari Asia Selatan sampai Asia Tenggara. Terlahir sebagai putera sulung dari pasangan Raja Dasarata dengan Kosalya, ia dipandang sebagai Maryada Purushottama, yang artinya "Manusia Sempurna". Setelah dewasa, Rama memenangkan sayembara dan beristerikan Dewi Sita, inkarnasi dari Dewi Laksmi. Rama memiliki anak kembar, yaitu Kusa dan Lawa.<br />Asal-usul nama "Rama"<br />Rāmá dalam kitab Regweda dan Atharwaweda adalah kata sifat yang berarti "gelap, hitam", atau kata benda yang berarti "kegelapan", bentuk feminim dari kata sifat tersebut adalah rāmī. Dua Rama muncul dalam pustaka Weda, dengan nama keluarga Mārgaweya dan Aupataswini; Rama yang lain muncul dengan nama keluarga Jāmadagnya yang dianggap sebagai penulis himne Regweda. Menurut Monier-Williams, tiga Rama dihormati pasca masa Weda, yaitu:<br />1. Rāma-candra ("Rama-rembulan"), putra Dasarata, keturunan Raghu dari Dinasti Surya.<br />2. Parashu-rāma ("Rama besenjata kapak"), awatara Wisnu yang keenam, kadangkala dianggap sebagai Jāmadagnya, atau sebagai Bhārgawa Rāma (keturunan Bregu), seorang "Ciranjiwi" atau makhluk abadi.<br />3. Bala-rāma ("Rama yang kuat"), juga disebut Halāyudha (bersenjata bajak saat bertempur), kakak sekaligus teman dekat Kresna, awatara Wisnu yang kedelapan.<br />Dalam Wisnu sahasranama, Rama adalah nama lain Wisnu yang ke-394. Dalam interpretasi dari komentar Adi Sankara, yang diterjemahkan oleh Swami Tapasyananda dari Misi Ramakrishna, Rama memiliki dua pengertian: 1) Brahman yang maha kuasa yang menganugerahkan para yogi; 2) Ia (Wisnu) yang meninggalkan kahyangan untuk menitis kepada Rama, putera Dasarata.<br />Sumber utama mengenai kehidupan dan perjalanan Rama adalah wiracarita Ramayana yang disusun Resi Walmiki. Namun, sastra lain dalam bahasa Sanskerta juga merefleksikan riwayat dalam Ramayana. Sebagai contoh, Wisnupurana juga menceritakan Rama sebagai awatara Wisnu yang ketujuh dan dalam Bayupurana, seorang Rama disebut di antara tujuh Resi dari Manwantara ke-8. Dan juga kisah Rama disebut dalam wiracarita lainnya, yaitu Mahabharata. Versi lain yang penting dan lebih pendek adalah Ādhyātma Ramayana. Ramayana memiliki berbagai versi di sepanjang wilayah India. Sebagai contoh, versi sederhana Ramayana yang menceritakan kehidupan dan filsafat ketuhanan Rama dituangkan dalam sajak kepahlawanan berjudul Kambaramayanam pada abad ke-12 oleh penyair Kamban dalam bahasa Tamil, dan Ramacharitamanasa, Ramayana versi bahasa Hindi pada abad ke-16 oleh penyair Tulsidas. Berbagai versi yang berbeda juga ada dan muncul dalam bahasa-bahasa terkemuka di India. Ramayana versi kontemporer meliputi Shri Ramayana Darshanam oleh Dr. K. V. Puttappa dalam bahasa Kannada, dan Ramayana Kalpavrikshamu oleh Viswanatha Satyanarayana dalam bahasa Telugu, yang mana keduanya memperoleh penghargaan dalam Jnanpith Award. Wiracarita Ramayana tersebar di berbagai wilayah India, dan menonjolkan keunikan budaya masing-masing daerah.<br />Kisah Rama juga menyebar ke wilayah Asia Tenggara, dan diadaptasikan dengan kebudayaan, cerita rakyat, dan kepercayaan masyarakat setempat. Kakawin Rāmāyana dari Jawa (Indonesia), Ramakawaca dari Bali, Hikayat Seri Rama dari Malaysia, Maradia Lawana dari Filipina, Ramakien dari Thailand (yang menyebut Rama sebagai Phra Ram) merupakan karya-karya besar yang unik dan mengandung berbagai versi berbeda mengenai kehidupan Rama. Legenda mengenai Rama dapat disaksikan dalam ukiran di kuil Wat Phra Kaew di Bangkok. Wiracarita nasional Myanmar, Yama Zatdaw sebenarnya merupakan Ramayana versi Myanmar, dimana Rama dipanggil Yama. Dalam Reamker dari Kamboja, Rama dikenal sebagai Preah Ream<br />Awatara Wisnu<br />Dalam wiracarita Ramayana diceritakan bahwa sebelum Rama lahir, seorang raja raksasa bernama Rahwana telah meneror Triloka (tiga dunia) sehingga membuat para dewa merasa cemas. Atas hal tersebut, Dewi bumi menghadap Brahma agar beliau bersedia menyelamatkan alam beserta isinya. Para dewa juga mengeluh kepada Brahma, yang telah memberikan anugerah kepada Rahwana sehingga raksasa tersebut menjadi takabur. Setelah para dewa bersidang, mereka memohon agar Wisnu bersedia menjelma kembali ke dunia untuk menegakkan dharma serta menyelamatkan orang-orang saleh. Dewa Wisnu menyatakan bahwa ia bersedia melakukannya. Ia berjanji akan turun ke dunia sebagai Rama, putera raja Dasarata dari Ayodhya. Dalam penjelmaannya ke dunia, Wisnu ditemani oleh Naga Sesa yang akan mengambil peran sebagai Laksmana, serta Laksmi yang akan mengambil peran sebagai Sita.<br />Kelahiran dan keluarga<br />Sebuah lukisan dari Himachal Pradesh. Dari kiri ke kanan: Sita, Rama, dan Laksmana.<br />Ayah Rama adalah Raja Dasarata dari Ayodhya, sedangkan ibunya adalah Kosalya. Dalam Ramayana iceritakan bahwa Raja Dasarata yang merindukan putera mengadakan upacara bagi para dewa, upacara yang disebut Putrakama Yadnya. Upacaranya diterima oleh para Dewa dan utusan mereka memberikan sebuah air suci agar diminum oleh setiap permaisurinya. Atas anugerah tersebut, ketiga permaisuri Raja Dasarata melahirkan putera. Yang tertua bernama Rama, lahir dari Kosalya. Yang kedua adalah Bharata, lahir dari Kekayi, dan yang terakhir adalah Laksmana dan Satrugna, lahir dari Sumitra. Keempat pangeran tersebut tumbuh menjadi putera yang gagah-gagah dan terampil memainkan senjata di bawah bimbingan Resi Wasista<br />Rama dan Wiswamitra<br />Pada suatu hari, Resi Wiswamitra datang menghadap Raja Dasarata. Dasarata tahu benar watak resi tersebut dan berjanji akan mengabulkan permohonannya sebisa mungkin. Akhirnya Sang Resi mengutarakan permohonannya, yaitu meminta bantuan Rama untuk mengusir para rakshasa yang mengganggu ketenangan para resi di hutan. Mendengar permohonan tersebut, Raja Dasarata sangat terkejut karena merasa tidak sanggup untuk mengabulkannya, namun ia juga takut terhadap kutukan Resi Wiswamitra. Dasarata merasa anaknya masih terlalu muda untuk menghadapi para rakshasa, namun Resi Wiswamitra menjamin keselamatan Rama. Setelah melalui perdebatan dan pergolakan dalam batin, Dasarata mengabulkan permohonan Resi Wiswamitra dan mengizinkan puteranya untuk membantu para resi.<br />Di tengah hutan, Rama dan Laksmana memperoleh mantra sakti dari Resi Wiswamitra, yaitu bala dan atibala. Setelah itu, mereka menempuh perjalanan menuju kediaman para resi di Sidhasrama. Sebelum tiba di Sidhasrama, Rama, Laksmana, dan Resi Wiswamitra melewati hutan Dandaka. Di hutan tersebut, Rama mengalahkan rakshasi Tataka dan membunuhnya. Setelah melewati hutan Dandaka, Rama sampai di Sidhasrama bersama Laksmana dan Resi Wiswamitra. Di sana, Rama dan Laksmana melindungi para resi dan berjanji akan mengalahkan rakshasa yang ingin mengotori pelaksanaan yadnya yang dilakukan oleh para resi. Saat rakshasa Marica dan Subahu datang untuk megotori sesajen dengan darah dan daging mentah, Rama dan Laksmana tidak tinggal diam. Atas permohonan Rama, nyawa Marica diampuni oleh Laksmana, sedangkan untuk Subahu, Rama tidak memberi ampun. Dengan senjata Agneyastra atau Panah Api, Rama membakar tubuh Subahu sampai menjadi abu. Setelah Rama membunuh Subahu, pelaksanaan yadnya berlangsung dengan lancar dan aman.<br />Mendapatkan Dewi Sita<br /><br /> <br />Adegan Rama mematahkan busur Dewa Siwa saat sayembara memperebutkan Dewi Sita, dalam lukisan India karya Raja Ravi Varma.<br />Wiswamitra mendengar adanya sebuah sayembara di Mithila demi memperebutkan Dewi Sita. Ia mengajak Rama dan Laksmana untuk mengikuti sayembara tersebut. Mereka menyanggupinya. Setibanya di sana, Rama melihat bahwa tidak ada orang yang mampu memenuhi persyaratan untuk menikahi Sita, yaitu mengangkat serta membengkokkan busur Siwa. Namun saat Rama tampil ke muka, ia tidak hanya mampu mengangkat serta membengkokkan busur Siwa, namun juga mematahkannya menjadi tiga. Saat busur itu dipatahkan, suaranya besar dan menggelegar seperti guruh. Melihat kemampuan istimewa tersebut, ayah Sita yaitu Raja Janaka, memutuskan agar Rama menjadi menantunya. Sita pun senang mendapatkan suami seperti Rama.<br />Kemudian utusan dikirim ke Ayodhya untuk memberitahu kabar baik tersebut. Raja Dasarata girang mendengar puteranya sudah mendapatkan istri di Mithila, kemudian ia segera berangkat ke sana. Setelah menyaksikan upacara pernikahan Rama dan Sita, Wiswamitra mohon pamit untuk melanjutkan tapa di Gunung Himalaya, sementara Dasarata pulang ke Ayodhya diikuti oleh Resi Wasistha serta pengiring-pengiringnya. Di tengah jalan, mereka berjumpa dengan Resi Parasurama, yaitu brahmana sakti yang ditakuti para ksatria. Parasurama memegang sebuah busur di bahunya yang konon merupakan busur Wisnu. Ia sudah mendengar kabar bahwa Rama telah mematahkan busur Siwa. Dengan wajah yang sangar, ia menantang Rama untuk membengkokkan busur Wisnu. Rama menerima tantangan tersebut dan membengkokkan busur Wisnu dengan mudah. Melihat busur itu dibengkokkan dengan mudah, seketika raut wajah Parasurama menjadi lemah lembut. Rama berkata, "Panah Waisnawa ini harus mendapatkan mangsa. Apakah panah ini harus menghancurkan kekuatan Tuan atau hasil tapa Tuan?". Parasurama menjawab agar panah itu menghancurkan hasil tapanya, karena ia hendak merintis hasil tapanya dari awal kembali. Setelah itu, Parasurama mohon pamit dan pergi ke Gunung Mahendra.<br />Rama diusir ke hutan<br />Dasarata yang sudah tua ingin mengangkat Rama sebagai raja. Dengan segera ia melakukan persiapan untuk upacara penobatan Rama, sementara Bharata menginap di rumah pamannya yang jauh dari Ayodhya. Mendengar Rama akan dinobatkan sebagai raja, Mantara menghasut Kekayi agar menobatkan Bharata sebagai raja. Kekayi yang semula hanya diam, tiba-tiba menjadi ambisius untuk mengangkat anaknya sebagai raja. Kemudian ia meminta agar Dasarata menobatkan Bharata sebagai raja. Ia juga meminta agar Rama dibuang ke tengah hutan selama 14 tahun. Dasarata pun terkejut dan menjadi sedih, namun ia tidak bisa menolak karena terikat dengan janji Kekayi. Dengan berat hati, Dasarata menobatkan Bharata sebagai raja dan menyuruh Rama agar meninggalkan Ayodhya. Sita dan Laksmana yang setia turut mendampingi Rama. Tak berapa lama kemudian, Dasarata wafat dalam kesedihan.<br />Sementara Rama pergi, Bharata baru saja pulang dari rumah pamannya dan tiba di Ayodhya. Ia mendapati bahwa ayahnya telah wafat serta Rama tidak ada di istana. Kekayi menjelaskan bahwa Bharata-lah yang kini menjadi raja, sementara Rama mengasingkan diri ke hutan. Bharata menjadi sedih mendengarnya, kemudian menyusul Rama. Harapan Kekayi untuk melihat puteranya senang menjadi raja ternyata sia-sia. Di dalam hutan, Bharata mencari Rama dan memberi berita duka karena Prabu Dasarata telah wafat. Ia membujuk Rama agar kembali ke Ayodhya untuk menjadi raja. Rakyat juga mendesak demikian, namun Rama menolak karena ia terikat oleh perintah ayahnya. Untuk menunjukkan jalan yang benar, Rama menguraikan ajaran-ajaran agama kepada Bharata. Akhirnya Bharata membawa sandal milik Rama dan meletakkannya di singasana. Dengan lambang tersebut, ia memerintah Ayodhya atas nama Rama.<br />Peristiwa di Pancawati<br />Saat menjalani masa pengasingan di hutan, Rama dan Laksmana didatangi seorang rakshasi bernama Surpanaka. Ia mengubah wujudnya menjadi seorang wanita cantik dan menggoda Rama dan Laksmana. Rama menolak untuk menikahinya dengan alasan bahwa ia sudah beristri, maka ia menyuruh agar Surpanaka membujuk Laksmana, namun Laksmana pun menolak. Surpanaka iri melihat kecantikan Sita dan hendak membunuhnya. Dengan sigap Rama melindungi Sita dan Laksmana mengarahkan pedangnya kepada Surpanaka yang hendak menyergapnya. Hal itu membuat hidung Surpanaka terluka. Surpanaka mengadukan peristiwa tersebut kepada kakaknya yang bernama Kara. Kara marah terhadap Rama yang telah melukai adiknya dan hendak membalas dendam. Dengan angkatan perang yang luar biasa, Kara dan sekutunya menggempur Rama, namun mereka semua gugur. Akhirnya Surpanaka melaporkan keluhannya kepada Rahwana di Kerajaan Alengka. Rahwana marah dan hendak membalas perbuatan Rama. Ia mengajak patihnya yang bernama Marica untuk melaksanakan rencana liciknya.<br /><br />Pada suatu hari, Sita melihat seekor kijang yang sangat lucu sedang melompat-lompat di halaman pondoknya. Rama dan Laksmana merasa bahwa kijang tersebut bukan kijang biasa, namun atas desakan Sita, Rama memburu kijang tersebut sementara Laksmana ditugaskan untuk menjaga Sita. Kijang yang diburu Rama terus mengantarkannya ke tengah hutan. Karena Rama merasa bahwa kijang tersebut bukan kijang biasa, ia memanahnya. Seketika hewan tersebut berubah menjadi Marica, patih Sang Rahwana. Saat Marica sekarat, ia mengerang dengan keras sambil menirukan suara Rama. Merasa bahwa ada sesuatu yang buruk telah menimpa suaminya, Sita menyuruh Laksmana agar menyusul Rama ke hutan. Pada mulanya Laksamana menolak, namun karena Sita bersikeras, Laksmana meninggalkan Sita. Sebelumnya ia sudah membuat lingkaran pelindung agar tidak ada orang jahat yang mampu menculik Sita. Rahwana yang menyamar sebagai brahmana, menipu Sita sehingga Sita keluar dari lingkaran pelindung dan diculik oleh Rahwana. Saat Laksmana menyusul Rama ke hutan, Rama terkejut karena Sita ditinggal sendirian. Ketika mereka berdua pulang, Sita sudah tidak ada.<br />Petualangan menyelamatkan Sita<br />Setelah mendapati bahwa Sita sudah menghilang, perasaan Rama terguncang. Laksmana mencoba menghibur Rama dan memberi harapan. Mereka berdua menyusuri pelosok gunung, hutan, dan sungai-sungai. Akhirnya mereka menemukan darah tercecer dan pecahan-pecahan kereta, seolah-olah pertempuran telah terjadi. Rama berpikir bahwa itu adalah pertempuran raksasa yang memperebutkan Sita, namun tak lama kemudian mereka menemukan seekor burung tua sedang sekarat. Burung tersebut bernama Jatayu, sahabat Raja Dasarata. Rama mengenal burung tersebut dengan baik dan dari penjelasan Jatayu, Rama tahu bahwa Sita diculik Rahwana. Setelah memberitahu Rama, Jatayu menghembuskan nafas terakhirnya. Sesuai aturan agama, Rama mengadakan upacara pembakaran jenazah yang layak bagi Jatayu.<br />Dalam perjalanan menyelamatkan Sita, Rama dan Laksmana bertemu raksasa aneh yang bertangan panjang. Atas instruksi Rama, mereka berdua memotong lengan raksasa tersebut dan tubuhnya dibakar sesuai upacara. Setelah dibakar, raksasa tersebut berubah wujud menjadi seorang dewa bernama Kabanda. Atas petunjuk Sang Dewa, Rama dan Laksamana pergi ke tepi sungai Pampa dan mencari Sugriwa di bukit Resyamuka karena Sugriwa-lah yang mampu menolong Rama. Dalam perjalanan mereka beristirahat di asrama Sabari, seorang wanita tua yang dengan setia menantikan kedatangan mereka berdua. Sabari menyuguhkan buah-buahan kepada Rama dan Laksmana. Setelah menyaksikan wajah kedua pangeran tersebut dan menjamu mereka, Sabari meninggal dengan tenang dan mencapai surga.<br />Persahabatan dengan Sugriwa<br />Reruntuhan jembatan kuno antara India dan Sri Lanka, yang konon dibangun oleh Rama, seperti yang diceritakan dalam wiracarita Ramayana. Kini berada di dasar laut.<br />Dalam misi menyelamatkan Sita, Rama dan Laksmana melanjutkan perjalanannya sampai ke sebuah daerah yang dihuni para kera dengan rajanya bernama Sugriwa. Sebelum berjumpa dengan Sugriwa, Rama bertemu dengan Hanoman yang menyamar menjadi brahmana. Setelah bercakap-cakap agak lama, Hanoman menampakkan wujud aslinya dan mengantar Rama menuju Sugriwa. Sugriwa menyambut kedatangan Rama di istananya. Tak berapa lama kemudian mereka saling menceritakan masalah masing-masing. Akhirnya Rama dan Sugriwa mengadakan perjanjian bahwa mereka akan saling tolong menolong. Rama berjanji akan merebut kembali Kerajaan Kiskenda dari Subali sedangkan Sugriwa berjanji akan membantu Rama mencari Sita. Kemudian Sugriwa dan Rama beserta rombongannya pergi menuju kediaman Subali di Kiskenda. Di sana Subali dan Sugriwa bertarung. Setelah pertarungan sengit berlangsung agak lama, Rama mengakhiri riwayat Subali. Sesuai dengan janjinya, Sugriwa bersedia membantu Rama mencari Sita. Ia mengirim Hanoman sebagai utusan Sang Rama. Setelah Hanoman menemukan Sita di Alengka, ia mengumumkan kabar gembira kepada Rama. Atas petunjuk Hanoman, bala tentara wanara berangkat menuju Kerajaan Alengka.<br />Membangun jembatan Situbanda<br />Saat Rama dan tentaranya bersiap-siap menuju Alengka, Wibisana, adik Sang Rahwana, datang menghadap Rama dan mengaku akan berada di pihak Rama. Setelah ia menjanjikan persahabatan yang kekal, Rama menobatkannya sebagai Raja Alengka meskipun Rahwana masih hidup dan belum dikalahkan. Kemudian Rama dan pemimpin wanara lainnya berunding untuk memikirkan cara menyeberang ke Alengka mengingat tidak semua prajuritnya bisa terbang. Akhirnya Rama menggelar suatu upacara di tepi laut untuk memohon bantuan dari Dewa Baruna. Selama tiga hari Rama berdo'a dan tidak mendapat jawaban, akhirnya kesabarannya habis. Kemudian ia mengambil busur dan panahnya untuk mengeringkan lautan. Melihat laut akan binasa, Dewa Baruna datang menghadap Rama dan memohon ma'af atas kesalahannya. Dewa Baruna menyarankan agar para wanara membuat jembatan besar tanpa perlu mengeringkan atau mengurangi kedalaman lautan. Nila ditunjuk sebagai arsitek jembatan tersebut. Setelah bekerja dengan giat, jembatan tersebut terselesaikan dalam waktu yang singkat dan diberi nama "Situbanda".<br />Rama menggempur Alengka<br />Setelah jembatan rampung, Rama dan pasukannya menyeberang ke Alengka. Pada pertempuran pertama, Anggada menghancurkan menara Alengka. Untuk meninjau kekuatan musuh, Rahwana segera mengirim mata-mata untuk menyamar menjadi wanara dan berbaur dengan mereka. Penyamaran mata-mata Rahwana sangat rapi sehingga banyak yang tidak tahu, kecuali Wibisana. Kemudian Wibisana menangkap mata-mata tersebut dan membawanya ke hadapan Rama. Di hadapan Rama, mata-mata tersebut memohon pengampunan dan berkata mereka hanya menjalankan perintah. Akhirnya Rama mengizinkan mata-mata tersebut untuk melihat-lihat kekuatan tentara Rama dan berpesan agar Rahwana segera mengambalikan Sita. Mata-mata tersebut sangat terharu dengan kemurahan hati Rama dan yakin bahwa kemenangan akan berada di pihak Rama.<br />Pada hari pertempuran terahir, Dewa Indra mengirim kereta perangnya dan meminjamkannya kepada Rama. Kusir kereta tersebut bernama Matali, siap melayani Rama. Dengan kereta ilahi tersebut, Rama melanjutkan peperangan yang berlangsung dengan sengit. Kedua pihak sama-sama kuat dan mampu bertahan. Akhirnya Rama melepaskan senjata Brahma Astra ke dada Rahwana. Senjata sakti tersebut mengantar Rahwana menuju kematiannya. Seketika bunga-bunga bertaburan dari surga karena menyaksikan kemenangan Rama. Wibisana meratapi jenazah kakaknya dan sedih karena nasihatnya tidak dihiraukan. Sesuai aturan agama, Rama mengadakan upacara pembakaran jenazah yang layak bagi Rahwana kemudian memberikan wejangan kepada Wibisana untuk membangun kembali Negeri Alengka. Setelah Rahwana dikalahkan, Sita kembali ke pelukan Rama dan mereka kembali ke Ayodhya bersama Laksmana, Sugriwa, Hanoman dan tentara wanara lainnya. Di Ayodhya, mereka disambut oleh Bharata dan Kekayi. Di sana para wanara diberi hadiah oleh Rama atas jasa-jasanya.<br />Pemujaan dan festival untuk Rama<br /><br />Hari kelahiran Rama, dan juga pernikahannya dengan Sita, diperingati oleh umat Hindu di India sebagai Rama Navami. Perayaan itu jatuh pada hari kesembilan dalam kalender lunar Hindu, atau Chaitra Masa Suklapaksha Nawami. Perayaan itu dipandang sebagai hari pernikahan Rama dengan Sita, dan juga hari ulang tahun Rama. Orang-orang biasanya melakukan Kalyanotsawam (peringatan hari pernikahan) terhadap patung Rama dan Sita di rumah masing-masing, dan di sore hari patung-patung itu diarak ke jalan. Hari itu disebut juga akhir dari sembilan hari utsawam yang disebut Wasanthothsawam (festival musim semi), yang dimulai dengan Ugadi. Beberapa hal menarik dari festival ini yaitu:<br />• Kalyanam (upacara pernikahan yang dipimpin pendeta kuil) di Bhadrachalam, di tepi sungai Godawari di distrik Khammam, Andhra Pradesh.<br />• Panakam, minuman manis yang dipersiapkan, bahannya dari lada.<br />• Arak-arakan patung pada sore hari yang disertai dengan permainan air dan warna.<br />• Untuk perayaan itu, umat Hindu dianjurkan berpuasa (atau membatasi diri mereka dengan diet khusus).<br />• Kuil-kuil didekorasi dan cerita Ramayana dikumandangkan. Bersama dengan Rama, orang-orang juga memuja Sita, Laksmana and Hanoman.<br />Peristiwa kemenangan melawan Rahwana beserta para raksasa diperingati sebagai 10 hari Wijayadashami, yang juga dikenal sebagai Dussehra. Ram Leela dipentaskan di berbagai kampung, desa dan kota di India. Peristiwa kembalinya Rama ke Ayodhya dan juga hari pelantikannya diperingati sebagai Diwali, yang juga dikenal sebagai Festival Cahaya. Perayaan ini merupakan festival yang penting dan terkenal di India. Di Malaysia, Diwali dikenal sebagai Hari Deepavali, dan diperingati selama bulan ketujuh menurut kalender solar Hindu. Perayaan Diwali di Malaysia mirip dengan tradisi di Anak benua India. Di Nepal, Diwali dikenal sebagai Tihar dan diperingati selama masa bulan Oktober/November. Perayaan Diwali di negara tersebut agak berbeda dengan tradisi di India. Pada hari pertama, para sapi dihormati dan diberi persembahan. Pada hari kedua, anjing-anjing dihormati dan diberi makanan khusus. Pada hari ketiga, perayaan Diwali mengikuti pola yang sama dengan di India, penuh lampu dan cahaya serta banyak kegiatan sosial yang dilakukan. Pada hari keempat, Dewa kematian Yama, dipuja dan diberi persembahan. Pada hari terakhir yaitu hari kelima, keluarga berkumpul dan saling bersenda gurau.<br /><br /><br /><br /><br /><br />8. Krisna Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai Sri Krisna raja Dwarawati untuk membasmi raja Kangsa, Jarasanda dan membantu Pandawa untuk menegakkan keadilan dengan membasmi Kurawa yang menginjak-injak Dharma..<br />Kresna atau Krishna (Dewanagari: कृष्ण; dilafalkan kṛṣṇa menurut IAST; dilafalkan 'kɹ̩ʂ.nə dalam bahasa Sanskerta) adalah salah satu Dewa yang banyak dipuja oleh umat Hindu karena dianggap merupakan aspek dari Brahman.[1] Ia disebut pula Nārāyana, yaitu sebutan yang merujuk kepada perwujudan Dewa Wisnu yang berlengan empat di Waikuntha. Ia biasanya digambarkan sebagai sosok pengembala muda yang memainkan seruling (seperti misalnya dalam Bhagawatapurana) atau pangeran muda yang memberikan tuntunan filosofis (seperti dalam Bhagawadgita). Dalam Agama Hindu pada umumnya, Kresna dipuja sebagai awatara Wisnu yang kedelapan, dan dianggap sebagai Dewa yang paling hebat dalam perguruan Waisnawa. Dalam tradisi Gaudiya Waisnawa, Kresna dipuja sebagai sumber dari segala awatara (termasuk Wisnu).[2]<br />Menurut kitab Mahabharata, Kresna berasal dari Kerajaan Surasena, namun kemudian ia mendirikan kerajaan sendiri yang diberi nama Dwaraka. Dalam wiracarita Mahabharata, ia dikenal sebagai tokoh raja yang bijaksana, sakti, dan berwibawa. Dalam kitab Bhagawadgita, ia adalah perantara kepribadian Brahman yang menjabarkan ajaran kebenaran mutlak (dharma) kepada Arjuna. Ia mampu menampakkan secercah kemahakuasaan Tuhan yang hanya disaksikan oleh tiga orang pada waktu perang keluarga Bharata akan berlangsung. Ketiga orang tersebut adalah Arjuna, Sanjaya, dan Byasa. Namun Sanjaya dan Byasa tidak melihat secara langsung, melainkan melalui mata batin mereka yang menyaksikan perang Bharatayuddha.<br />Asal usul nama "Krishna"<br />Dalam bahasa Sanskerta, kata Krishna berarti "hitam" atau "gelap", dan kata ini umum digunakan untuk menunjukkan pada orang yang berkulit gelap. Dalam Brahma Samhita dijabarkan bahwa Krishna memiliki warna kulit gelap bersemu biru langit.[3] Dan umumnya divisualkan berkulit gelap atau biru pekat. Sebagai Contoh, di Kuil Jaganatha, di Puri, Orissa, India (nama Jaganatha, adalah nama yang ditujukan bagi Kresna sebagai penguasa jagat raya) di gambarkan memiliki kulit gelap berdampingan dengan saudaranya Baladewa dan Subadra yang berkulit cerah.<br />Kehidupan Sang Kresna<br />Ikthisar kehidupan Sri Kresna di bawah ini diambil dari Mahabharata, Hariwangsa, Bhagawatapurana, dan Wisnupurana. Lokasi dimana Kresna diceritakan adalah India Utara, yang mana sekarang merupakan wilayah negara bagian Uttar Pradesh, Bihar, Haryana, Delhi, dan Gujarat. Kutipan pada permulaan dan akhir cerita merupakan teologi yang tergantung pada sudut pandang cerita.<br />Penitisan<br />Kutipan di bawah ini menjelaskan alasan mengapa Wisnu menjelma. Dalam sebuah kalimat dalam Bhagawatapurana:<br />“ Dewa Brahma memberitahu para Dewa: Sebelum kami menyampaikan permohonan kepada Beliau, Beliau sudah sadar terhadap kesengsaraan di muka bumi. Maka dari itu, selama Beliau turun ke bumi demi menuntaskan kewajiban dengan memakai kekuatan-Nya sendiri sebagai sang waktu, wahai kalian para Dewa semuanya akan mendapat bagian untuk menjelma sebagai para putera dan cucu dari keluarga Wangsa Yadu.[4]<br />”<br />Kitab Mahabharata yang pertama (Adiparwa, bagian Adiwansawatarana) memberikan alasan yang serupa, meskipun dengan perbedaan yang kecil dalam bagian-bagiannya.<br />Kelahiran<br />Kepercayaan tradisional yang berdasarkan data-data dalam sastra dan perhitungan astronomi mengatakan bahwa Sri Kresna lahir pada tanggal 19 Juli tahun 3228 SM.[5]<br />Kresna berasal dari keluarga bangsawan di Mathura, dan merupakan putera kedelapan yang lahir dari puteri Dewaki, dan suaminya Basudewa. Mathura adalah ibukota dari wangsa yang memiliki hubungan dekat seperti Wresni, Andhaka, dan Bhoja. Mereka biasanya dikenali sebagai Yadawa karena nenek moyang mereka adalah Yadu, dan kadang-kadang dikenal sebagai Surasena setelah adanya leluhur terkemuka yang lain. Basudewa dan Dewaki termasuk ke dalam wangsa tersebut. Raja Kamsa, kakak Dewaki, mewarisi tahta setelah menjebloskan ayahnya ke penjara, yaitu Raja Ugrasena. Karena takut terhadap ramalan yang mengatakan bahwa ia akan mati di tangan salah satu putera Dewaki, maka ia menjebloskan pasangan tersebut ke penjara dan berencana akan membunuh semua putera Dewaki yang baru lahir. Setelah enam putera pertamanya terbunuh, dan Dewaki kehilangan putera ketujuhnya, lahirlah Kresna. Karena hidupnya terancam bahaya maka ia diselundupkan keluar dan dirawat oleh orangtua tiri bernama Yasoda dan Nanda di Gokula, Mahavana. Dua anaknya yang lain juga selamat yaitu, Baladewa alias Balarama (putera ketujuh Dewaki, dipindahkan ke janin Rohini, istri pertama Basudewa) dan Subadra (putera dari Basudewa dan Rohini yang lahir setelah Baladewa dan Kresna).<br />Tempat yang dipercaya oleh para pemujanya untuk memperingati hari kelahiran Kresna kini dikenal sebagai Krishnajanmabhumi, dimana sebuah kuil didirikan untuk memberi penghormatan kepadanya.<br />Masa kanak-kanak dan remaja<br />Nanda merupakan pemimpin di komunitas para pengembala sapi, dan ia tinggal di Vrindavana. Kisah tentang Kresna saat masa kanak-kanak dan remaja ada di sana termasuk dengan siapa dia tinggal, dan perlindungannya kepada orang-orang sekitar. Kamsa yang mengetahui bahwa Kresna telah kabur terus mengirimkan raksasa (seperti misalnya Agasura) untuk membinasakannya. Sang raksasa akhirnya terkalahkan di tangan Kresna dan kakaknya, Baladewa. Beberapa di antara kisah terkenal tentang keberanian Kresna terdapat dalam petualangan ini serta permainannya bersama para gopi (pengembala perempuan) di desa, termasuk Radha. Kisah yang menceritakan permainannya bersama para gopi kemudian dikenal sebagai Rasa lila.Kresna Sang Pangeran<br />Kresna yang masih muda kembali ke Mathura, dan menggulingkan kekuasaan pamannya – Kamsa – sekaligus membunuhnya. Kresna menyerahkan tahta kembali kepada ayah Kamsa, Ugrasena, sebagai Raja para Yadawa. Ia sendiri menjadi pangeran di kerajaan tersebut. Dalam masa ini ia menjadi teman Arjuna serta para pangeran Pandawa lainnya dari Kerajaan Kuru, yang merupakan saudara sepupunya, yang tinggal di sisi lain Yamuna. Kemudian, ia memindahkan kediaman para Yadawa ke kota Dwaraka (di masa sekarang disebut Gujarat). Ia menikahi Rukmini, puteri dari Bismaka dari Kerajaan Widarbha.<br /><br />Menurut beberapa sastra, Kresna memiliki 16.108 istri, delapan orang di antaranya merupakan istri terkemuka, termasuk di antaranya Radha, Rukmini, Satyabama, dan Jambawati. Sebelumnya 16.000 istri Kresna yang lain ditawan oleh Narakasura, sampai akhirnya Kresna membunuh Narakasura dan membebaskan mereka semua. Menurut adat yang keras pada waktu itu, seluruh wanita tawanan tidak layak untuk menikah sebagaimana mereka masih di bawah kekuasaan Narakasura, namun Kresna dengan gembira menyambut mereka sebagai puteri bangsawan di kerajaannya. Dalam tradisi Waisnawa, para istri Kresna di Dwarka dipercaya sebagai penitisan dari berbagai wujud Dewi Laksmi.<br />Bharatayuddha dan Bhagawad Gita<br />Kresna merupakan saudara sepupu dari kedua belah pihak dalam perang antara Pandawa dan Korawa. Ia menawarkan mereka untuk memilih pasukannya atau dirinya. Para Korawa mengambil pasukannya sedangkan dirinya bersama para Pandawa. Ia pun sudi untuk menjadi kusir kereta Arjuna dalam pertempuran akbar. Bhagawadgita merupakan wejangan yang diberikan kepada Arjuna oleh Kresna sebelum pertempuran dimulai.<br /><br />Kehidupan di kemudian hari<br />Setelah perang, Kresna tinggal di Dwaraka selama 36 tahun. Kemudian pada suatu perayaan, pertempuran meletus di antara para kesatria Wangsa Yadawa yang saling memusnahkan satu sama lain. Lalu kakak Kresna – Baladewa – melepaskan raga dengan cara melakukan Yoga. Kresna berhenti menjadi raja kemudian pergi ke hutan dan duduk di bawah pohon melakukan meditasi. Seorang pemburu yang keliru melihat sebagian kaki Kresna seperti rusa kemudian menembakkan panahnya dan menyebabkan Kresna mencapai keabadian. Menurut Mahabharata, kematian Kresna disebabkan oleh kutukan Gandari. Kemarahannya setelah menyaksikan kematian putera-puteranya menyebabkannya mengucapkan kutukan, karena Kresna tidak mampu menghentikan peperangan. Setelah mendengar kutukan tersebut, Kresna tersenyum dan menerima itu semua, dan menjelaskan bahwa kewajibannya adalah bertempur di pihak yang benar, bukan mencegah peperangan.<br />Menurut referensi dari Bhagawatapurana dan Bhagawad Gita, ditafsirkan bahwa Kresna wafat sekitar tahun 3100 SM.[6] Ini berdasarkan deskripsi bahwa Kresna meninggalkan Dwarka 36 tahun setelah peperangan dalam Mahabharata terjadi. Matsyapurana mengatakan bahwa Kresna berusia 89 tahun saat perang berkecamuk. Setelah itu Pandawa memerintah selama 36 tahun, dan pemerintahan mereka terjadi saat permulaan zaman Kaliyuga. Selanjutnya dikatakan bahwa Kaliyuga dimulai saat Duryodana dijatuhkan ke tanah oleh Bima berarti tahun 2007 sama dengan tahun 5108 (atau semacam itu) semenjak Kaliyuga.[7]<br />Hubungan keluarga<br />Ayah Kresna adalah Prabu Basudewa, yang merupakan saudara lelaki (kakak) dari Kunti atau Partha, istri Pandu yang merupakan ibu para Pandawa, sehingga Kresna bersaudara sepupu dengan para Pandawa. Saudara misan Kresna yang lain bernama Sisupala, putera dari Srutadewa alias Srutasrawas, adik Basudewa. Sisupala merupakan musuh bebuyutan Kresna yang kemudian dibunuh pada saat upacara akbar yang diselenggarakan Yudistira.<br /><br /><br /><br /><br /><br />9. Budha Awatara yaitu Hyang Widhi turun sebagai putra raja Sododana di Kapilawastu India dengan nama Sidharta Gautama yang berarti telah mencapai kesadaran yang sempurna. Budha Gautama menyebarkan ajaran Budha dengan tujuan untuk menuntun umat manusia mencapai kesadaran, penerangan yang sempurna atau Nirwana.<br />Dalam agama Hindu, Gautama Buddha muncul dalam kitab Purana (Susastra Hindu) sebagai Awatara kesembilan dari Dasa awatara Dewa Wisnu. Dalam Bhagavata Purana, beliau disebut sebagai Awatara kedua puluh empat dari dua puluh lima awatara Wisnu. Kata Buddha berarti "Dia yang mendapat pencerahan". Buddha Awatara terlahir sebagai putera mahkota Raja Suddhodana di sebuah kerajaan Hindu bernama Kapilawastu di India Utara (sekarang merupakan wilayah kerajaan Nepal) dengan nama Siddharta Gautama yang berarti "Dia yang mencapai segala hasratnya".<br />Namun ajaran Siddhartha Gautama tidak menekankan keberadaan "Tuhan sang Pencipta" [1] dan konsekuenskinya, agama Buddha termasuk bagian dari salah satu mazhab nāstika (heterodoks, harafiah "Itu tidak ada") menurut mazhab-mazhab agama Dharma lainnya, seperti Dvaita. Namun beberapa mazhab lainnya, seperti Advaita, sangat mirip dengan ajaran Buddhisme, baik bentuk maupun filsafatnya.[2]<br />Menurut kepercayaan Hindu populer, pada zaman Kaliyuga, masyarakat menjadi bodoh akan nilai-nilai rohani dan kehidupan. Ada suatu kepercayaan bahwa pada kedatangan Sang Buddha, banyak brahmana di India yang menyalahgunakan upacara Weda demi kepuasan nafsunya sendiri, dan melakukan pengorbanan binatang yang sia-sia dan tiada berguna. Maka dari itu, Buddha muncul sebagai seorang awatara untuk memulihkan keseimbangan.<br />Gautama Buddha lahir sebagai Pangeran Siddhartha Gautama, putra Raja Suddhodana, sekitar abad ketujuh sebelum Masehi (2400 tahun yang lalu). Ayahnya sangat menginginkan dia menjadi Maharaja Dunia, namun pikirannya dibayang-bayangi oleh ramalan petapa Kondanna yang mengatakan bahwa anaknya akan menjadi Buddha karena melihat empat hal: orang sakit, orang tua, orang mati, dan Pertapa Suci atau Pertapa. Keempat hal tersebut selalu berusaha ditutupi olah ayahnya. Ia tidak akan membiarkan sesuatu yang bersifat sakit, tua, mati, dan pertapa suci dilihat oleh Siddharta.<br />Namun Siddharta memang sudah ditakdirkan untuk menjadi Buddha. Ramalan pertapa Kondanna menjadi kenyataan. Keinginan Siddharta untuk menjadi Buddha terlintas ketika ia melihat empat hal tersebut. Keempat hal tersebut pula yang membuka pikirannya untuk mencari obat penawarnya. Akhirnya ia memutuskan untuk menjadi pertapa dan berkeliling mencari pertapa-pertapa terkenal dan mengikuti ajarannya, namun semuanya tidak membuat Siddharta puas. Akhirnya ia menemukan pencerahan ketika bertapa di bawah pohon Bodhi di Bodh Gaya pada malam Purnama Sidhi bulan Waisak.<br />Pada mulanya agama Buddha dianggap sebagai sebuah sekte oleh umat Hindu ketika ajarannya disebarkan di daratan India. Oleh umat Hindu, Siddharta sendiri dihormati dan diyakini sebagai salah satu penjelmaan (Awatara) Tuhan. Siddharta menolak diterapkannya lembaga kasta dan upacara-upacara dalam Veda, dan juga terdapat beberapa filsafat tersendiri yang berbeda dengan filsafat Hindu, sehingga sekte yang didirikan Siddharta Gautama menjadi agama tersendiri.<br />Beberapa tokoh Hindu menganggap Buddha merupakan seorang tokoh yang memperbarui ajaran Veda. Dalam beberapa filsafat Hinduisme, Rama dan Krishna yang merupakan Awatara juga dipuja sebagai Dewa, namun Sang Buddha yang juga merupakan Awatara tidak dipuja dalam Hindu selayaknya Awatara yang lain.<br />Banyak sarjana Hindu yang beranggapan bahwa agama Buddha dipandang sebagai "Brahmanisme yang direformasi",[3] dan banyak umat Hindu yang percaya bahwa agama Buddha, seperti halnya Waisheshika dan Lokayata, merupakan salah satu sekte dalam Sanatana Dharma. Menurut Sarvepalli Radhakrishnan, Buddha tidak menganggap dirinya sebagai seorang inovator, namun hanya seorang yang memperbaiki jalan Upanishad.[4]<br />Beberapa tradisi Hindu menganggap ajaran Buddha sebagai nastika karena tidak mengakui kewenangan kitab Weda. Meskipun banyak aliran dalam agama Hindu yang menganggap Buddha sebagai seorang awatara, ajarannya kadangkala bertolak belakang dengan agama Hindu dan dianggap sebagai suatu bentuk ateisme, karena mengajarkan bahwa dunia tidak diciptakan oleh Tuhan Sang Pencipta. Meskipun agama Buddha meyakini adanya para dewa, namun para dewa tersebut bukanlah makhluk mahakuasa, tidak menciptakan alam semesta.[5]<br />Salah satu dari Mahayana Sutra, yaitu Lankavatara Sutra, menyatakan konsep Tuhan yang berdaulat, atau Atman adalah imajinasi belaka atau perwujudan dari pikiran dan bisa menjadi halangan menuju kesempurnaan karena ini membuat kita menjadi terikat dengan konsep Tuhan Maha Pencipta:<br />“ Semua konsep seperti penyebab, suksesi, atom, unsur-unsur dasar, yang membuat kepribadian, jiwa pribadi, roh tertinggi, Tuhan Yang Mahakuasa, Sang Pencipta, adalah imajinasi belaka dan perwujudan dari pemikiran manusia.<br />Tidak, Mahamati, doktrin Tathágata dari rahim ke-Tathágata-an tidaklah sama dengan filosofi Atman.[6]<br />”<br />Ajaran Buddha tidak mengakui adanya Tuhan Sang Pencipta, sedangkan ajaran Hindu meyakini bahwa Tuhan menciptakan alam semesta. Selain itu, agama Hindu menganggap Buddha sebagai inkarnasi Tuhan. Pengikut filsafat Buddha tidak mengakui adanya makhluk, duniawi maupun surgawi, yang setara maupun lebih hebat daripada Siddhartha Gautama, yang dikenal sebagai Sang Buddha. Hal ini bertentangan dengan pandangan Hindu yang menganggap Buddha adalah penjelmaan dari Tuhan Yang Mahakuasa.<br />Aliran filsafat agama Buddha yang tertua adalah Theravada atau Hinayana. Pengikut Theravada tidak melakukan pemujaan terhadap Buddha. Pengikut Theravada juga tidak meyakini adanya para Bodhisattva. Hal ini bertentangan dengan agama Hindu yang identik dengan pemujaan dan keyakinan akan adanya makhluk surgawi. Di sisi lain, berbagai aliran Buddha Mahayana menganggap Buddha sebagai jiwa yang teragung atau makhluk yang tertinggi, setara dengan Brahman dalam agama Hindu, dan memujanya dalam wujud arca dan gambar.<br /><br />10. Kalki Awatara yaitu penjelmaan Hyang Widhi yang terakhir yang akan turun untuk membasmi penghinaan-penghinaan, pertentangan-pertentangan agama akibat penyelewengan umat manusia dari ajaran Hyang Widhi (Dharma). Menurut keyakinan umat Hindu, awatara terakhir akan turun apabila memuncaknya pertentangan-pertentangan agama di dunia ini.<br />Dalam ajaran Agama Hindu, Kalki (Sansekerta: कल्कि; Jepang: カルキ) (juga disalin sebagai Kalkin dan Kalaki) adalah awatara kesepuluh dan Maha Avatāra (inkarnasi) terakhir Dewa Wisnu Sang pemelihara, yang akan datang pada akhir zaman Kali Yuga ini (zaman kegelapan dan kehancuran).<br />Kata Kalki seringkali merupakan suatu kiasan dari “keabadian” atau “masa”. Asal mula nama tersebut diperkirakan berasal dari kata Kalka yang bermakna “kotor”, “busuk”, atau “jahat” dan oleh karena itu "Kalki" berarti “Penghancur kejahatan”, “Penghancur kekacauan”, "Penghancur kegelapan", atau “Sang Pembasmi Kebodohan”. Dalam bahasa Hindi, kalki avatar berarti “inkarnasi hari esok”.<br />Berbagai tradisi memiliki berbagai kepercayaan dan pemikiran mengenai kapan, bagaimana, di mana, dan mengapa Kalki Awatara muncul. Penggambaran yang umum mengenai Kalki Awatara yaitu beliau adalah Awatara yang mengendarai kuda putih (beberapa sumber mengatakan nama kudanya “Devadatta” (anugerah Dewa) dan dilukiskan sebagai kuda bersayap). Kalki memiliki pedang berkilat yang digunakan untuk memusnahkan kejahatan dan menghancurkan iblis Kali, kemudian menegakkan kembali Dharma dan memulai zaman yang baru.<br />Salah satu sumber yang pertama kali menyebutkan istilah Kalki adalah Wisnu Purana, yang diduga muncul setelah masa Kerajaan Gupta sekitar abad ke-7 sebelum Masehi. Wisnu adalah Dewa pemelihara dan pelindung, salah satu bagian Trimurti, dan merupakan penengah yang mempertimbangkan penciptaan dan kehancuran sesuatu. Kalki juga muncul di salah satu dari 18 kitab Purana yang utama, Agni Purana. Kitab purana yang memuat khusus tentang Kalki adalah Kalki Purana. Di sana dibahas kapan, dimana, bagaimana, dan mengapa Kalki muncul.muditahttp://www.blogger.com/profile/05091005719901532104noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8872898609804187426.post-6953162061121555562010-03-22T06:28:00.000-07:002010-03-22T06:29:55.059-07:00TUGAS YOGAPengertian Nyepi<br />Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi, senyap). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan / kalender Saka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktifitas seperti biasa. Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti Bandar Udara Internasional pun tutup, namun tidak untuk rumah sakit.<br />Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Buwana Alit (alam manusia / microcosmos) dan Buwana Agung/macrocosmos (alam semesta). Sebelum Hari Raya Nyepi, terdapat beberapa rangkaian upacara yang dilakukan umat Hindu, khususnya di daerah Bali.<br />Makna Hari Raya Nyepi<br />Hari Raya Nyepi adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap tahun Baru Saka (Penanggal Ping Pisan Sasih Kadasa). Hari Nyepi ini jatuh pada hitungan Tilem Kesanga (IX) yang dipercayai merupakan hari penyucian dewa-dewa yang berada di pusat samudera yang membawa intisari amerta air hidup. Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap mereka.<br /><br />Makna dari Nyepi adalah membuat suasana hening, tanpa kegiatan (amati karya), tanpa menyalakan api (amati geni), tidak keluar rumah (amati lelungaan), dan tanpa hiburan (amati lelanguan), yang dikenal dengan istilah “Catur Berata Penyepian”. Di hari itu umat Hindu melakukan tapa, berata, yoga, samadhi untuk mengadakan koreksi total pada diri sendiri, serta menilai pelaksanaan trikaya (kayika = perbuatan, wacika = perkataan, manacika = pikiran) di masa lampau, kemudian merencanakan trikaya parisudha (trikaya yang suci) di masa depan.<br />Tujuan Hari Raya Nyepi<br />Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Mahaesa, untuk menyucikan Buwana Alit (alam manusia) dan Buwana Agung (alam semesta). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan bagian dari rangkaian perayaan yang lebih besar.<br /><br />Melasti, Tawur (Pecaruan), dan Pengrupukan<br />Tiga atau dua hari sebelum Nyepi, umat Hindu melakukan Penyucian dengan melakukan upacara Melasti atau disebut juga Melis/Mekiyis. Pada hari tersebut, segala sarana persembahyangan yang ada di Pura (tempat suci) di arak ke pantai atau danau, karena laut atau danau adalah sumber air suci (tirta amerta) dan bisa menyucikan segala leteh (kotor) di dalam diri manusia dan alam.<br />Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada "tilem sasih kesanga" (bulan mati yang ke-9), umat Hindu melaksanakan upacara Buta Yadnya di segala tingkatan masyarakat,mulai dari masing-masing keluarga,banjar,desa,kecamatan dan seterusnya, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis caru (semacam sesajian) menurut kemampuannya. Buta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisuda Buta Kala, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna semuanya. Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari nasi manca (lima) warna berjumlah 9 tanding/paket beserta lauk pauknya, seperti ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Buta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala dan Batara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat.<br />Mecaru diikuti oleh upacara pengerupukan, yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. Khusus di Bali, pengrupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Buta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Buta Kala dari lingkungan sekitar.<br />Puncak acara Nyepi<br />Keesokan harinya, yaitu pada Purnama Kedasa (bulan purnama ke-10), tibalah Hari Raya Nyepi sesungguhnya. Pada hari ini suasana seperti mati. Tidak ada kesibukan aktifitas seperti biasa. Pada hari ini umat Hindu melaksanakan "Catur Brata" Penyepian yang terdiri dari amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Serta bagi yang mampu juga melaksanakan tapa,brata,yoga dan semadhi.<br />Demikianlah untuk masa baru, benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam tahun baru Caka pun, dasar ini dipergunakan, sehingga semua yang kita lakukan berawal dari tidak ada,suci dan bersih. Tiap orang berilmu (sang wruhing tattwa jñana) melaksanakan brata (pengekangan hawa nafsu), yoga ( menghubungkan jiwa dengan paramatma (Tuhan), tapa (latihan ketahanan menderita), dan samadi (manunggal kepada Tuhan, yang tujuan akhirnya adalah kesucian lahir batin).<br />Semua itu menjadi keharusan bagi umat Hindu agar memiliki kesiapan batin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan di tahun yang baru. Kebiasaan merayakan hari raya dengan berfoya-foya, berjudi, mabuk-mabukan adalah sesuatu kebiasaan yang keliru dan mesti diubah.<br />Ngembak Geni (Ngembak Api)<br />Rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka adalah hari Ngembak Geni yang jatuh pada "pinanggal ping kalih" (tanggal 2) sasih kedasa (bulan X). Pada hari ini Tahun Baru Saka tersebut memasuki hari kedua. Umat Hindu bersilaturahmi dengan keluarga besar dan tetangga, saling maaf memaafkan (ksama) satu sama lain.<br /><br />Nah, lalu bagaimana pelaksanaan Nyepi di luar Bali? Rangkaian Hari Raya Nyepi di luar Bali dilaksanakan berdasarkan desa, kala, patra dengan tetap memperhatikan tujuan utama hari raya yang jatuh setahun sekali itu. Artinya, pelaksanaan Nyepi di Jakarta misalnya, jelas tidak bisa dilakukan seperti di Bali. Kalau di Bali, tak ada kendaraan yang diperkenankan keluar (kecuali mendapat izin khusus), namun di Jakarta hal serupa jelas tidak bisa dilakukan. <br />Sebagaimana telah dikemukakan, brata penyepian telah dirumuskan kembali oleh Parisada menjadi Catur Barata Penyepian yaitu: <br />-Amati geni (tidak menyalakan api termasuk memasak). Itu berarti melakukan upawasa (puasa). <br />- Amati karya (tidak bekerja), menyepikan indria. <br />- Amati lelungan (tidak bepergian). <br />- Amati lelanguan (tidak mencari hiburan). <br />Pada prinsipnya, saat Nyepi, panca indria kita diredakan dengan kekuatan manah dan budhi. Meredakan nafsu indria itu dapat menumbuhkan kebahagiaan yang dinamis sehingga kualitas hidup kita semakin meningkat. Bagi umat yang memiliki kemampuan yang khusus, mereka melakukan tapa yoga brata samadhi pada saat Nyepi itu. <br />Yang terpenting, Nyepi dirayakan dengan kembali melihat diri dengan pandangan yang jernih dan daya nalar yang tiggi. Hal tersebut akan dapat melahirkan sikap untuk mengoreksi diri dengan melepaskan segala sesuatu yang tidak baik dan memulai hidup suci, hening menuju jalan yang benar atau dharma. Untuk melak-sanakan Nyepi yang benar-benar spritual, yaitu dengan melakukan upawasa, mona, dhyana dan arcana. <br />Upawasa artinya dengan niat suci melakukan puasa, tidak makan dan minum selama 24 jam agar menjadi suci. Kata upawasa dalam Bahasa Sanskerta artinya kembali suci. Mona artinya berdiam diri, tidak bicara sama sekali selama 24 jam. Dhyana, yaitu melakukan pemusatan pikiran pada nama Tuhan untuk mencapai keheningan. Arcana, yaitu melakukan persembahyangan seperti biasa di tempat suci atau tempat pemujaan keluarga di rumah. Pelaksanaan Nyepi seperti itu tentunya harus dilaksana-kan dengan niat yang kuat, tulus ikhlas dan tidak didorong oleh ambisi-ambisi tertentu. Jangan sampai dipaksa atau ada perasaan terpaksa. Tujuan mencapai kebebesan rohani itu memang juga suatu ikatan. Namun ikatan itu dilakukan dengan penuh keikh-lasan. <br /><br />PASURUAN, KOMPAS.com — Umat Hindu suku Tengger di kawasan Gunung Bromo Tosari, Pasuruan, Jawa Timur, mulai Kamis (26/3) pukul 00.00, menyambut tahun baru Saka 1931 dengan melaksanakan Yoga Samadhi Hari Suci Nyepi, yakni melaksanakan empat berata (catur berata).<br /> <br />Keempat catur berata yang wajib dilaksanakan itu meliputi amati geni (berpatang menyalakan api), upawasa (berpuasa), amati karya (berpantang melakukan aktivitas kerja), amati lelanguan (berpantangan menghibur diri dan tidak menikmati kesenangan), dan amati lelungan (berpantangan bepergian).<br /> <br />Dalam kesenyapan Hari Suci Nyepi itu, umat Hindu bermawas diri, menyatukan pikiran serta cipta, rasa, dan karsa, menuju penemuan hakikat keberadaan diri dan inti sari kehidupan semesta.<br /><br />Hari Raya Nyepi (Kajian Upācāra & Implementasi Pada Kehidupan)<br />12/03/2010 in Artikel <br />Hari Raya Nyepi<br />(Kajian Upācāra & Implementasi Pada Kehidupan) <br />Oleh : I Wayan Sudarma (Shri Danu Dharma P)<br />Oṁ Swastyastu<br />Pendahuluan <br />”Pada awalnya adalah kegelapan yang sangat pekat. Semua yang ada ini tidak terbatas dan<br />tidak dapat dibedakan. Yang ada saat itu adalah kekosongan dan tanpa bentuk. Dengan tenaga panas yang sangat dahsyat,terciptalah kesatuan yang kosong” (Ṛgveda X.129.3). <br />Kapanpun dan di manapun pelaksanaan Dharma merosot dan hal-hal yang bertentangan Dharma merajalela, pada waktu itulah Aku Sendiri menjelma, wahai putra keluarga Bhārata (Bhagavadgītā 4.7).<br />Hari suci keagamaan selalu menempati posisi tersendiri dalam kehidupan manusia dan memiliki makna kesucian yang diorientasikan pada kesempurnaan dengan ajaran-ajaran kerohanian yang berasal dari wahyu Tuhan. Karena orientasi tersebut dimensi hari raya agama tersebut bersifat vertikal. Agama apapun mengajarkan satu kesunyataan yakni Kebenaran. Demikian halnya dengan agama Hindu yang memiliki hari raya keagamaan yang dikelompokkan berdasarkan sasih/bulan dan pawukon/wuku ke dalam dua kelompok besar, diantaranya adalah Nyepi, Galungan dan Kuningan, dan yang lainnya.<br />Hari Suci Nyepi<br />Hari Nyepi merupakan tonggak kebangkitan kerohanian Hindu yang ditandai dengan Toleransi dan Kerukunan. Bermula dari persaingan dan pertikaian bangsa-bangsa di kawasan Asia (sekarang antara: Tibet, Asia Tengah, Persia, Sungai Sindhu, Afganistan, Pakistan, Kashmir, Iran dan India Barat laut) antara bangsa Saka (Scythia) – Pahlava (Parthia)– Yueh-ci (Cina) – Yavana (Yunani) – Malava (India). Mereka sangat berambisi salin menaklukkan satu sama lain sebagai musuh-musuhnya. Selama berabad-abad bangsa-bangsa tadi silih berganti saling menguasai wilayah lawan-lawannya (semacam penguasaan/ penjajahan) memperebutkan daerah yang sangat subur. Akhirnya pada awal tahun 248 SM di India bangsa Pahlava unggul dalam peperangan melawan bangsa Yavana dan Saka serta menguasai wilayah yang sangat luas.<br />Bangsa Saka yang kalah perang mengembara dan mampu secara cepat menyesuaikan diri dan tersebar di seluruh kawasan, namun membawa satu misi kooperatif perdamaian dengan mengedepankan aspek budaya dan humanisme. Bangsa Saka dengan seni budaya dan kombinasi ketata negaraan yang terbuka (ala demokrasi sekarang) mampu menyentuh penguasa yakni Bangsa Pahlava. Artinya bangsa Pahlava mengakui keunggulan bangsa Saka yang mengalihkan perjuangan politiknya dari mengangkat senjata (peperangan) menjadi arah politik : ideology, social-budaya yang bercirikan keharmonisan – perdamaian dengan mengangkat kesejahteraan sebagai issue global. Pergerakan humanisme sejak tahun 138 – 12 SM terjadi akulturasi dan sinkretisme antara bangsa-bangsa yang tadinya bermusuhan dan berakhir pada peperangan menuju perdamaian.<br />Akibat gerakan kemanusiaan membuat sikap politik bangsa-bangsa tadi berubah menjadi gerakan Lokasamgraha (dunia ini rumah kita, persaudaraan semesta, Torang samua basudara). Terdapat tokoh raja Kaniska I, II dan III (tidak semuanya berasal dari bangsa Saka tapi mereka mengadopsi perjuangan bangsa Saka) dalam percaturan politik yang meraih simpati rakyat dengan gerakan kesejahteraan dan kemanusiaan tadi. Salah satu yang terkenal kemudian adalah raja Kaniska II yang pada tahun 78 Masehi menetapkan tahun baru sebagai pencerahan bangsa-bangsa yang berdamai dengan memberikan penghargaan kepada bangsa Saka yang memelopori pergerakan tadi menjadi Tahun Baru Saka yang diperingati secara serentak oleh seluruh negeri. Tahun itu dikemudian hari menjadi tahun pencerahan dan dirayakan dengan khidmat melalui tapa – brata – samadhi.<br />Rangkaian Hari Raya Nyepi. <br />Perayaan Hari suci Nyepi dan Tahun Baru Saka 1932 tahun 2010 di daerah secara otonom dilaksanakan dari tingkat Provinsi sampai tingkat Desa dan perorangan di rumah masing-masing dengan rangkaian sebagai berikut :<br />1. Melasti/Makiyis : adalah prosesi spiritual keagamaan sebagai upaya penyucian alam semesta dari segala kekotoran dan kejahatan akibat dari perputaran karma selama 1 tahun yang penuh dengan intrik, gejolak, nafsu, dan berbagai sisi negative terhadap kemanusiaan. Penyucian ini tidak berhenti pada tataran alam semesta, tetapi juga pada diri setiap manusia Hindu, harus menyucikan diri dan lingkungannya. Arah prosesi penyucian itu ditujukan kea rah laut/segara, karena diyakini air bersumber di laut dan air merupakan sumber dari kehidupan. 80 % tubuh kita ini terdiri dari air. Pelaksanaan prosesi ini dilaksanakan sejak seminggu sebelum hari raya nyepi atau maksimal 2 hari sebelum Nyepi. Di dalam Lontar Sang Hyang Aji Swamandala disebutkan: angayutaken laraning jagat, paklesa letuhing bhuvana, yang terjemahannya: untuk melenyapkan penderitaan masyarakat dan kotoran dunia ( alam ), sedangkan di dalam lontar Sundarigama dinyataan : amet sarining amrtha kamandalu ritelenging samudra, yang terjemahannya : Untuk memperoleh air suci kehidupan di tengah – tengah lautan. Laut sebagai sumber amerta karena laut/segara dipercaya dan diyakini mampu melebur segala kekotoran yang diakibatkan oleh api nafsu manusia yang berupa tindakan kotor/jahat dll.<br />2. Tawur Kesanga : adalah upacara Bhuta Yajna, artinya korban suci yang ditujukan kepada penguasa kekuatan yang memberi kemanfaatan bagi seisi alam raya ini berupa Caru. Caru adalah kata bahasa Sanskerta yang berarti mempercantik, menetralisir, memiliki makna spiritual somya yakni membuat semuanya menjadi harmonis. Caru ini berupa sesajen yang dibuat sedemikian rupa dalam rangkaian yang memiliki perhitungan magis, oleh Pendeta dijadikan sebagai sarana untuk menjadikan situasi krodit/disharmoni menjadi normal/harmonis kembali. Tawur kesanga dilaksanakan sehari sebelum Nyepi tepatnya pada bulan Mati/Tilem sasih Kesanga yang jatuh pada tanggal 15 Maret 2010.<br />3. Nyepi – Brata Penyepian : pada tanggal 16 Maret 2010 adalah hari raya Nyepi yang dilaksanakan perayaannya dengan berpuasa dan berpantang/brata. Dimulai pagi hari jam 06.00. Di antara berbagai bentuk Tapa, Brata, Yoga, Samadi itu, Maunabrata (Monabrata) adalah yang tertinggi, tujuannya adalah amatitis kasunyatan, menuju keheningan sejatai seperti pula disebutkan di dalam lontar Sundarigama (salah satu lontar yang menjelaskan tentang hari-hari raya Hindu di Indonesia) secara tegas menyatakan: “………………Nyepi amatigni, tan wenang sajadma anyambut karya sakalwirnya, agnigni saparanya tan wenang, kalinganya wenang sang weruh ring tattwa angelaraken samadhi. tapa, yoga amatitis kasunyatan” – Hari Nyepi, tidak benar semua orang melakukan pekerjaan, berapi – api, karena mereka yang tahu hakekat agama melaksanakan samadhi,tapa,yoga memusatkan pikiran menuju kesunyataan/keheningan sejati”. Brata Penyepian, dengan amati : gni, karya, lelungan, lelangunan, membuat hidup ini terintrospeksi secara sadar atas apa dan siapa diri ini untuk menuju arah yang ditentukan oleh ajaran agama. Selama 1 hari penuh (24 jam) aktivitas direorientasi guna memberikan pembaharuan (Reneweble) alam semesta sehingga segenap potensinya kembali berfungsi secara maksimal. Bayangkan kota Jakarta jika selama 1 hari tidak ditebari polutan asap kendaraan (polusi udara) dan listrik dipadamkan, aktivitas diliburkan sehari itu saja dalam setahun, berapa besar penghematan yang telah dilakukan oleh Negara, betapa bersihnya udara Jakarta dan kelesuan dapat dipulihkan.<br />4. Ngembak Gni : melakukan aktivitas kembali seperti semula atau membuka api kehidupan normal. Pada hari ini tgl 17 Maret 2010 menjadi lembaran baru bagi kehidupan yang cerah penuh pencerahan rohani. Ngembak Gni mengisyaratkan kepada manusia yang “Multikultural” untuk bersatu padu, menghargai perbedaan sebagai kebenaran illahi, memaafkan adalah perbuatan mulia yang akan membuat hidup kita terasa lebih damai. Melayani mereka yang lemah, membantu mereka yang menderita adalah karma utama saat ini, karena sesungguhnya melayani semua mahluk dengan cinta kasih, dan kasih sayang adalah bentuk pemujaan kepada Tuhan (serve to all man kind is serve to the God).<br />Makna Penjelmaan<br />Menjelma sebagai manusia menurut ajaran Hindu adalah kesempatan yang paling dan sangat baik, karena hanya manusialah yang dapat menolong dirinya sendiri dengan jalan berbuat baik. Untuk berbuat baik dan benar nampaknya sangat sulit dilakukan oleh karena berbagai tantangan yang dihadapi oleh setiap orang. Tantangan mulai ketika bayi lahir dari kandungan ibunya. Demikian lahir langsung menangis karena ia berhadapan dengan kejamnya alam, udara yang dingin atau kilauannya sinar matahari dan lain-lain. Bayi akan tumbuh menjadi manusia dewasa bila ia mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan.<br />Tantangan yang paling berat yang dihadapi oleh umat manusia adalah tantangan yang datang dalam dirinya sendiri, yakni sifat-sifat atau kecenderungan jahat yang merupakan sifat-sifat keraksasaan, kebalikan dari Daivisampad yang disebut Asurisampad (sifat-sifat Asura atau raksasa). Pertarungan antara sifat-sifat kedewataan dengan keraksasaaan inilah yang terus berlangsung dalam diri umat manusia yang sering mengejawantah dalam sikap dan prilaku sehari-hari. Pertarungan ini berlangsung terus tiada hentinya. Siapa yang berhasil memenangkan pertarungan dengan berpihak pada kebajikan atau (Dharma) ialah yang sesungguhnya berhasil menegakkan Dharma. Hanya dengan berpihak kepada Dharma seseorang akan memperoleh keselamatan, kesejahtraan dan kebahagiaan lahir dan batin. Sebagai diamanatkan dalam terjemahan sloka Māhanārayana Upaniad XXII.1, berikut:<br />“Dharmo viśvasya jagataḥ pratiṣṭhā, loke dharmiṣṭhaṁ prajā upasarpanti,Dharmeṇa pāpam apanudanti dharme sarvaṁ, pratiṣṭhaṁ tasmad dharmaṁ paramaṁ vadanti” – “Dharma adalah prinsip dasar dari segala sesuatu yang bergerak dan yang tidak bergerak di alam semesta ini. Seluruh dunia dan segenap umat manusia hendaknya selalu bergairah mengikuti ajaran Dharma. Yang mengikuti ajaran Dharma terbebas dari segala dosa. Segala sesuatunya akan berjalan mantap bila di jalan Dharma. Untuk itu patutlah Dharma itu disebut ajaran yang tertinggi”<br />“Dharma eva hato hanti dharmo rakṣati rakṣitaḥ, tasmād dharmo na hantavyo mābo dharmo hato’vadhīt” – “Dharma yang dilanggar menghancurkan pelanggarnya. Dharma yang dilaksanakan melindungi pelaksananya, oleh karena itu janganlah melanggar Dharma, sebab bagi yang melanggar Dharma akan menghancurkan dirinya sendiri” (Manavadharmaśāstra VIII.15).<br />Implementasi Dalam Kehidupan<br />Bagaimana kita dapat memenangkan Dharma dalam era globalisasi? Globalisasi adalah proses atau trend kemajuan dunia melalui Ilmu Pengetatuhan dan Teknologi dengan ditandai oleh derasnya arus informasi, terutama dari masyarakat maju menuju masyarakat yang sedang berkembang. Dalam era globalisasi ini seakan-akan tidak ada batas-batas antar negara atau bangsa-bangsa (Boderless nations and states) di dunia ini. Kita maklumi bersama bahwa Globalisasi tidaklah selalu berpangaruh dan berdampak negatif, banyak hal-hal positif yang dapat dipetik dalam era globalisasi ini, namun demikian pengaruh dan dampak negatifnya nampaknya cenderung lebih deras terutama menyangkut segi-segi moral, etika dan spiritual yang bersumber pada nilai-nilai agama dan budaya bangsa.<br />Dalam Hindu, dinyatakan bahwa bila orientasi manusia hanya material dan kesenangan belaka, maka orang itu dinyatakan hanya memuaskan Kama (nafsu duniawi). Kama manusia tidak akan pernah merasa puas, walaupun usaha memuaskan itu dilakukan terus-menerus dengan berbagai pengorbanan. Memuaskan Kama dinyatakan sebagai menyiram api yang berkobar besar, tidak dengan air, melainkan dengan minyak tanah, maka api tersebut akan menghancurkan hidup manusia.Di dalam kitab suci Bhagavadgītā dinyatakan bahwa Kama, di samping juga Lobha dan Krodha adalah tiga pintu gerbang yang mengantarkan Ātma (roh) menuju jurang neraka dan kehancuran. Untuk itu, Tuhan Yang Maha Esa mengajarkan agar umat manusia memilki kesadaran yang tinggi untuk menghindarkan diri dari ketiga belenggu tersebut.<br />Bagaimana caranya kita dapat menghindarkan diri tiga pintu gerbang neraf berupa Kama, Lobha dan Krodha yang merupakan perwujudan dari perbuatan atau perilaku Adharma ? Jawabannya adalah sederhana, yaitu kita mesti kembali kepada ajaran agama. Peganglah ajaran agama sebaik-baiknya. Biasakanlah berbuat baik dan benar atau berdasarkan Dharma, yang di dalam kitab Taittiriya Upaniṣad I.1.11: Satyaṁ vada Dharmācara svadhyaya mā pramadaḥ – Berbicaralah jujur/benar, ikutilah ajaran Dharma, kembangkan keingan belajar dan memuja Tuhan Yang Maha Esa dan janganlah lalai/sampai lupa.<br />Memang bila kita berbicara atau hanya membaca ajaran agama, nampaknya segala sesuatunya gampang dilaksanakan, namun dalam prakteknya sungguh berat. Untuk itu hendaknya ada tekad atau pemaksanaan untuk berbuat baik. Pemaksaan diri untuk selalu berbuat baik disebut Pratipaksa. Untuk kebaikan, paksakanlah, lakukankan, korbankanlah, tekunilah dan doronglah supaya perbuatan benar dan baik itu menjadi identitas kehidupan ini. Identitas atau integritas seseorang dapat dilihat dari kualitas pikiran, ucapan dan tingkah laku seseorang. Untuk selalu dapat berbuat baik, maka diajarkan bahwa setiap orang hendaknya melakukan 4 hal, yaitu:<br />1) Abhyasa yang artinya untuk perbuatan baik lakukanlah dan biasakanlah hal itu.<br />2) Tyāga atau Vairagya yang artinya kendalikanlah atau tinggalkanlah perbuatan-perbuatan yang menjerumuskan hidup kita.<br />3) Santosa yang artinya beryukurlah terhadap karunia Tuhan Yang Maha Esa, memberikan kita kesempatan menjelma sebagai manusia untuk biasa memperbaiki diri dan kesadaran untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan kita untuk mencapai Jagadhita (kesejahtraan jasmaniah) dan Moksa (kebahagiaan sejati).<br />4) Sthitaprajña yang artinya hidup berkeseimbangan lahir dan batin, tidak terlalu bergembira bila memperoleh keberuntungan dan tidak putus asa bila menghadapi kemalangan atau kedukaan.<br />Hari-hari raya keagamaan akan berlalu begitu saja bila kita tidak menyingkapi makna atau nilai-nilai yang terkandung dalam hari-hari raya itu. Selanjutnya dengan pemahaman terhadap makna atau nilai-nilai itu, seseorang hendaknya dapat mengamalkan atau melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Nyepi adalah hari perjuangan menuju kesadaran terhadap ajaran Dharma. Hanya dengan Dharma umat manusia akan selamat di dunia ini. Bagaimana mengaktulisasikan ajaran Dharma ini ? Secara sederhana adalah dengan merealisasikan 7 macam perbuatan yang disebut Dharma seperti disebutkan dalam kitab Vṛhaspatitattva, yaitu:<br />1) Sila, yakni senantiasa berbuat baik dan benar.<br />2) Yajña, yakni ikhlas berkorban. Yajna tidaklah hanya terbatas pada pengertian upakara dan upācara saja, melainkan mengembangkan kasih sayang dan keikhlasan.<br />3) Tapa, pengekangan dan pengendalian diri.<br />4) Dana, memberikan pertolongan atau bantuan kepada yang miskin dan yang memerlukan bantuan. Dalam Hindu dinyatakan menolong orang-orang miskin disebutkan sebagai menyembah Tuhan Yang Maha Esa yang ber-abhiseka (disebut dengan nama) Daridra Nārayana.<br />5) Pravrijya, berusaha menambah ilmu pengetahuan atau kerohanian (spiritual).<br />6) Dikṣa, penyucian diri dan<br />7) Yoga, senantiasa menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa.<br />Penutup<br />Dengan melaksanakan butir-butir perbuatan tersebut di atas sesungguhnya kita sudah dapat mengamalkan ajaran agama. Aktualisasi dari ajaran ini dikaitkan dengan masalah-masalah kekinian, misalnya dengan meningkatkan solidaritas sosial (kesetiakawanan sosial), membantu program pemerintah mengentaskan kemiskinan, mengembangkan moralitas dan mentalitas yang baik dan positif serta senantiasa aktif membangun masyarakat lingkungan di sekitar kita.<br />Berterima kasihlah kepada orang yang telah memberikan kesempatan berbuat baik, berbuat lebih baik dari tidak berbuat apa lagi berbuat yang tidak baik pasti menghasilkan ke-tidak-baik-an, sementara kita ingin mendapat perlakuan yang baik dari orang lain tetapi kita melupakan harus berbuat baik kepada orang lain. Kebaikan tidak pernah datang dengan sendirinya. <br />Lakukan kebenaran dengan cara menyenangkan, tapi jangan melakukan <br />ketidakbenaran walau itu menyenangkanmu<br />Pengertian Hari Raya Nyepi Umat Hindu<br />Diringkas oleh : I P Danan Krisnadi R<br />Sumber : Nyepi Caka 1910. penyebaran kator departemen agama jembrana, Doktik 8 Feb 88<br />Hari Raya Nyepi<br />Dengan brata penyepian manusia dapat mengendalikan musuh-musuh dalam dirinya,<br />sesuai dengan pedoman yang dikeluakan oleh Parisadha Hindu Dharma Pusat, umat hindu dalam<br />merayakan hari raya Nyepi yang sudah menjadi keputusan presiden No. 3 tahun 1983 bahwa hari<br />raya Nyepi semenjak pergantian tahun caka 1904 ke tahun caka 1905 menjadi hari libur nasional,<br />hari raya Nyepi terkenal dengan Catur Brata Penyepian<br />1. Amati Gni : tidak menyalakan api atau lampu<br />2. Amati Pekaryan : tidak melakukan suatu pekerjaan<br />3. Amati Lalanguan : tidak berhura-hura / bersenang- senang<br />4. Amati Lelungan : tidak berpergian<br />“Ragadi musuh maparo ri hati ya tonggwanya tan wadoh ring awak”<br />Yang artinya :<br />“Raga (Nafsu) adalah musuh utama, tidak jauh dari badan, dihati tempatnya.”<br />Disini semua brata penyepian itu kalau kita bias melaksanakan berarti kita sudah<br />mengekang nafsu, nafsu yang bersumber dari hati kita yang bersemayam pada Ctula Carira kita<br />masing-masing.<br />Musuh musuh dalam diri manusia<br />A, Sad Ripu<br />B, Sapta Timira<br />A. Sad Ripu<br />Setiap manusia pada dasarnya suci, karena atma yang menghidupi manusia itu berasal<br />dari yang maha suci yaitu Brahmnaatma, itu sebabnya setiap manusia nenginginkan<br />kesucian. Dari adanya keducian inilah maka manusia pada saat sadar dan menyadari<br />dirinya , ingin dia berbuat baik dan tidak dikatakan menjadi curang dan tidak baik.<br />Namun demikian oleh karena adanya misuh ada masing-masing manusia yang selalu dan<br />setiap saat timbul, bila kesadaran seorang menurun yang menmbulkan perbuatan yang<br />tidak baik, maka sangat perlu musuh musuh itu dikendalikan.<br />Musuh musuh yang terdiri dari 6 musuh yang terkenal dengan Sad Ripu adalah :<br />1. Kama artinya hawa nafsu<br />2. Loba artinya tamak / rakus<br />3. Krodha artinya kemarahan<br />4. Moha artinya kebingungan<br />5. Mada artinya mabuk / foya-foya<br />6. matsarya artinya iri hati.<br />1. Kama<br />Kama berarti hawa nafsu, hal ini ada pada setiap orang dan dapat menjadi musuh<br />setiap indifidu selama belum dapat dukuasainya kalau nafsu itu dapat dikendalikan<br />merupakan teman akrab bagi kehidupan manusia. Karena adanya kama hidup ini<br />terasa penuh berarti, orang yang telah meninggalkan kama dan terbebas dari kama<br />mereka adalah orang – orang yang telah banyak memenuhi hidup ini.<br />2. Lobha<br />Pengertian Hari Raya Nyepi Umat Hindu<br />Diringkas oleh : I P Danan Krisnadi R<br />Sumber : Nyepi Caka 1910. penyebaran kator departemen agama jembrana, Doktik 8 Feb 88<br />Loba atau tamak menyebabkan orang tak pernah merasa puas akan sesuatu, orang<br />yang loba ingin selalu memiliki sesuatu yang banyak dan lebih dari pada apa yang<br />telah dimiliki, akibatnya orang yang demikian itu akan gusar, gelisah – resah<br />didorong oleh kelobaanya dan hidupnya tak pernah tenang, sedangkan ketenangan<br />menjadi idaman bagi setiap orang itulah sebabnya loba itu adalah musuh yang setiap<br />saat harus disadari dan diawasi,.<br />3. Kroda<br />Kroda sering diartikan marah, kemarahan timbul karena pengaruh perasaan yang<br />jengkel, muak osan dan sebagainya. Orang yang suka marah adalah tidak baik, sebab<br />kemarahan menyebabkan orang menderita, dan umumnya semua orang tidak senang<br />dimarahi. Sebab ketemu marah terjadilah konflik yang meimbulkan ketegangan<br />bahkan kehancuran semata.<br />Orang pemarah tidak mendapat simpatik dari teman-temannya bahkan tidak disenangi<br />dan selalu dijauhi, justru karena itu hilangkan perasaan marah tersebut.<br />4. Moha<br />Moha artinya kebingungan, karena bingung menyebabkan pikiran menjadi gelap.<br />Karena kegelapan maka manusia menjadi tida sadar, dari sinilah yang mempengaruhi<br />kesehatan tubuh, kondisi tubuh akan menurun dan akhirnya tugas dan kewajiban tak<br />terselesaikan dengan semestinya.<br />5. Mada<br />Mada artinya kemabukan, minuman sangat digemari orang, minuman keras dapat<br />menyebabkan kita mabuk, karena mabuk pikiran orang menjadi gelap, kesadaran<br />menjadi hilang, dari sinilah menimbulkan prilaku yang kadang kala merugikan<br />dirinya sendiri, ia berkata ngawur yang menyinggung perasaan. Karenanya ia harus<br />dijauhi.<br />6. Matsarya<br />Matsarya artinya iri hati, perasaan iri hati ini adalah dimana perasaan tidak senang<br />melihan orang lain lebih dari dia, atau tidak senang melihat orang menyamai dirinya.<br />B. Sapta Timira<br />Sapta timira artinya 7 kegelapan, yang dimaksudkan dengan 7 kegelapan ini adalah 7 hal<br />yang menyebabkan pikiran orang menkadi gelap. Kegelapan pikiran ini, dapat<br />menimbulkan tingkah laku yang tidak patut dan menyimpang dari tingkah laku yang baik<br />dan benar.<br />Kegelapan yang timbul dari sapta timira yaitu,<br />1. surupa<br />2. dana<br />3. guna<br />4. kulina<br />5. yowana<br />6. sura<br />7. kasuran<br />Pengertian Hari Raya Nyepi Umat Hindu<br />Diringkas oleh : I P Danan Krisnadi R<br />Sumber : Nyepi Caka 1910. penyebaran kator departemen agama jembrana, Doktik 8 Feb 88<br />Penjelasan,<br />1. Surupa artinya kecantikan<br />Kebagusan atau kecantikan dibawa sejak lahir, merupakan anugrah tuhan yang<br />maha pengasih dan penyayang. Bagi orang yang memiliki semua ini boleh merasa<br />beruntung atas anugrah serta kasih sayang tuhan, namun tidaklah patut takabur<br />dan sombong karena punya rupa yang tampan, bagus , cantik, yang kesemua ini<br />bersifat maya dan tak kekal.<br />2. Dana artinya Kekeyaan<br />Kekayaan sungguh berguna bagi siapapun, setiap orang menginginkan hal itu,<br />karenanya orang berlomba lomba berusaha dengan berkenja keras untuk dapat<br />memiliki kekayaan. Namun ingat kekayaan itu anugrah tuhan, karenanya patutlah<br />dipergunakan dengan sebaikbaiknya.<br />3. Guna artinya kepandaian<br />Kepandaian ini mirib dengan kekayaan tersebut diatas. Hendaknya kepandaian ini<br />diamalkan untuk kesejahtraan orang banyak, janganlah kepandaian ini<br />dipergunakan untuk sewenang-wenang. Menindas orang yang lebih bodoh dan<br />sebagainya.<br />4. Kulina artinya keturunan<br />Memiliki arti yang penting karena dari keturunan siapa leluhurnya, ia akan dapat<br />dikenal siapa dirinya sebenarnya. Orang itu dipandang terhormat, disegani dapat<br />dipercaya , karena berasal dari keturunan orang orang yang dikenal berjasa, baik<br />dan sebagainya.<br />5. Yoana artinya masa remaja atau masa muda<br />Masa muda atau masa remaja ini penuh dengan kegairahan hidup, masa gemilang<br />penuh kreativitas, masa kekuatan dan kecerdasan sedang hebatnya<br />Disinilah hendaknya kita banyak berbuat baik dan berguna. Jangan berbuat hal –<br />hal yang kurang baik dan tercela. Jangna angkuh dan sombong karena keremajaan<br />ini dan harus disadari semua itu tidakkekal dan bersifa maya belaka.<br />6. Sura artinya Minuman Keras<br />Dengan minuman keras seperti Tuak, Arak + methanol, Berem, Beer dll,<br />menyebabkan manusia mabuk bila diminum berlebihan. Dari kemabukan inilah<br />syaraf2 otak akan terganggu dan kesadarannya akan hilang, justru karena itu<br />jauhilah minuman keras ini.<br />7. Kasuran artinya keberanian<br />Setiap orang perlu memiliki keberanian, tanpa adanya keberanian setiap orang<br />akan selalu merasa menderita, hidup ini adalah suatu perjuangan, karenanya<br />keberanian adalah penting. Keberanian disini dipergunakan untuk dapat<br />mengatasi liku-likunya kehidupan, seperti keberanian membela dan<br />mempertahankan kebenaran, orang tak layak mabuk karena keberanian.<br />Keberanian harus dilandasi kebenaran. Keberanian adalah untuk mebela yang<br />benar sesuai dengan ucapan, “ Satwam Ewan jayate na nrtam” yang artinya :<br />kebenaran selalu benar dan bukan kemaksyatan.<br />Pengertian Hari Raya Nyepi Umat Hindu<br />Diringkas oleh : I P Danan Krisnadi R<br />Sumber : Nyepi Caka 1910. penyebaran kator departemen agama jembrana, Doktik 8 Feb 88<br />Banyak kalangan lain di luar umat Hindu melihat keunikan tersendiri bagi umat Hindu<br />Nusantara dalam merayakan Tahun Barunya. Umat lain di hari Tahun Baru-nya merayakan<br />dengan kemeriahan, pesta makan – minum, pakaian baru, dan sebagainya. Umat Hindu, justru di<br />Tahun Baru Saka yang jatuh pada “Penanggal Ping Pisan Sasih Kadasa” menurut sistim kalender<br />Hindu Nusantara, merayakannya dengan sepi yang kemudian bernama “Nyepi” artinya membuat<br />suasana sepi, Di hari itu umat Hindu melakukan tapa, berata, yoga, samadhi untuk<br />menyimpulkan serta menilai Trikaya pribadi-pribadi dimasa lampau dan merencanakan Trikaya<br />Parisudha dimasa depan. Di hari itu pula umat mengevaluasi dirinya, seberapa jauhkah tingkat<br />pendakian rohani yang telah dicapainya, dan sudahkah masing-masing dari kita mengerti pada<br />hakekat tujuan kehidupan di dunia ini. Dengan amati pekaryan, kita mempunyai waktu yang<br />cukup untuk melakukan tapa, berata, yoga, dan Samadhi, dalam suasana amati gni, pikiran akan<br />lebih tercurah pada telusuran kebathinan yang tinggi, pembatasan gerak bepergian keluar rumah<br />berupa amati lelungaan akan mengurung diri sendiri di suatu tempat tertentu untuk melakukan<br />tapa, berata, yoga, samadhi. Tempat itu bisa dirumah, di Pura atau di tempat suci lainnya. Tentu<br />saja dalam prosesi itu kita wajib menghindarkan diri dari segala bentuk hiburan yang<br />menyenangkan yang dinikmati melalui panca indria. Kemampuan mengendalikan Panca Indria<br />adalah dasar utama dalam mengendalikan Kayika, Wacika dan Manacika sehingga jika sudah<br />terbiasa maka akan memudahkan pelaksanaan Tapa Yadnya. Walaupun tidak dengan tegas<br />dinyatakan, pada Hari Nyepi seharusnya kita melakukan Upawasa atau berpuasa menurut<br />kemampuan masing-masing. Setelah Nyepi, diharapkan kita sudah mempunyai nilai tertentu<br />dalam evaluasi kiprah masa lalu dan rencana bentuk kehidupan selanjutnya yang mengacu pada<br />menutup kekurangan-kekurangan nilai dan meningkatkan kwalitas beragama. Demikianlah tahun<br />demi tahun berlalu sehingga semakin lama kita umat Hindu akan semakin mengerti pada hakekat<br />kehidupan di dunia, yang pada gilirannya membentuk pribadi yang dharma, dan menjauhkan halhal<br />yang bersifat adharma. Hari Raya Nyepi dan hari-hari Raya umat Hindu lainnya merupakan<br />tonggak-tonggak peringatan penyadaran dharma. Oleh karena itu kegiatan dalam menyambut<br />datangnya hari-hari raya itu semestinya tidak pada segi hura-hura dan kemeriahannya, tetapi<br />lebih banyak pada segi tattwa atau falsafahnya. Seandainya mayoritas umat Hindu Nusantara<br />menyadari hal ini, pastilah masyarakat yang Satyam, Siwam, Sundaram akan dapat tercapai<br />dengan mudah.<br />Kelemahan tradisi beragama umat Hindu khususnya yang tinggal di Bali, adalah terlalu<br />banyak berkutat pada segi-segi Ritual (Upacara) sehingga segi-segi Tattwa dan Susila kurang<br />diperhatikan. Tidak sedikit dari mereka merasa sudah melaksanakan ajaran Agama hanya dengan<br />melaksanakan upacara-upacara Panca Yadnya saja. Salah satu segi Tattwa yang kurang<br />diperhatikan misalnya mewujudkan Trihitakarana. Perkataan ini sering menjadi selogan yang<br />populer, diucapkan oleh berbagai tokoh dengan gempita tanpa menghayati makna dan<br />aplikasinya yang riil di kehidupan sehari-hari. Trihitakarana, tiga hal yang mewujudkan<br />kebaikan, yaitu keharmonisan hubungan manusia dengan Hyang Widhi (Pariangan),<br />keharmonisan hubungan manusia sesama manusia (Pawongan) dan keharmonisan hubungan<br />manusia dengan alam (Palemahan). Trihitakarana bertitik sentral pada manusia, dengan kata lain<br />Trihitakarana bisa terwujud jika manusia mempunyai tekad yang kuat melaksana-kannya. Tekad<br />yang kuat harus disertai dengan pengertian yang mendalam dan kebersamaan sesama umat<br />manusia. Trihitakarana tidak bisa diwujudkan hanya oleh seorang diri atau sekelompok orang<br />saja. Itu harus dilakukan bersama-sama oleh semua manusia, bahkan manusia beragama apapun.<br />Manusia yang pendakian spiritualnya cukup akan mencintai Tuhan (Hyang Widhi). Cinta<br />kepada sesuatu yang lebih tinggi dan lebih luas disebut “Bhakti”. Ruang lingkup ini misalnya :<br />Pengertian Hari Raya Nyepi Umat Hindu<br />Diringkas oleh : I P Danan Krisnadi R<br />Sumber : Nyepi Caka 1910. penyebaran kator departemen agama jembrana, Doktik 8 Feb 88<br />Bhakti kepada Tuhan, negara, bangsa, rakyat, dll. Tinjuan khusus tentang bhakti kepada Hyang<br />Widhi, wujudnya adalah kasih sayang kepada semua ciptaan-Nya yaitu mahluk hidup : manusia,<br />binatang dan tumbuh-tumbuhan; demikian pula kepada ciptaan-Nya yang lain misalnya alam<br />semesta. Seseorang yang mengaku sebagai “Bhakta” (orang yang berbhakti) tidaklah tepat jika ia<br />menunjukkan bhaktinya itu kepada Hyang Widhi hanya dalam bentuk berbagai ritual saja. Ia<br />juga harus mewujudkan cinta dan kasih sayang kepada semua mahluk, khususnya kepada sesama<br />manusia. Rasa kasih sayang kepada sesama manusia hendaknya benar-benar datang dari hati<br />nurani yang bersih dan tulus tanpa keinginan mendapat balas jasa atau imbalan dalam bentuk<br />apapun. Filsafat Tattwamasi merupakan panduan yang bagus kearah ini.<br />Masyarakat yang individu-individunya telah mampu melaksanakan ajaran Agama dengan<br />baik akan mewujudkan keadaan yang disebut sebagai Satyam, Siwam, Sundaram, yakni<br />masyarakat yang saling menyayangi sesamanya, kebersamaan yang harmonis dan dinamis,<br />berkeimanan yang kuat dan sejahtera lahir-bathin. Manusia dalam upayanya mencapai kehidupan<br />satyam, siwam, sundaram tidaklah dapat berdiri sendiri-sendiri. Ia memerlukan berbagai<br />hubungan yang harmonis dengan manusia lain, atau jelasnya, manusia membutuhkan kelompok<br />tertentu yang sehaluan dalam pemahaman keimanan, kepentingan politik, kepentingan ekonomi,<br />kepentingan sosial, dan kepentingan budaya. Prinsip-prinsip jalinan hubungan yang harmonis itu<br />sebagaimana bunyi slogan : “Sagilik-saguluk salunglung sabayantaka, paras-paros sampranaya,<br />saling asah, saling asih, saling asuh” Artinya : bersatu-padu menyusun kekuatan menghadapi<br />ancaman/bahaya, memutuskan sesuatu secara musyawarah mufakat, saling mengingatkan, saling<br />menyayangi dan saling membantu. Slogan ini bersifat dinamis, dapat digunakan baik dalam<br />lingkungan kecil seperti rumah tangga, maupun dalam lingkungan yang lebih besar seperti<br />Paguyuban, Banjar, dan Desa, bahkan dalam lingkungan Nusantara dan Internasional. Untuk<br />lingkungan yang lebih luas seperti Nusantara dan Internasional kepentingan yang disatukan<br />biasanya menyangkut ideologi misalnya bidang keimanan/ Agama dan Politik. Azas-azas<br />kebersamaan sebagai umat Hindu dapat dikembangkan seluas-luasnya karena akan bermanfaat<br />bagi peningkatan pengetahuan dan kesejahteraan. Kebersamaan itu pula dapat sebagai benteng<br />yang melindungi, mengayomi umat sedharma dari ancaman-ancaman pihak lain dalam bentuk<br />proselitasi (mempengaruhi orang yang sudah memeluk Agama tertentu beralih ke Agama lain).<br />Kebersamaan dalam bentuk paguyuban berguna sebagai wadah demokrasi karena konsep<br />“Paras-paros sampranaya” dijalankan. Ini akan membentuk tatanan kehidupan yang moderat<br />dimana terjadi brainsforming dalam memutuskan sesuatu demi kepentingan bersama. Sejarah<br />dunia telah membuktikan bahwa perjuangan dalam bentuk apapun hanya akan berhasil jika<br />dilakukan dengan kesadaran kebersamaan yang hakiki diantara kelompok pejuang. Demikian<br />pula hal yang patut dilakukan oleh umat Hindu dewasa ini, jalinan kebersamaan hendaknya<br />makin diperluas mencapai tahap internasional agar dapat memberikan manfaat yang tinggi bagi<br />kemajuan umat Hindu.<br />Demikianlah sebagai kesimpulan terakhir melaui brata penyepian hendaknya kita bisa<br />mengendalikan diri, bisa mengekan hawa nafsu yang bersumber pada diri kita sendiri yang<br />berasal dari Sad Ripu dan Sapta Timira. Demikianlah semoga bermanfaat.muditahttp://www.blogger.com/profile/05091005719901532104noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8872898609804187426.post-82794353557542453942009-06-04T04:37:00.000-07:002009-06-04T04:49:32.873-07:00Panca Sradha Dalam Konsep Ketuhanan menurut Agama Hindu<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="font-size: 20pt; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">D</span></b><span style="" lang="SV">alam ajaran agama Hindu, Tatwa juga termasuk salah satu kepercayaan. Kepercayaan juga dikenal dengan istilah “Sradha” yang berarti keimanan,keyakinan,kepercayaan. Ada lima macam keyakinan dalam Agama Hindu yang disebut dengan “Panca Sradha”.Panca Sradha, yang berarti lima macam keyakinan/ kepercayaan atau keimanan yang harus dipedomani oleh setiap umat hindu dalam hidup dan kehidupannya.Panca Sradha tersebut terdiri dari :<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 44pt; text-align: justify; text-indent: -28pt;"><span style="" lang="SV">1. Percaya dengan adanya Tuhan/Brahman (Widhi Sraddha).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 44pt; text-align: justify; text-indent: -28pt;"><span style="" lang="SV">2. Percaya dengan adanya atma (Atma Sraddha).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 44pt; text-align: justify; text-indent: -28pt;"><span style="" lang="SV">3. Percaya dengan adanya Hukum Karma Phala(Karmaphala Sraddha). <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 44pt; text-align: justify; text-indent: -28pt;"><span style="" lang="SV">4. Percaya dengan adanya Punarbhawa/Samsara(Punarbhawa Sraddha).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 44pt; text-align: justify; text-indent: -28pt;"><span style="" lang="SV">5. Percaya dengan adanya Moksa(Moksa Sraddha).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Usaha untuk menghayati dan mengamalkan ajaran agama Hindu kelima macam kepercayaan itu mutlak perlu kita yakini. Akan menjadi sempurna apabila penghayatan dan pengamalannya dilandasi dengan cubhakarma (ethika) dan yadnya (ketulusan berkorban).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Percaya dengan adanya Tuhan/brahman (Widhi Sraddha).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><span style=""> </span>Widhi Tatwa yang merupakan salah satu bagian dari panca saradha, yang menyatakan bahwa umat Hindu percaya dan yakin dengan adanya Tuhan, hal ini dapat di yakini dengan melalui cara-cara yang di sebut Tri Pramana yang berarti tiga cara atau jalan untuk memperoleh pengetahuan,atau cara bagaimana umat Hindu menjadi tahu tentang adanya sesuatu, dalah hal ini yaitu Brahman atau Tuhan.Ada pun bagian dari Tri Pramana adalah :<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <ol style="margin-top: 0cm;" start="1" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Kepercayaan Umat Hundu terhadap adanya Brahman didasarkan pada kenyataan, Dinana para maharesi secara nyata dan jelas dapat menerima dan mendengar wahyu Tuhan, orang suci atau maharesi langsung menerima wahyu Tuhan yang di sebut sebagai Pratyaksa Pramana.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Kepercayaan Umat Hundu terhadap adanya Brahman didasarkan pada logika atau gejala alam atau rahasia alam yang tidak dapat terpecahkan oleh manusia. Maka berdasarkan logika pasti ada penyebab atau sumber<span style=""> </span>dari gejala keanehan alam raya ini,prnyebab atau sumber tersebut tiada lain adalah Tuhan Yang Maha Esa. Hal inilah yang di sebut sebagai Anumana Pramana.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Kepercayaan Umat Hundu terhadap adanya Brahman didasarkan pada pemberitahuan orang lain yang di percaya atau berdasarkan ajaran agama atau Kitab Suci Veda. Dengan dasar ajaran Agama umat Hindu percaya dengan adanya Tuhan. hal ini yang disebut Agama Pramana.<o:p></o:p></span></li></ol> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV">Ada pun sifat-sifat Brahman antara lain :<o:p></o:p></span></p> <p style="margin-left: 20pt; text-align: justify; text-indent: -20pt;"><strong><span style="font-weight: normal;" lang="SV">1. Sat: sebagai Maha Ada satu-satunya, tidak ada keberadaan yang lain di luar beliau</span></strong><b style=""><span style="" lang="SV"><o:p></o:p></span></b></p> <p style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Dengan kekuatanNya Brahman telah menciptakan bermacam-macam bentuk, warna, serta sifat banyak di alam semesta ini. Planet, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan serta benda yang disebut benda mati berasal dari Tuhan dan kembali pada Tuhan bila saatnya pralaya tiba. Tidak ada satupun benda-benda alam semesta ini yang tidak bisa bersatu kembali dengan Tuhan, karena tidak ada barang atau zat lain di alam semesta ini selain Tuhan.<o:p></o:p></span></p> <p style="text-align: justify;"><strong><span style="font-weight: normal;" lang="SV">2. Cit: sebagai Maha Tahu</span></strong><b style=""><span style="" lang="SV"><o:p></o:p></span></b></p> <p style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Beliaulah sumber ilmu pengetahuan, bukan pengetahuan agama, tetapi sumber segala pengetahuan. Dengan pengetahuan maka dunia ini menjadi berkembang dan berevolusi, dari bentuk yang sederhana bergerak menuju bentuk yang sempurna. </span>Dari avidya (absence of knowledge- kekurangtahuan) menuju vidya atau maha tahu.</p> <p style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">3. <strong><span style="font-weight: normal;">Ananda</span></strong><b style=""><o:p></o:p></b></span></p> <p style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Ananda adalah kebahagiaan abadi yang bebas dari penderitaan dan suka duka. Maya yang diciptakan Brahman menimbulkan illusi, namun tidak berpengaruh sedikitpun terhadap kebahagiaan Brahman. Pada hakikatnya semua kegembiraan, kesukaran, dan kesenangan yang ada, yang ditimbulkan oleh materi bersumber pula pada Ananda ini bersumber pula pada Ananda ini, bedanya hanya dalam tingkatan. Kebahagiaan yang paling rendah ialah berwujud kenikmatan instingtif yang dimiliki oleh binatang pada waktu menyantap makanan dan kegiatan sex. Tingkatan yang lebih tinggi ialah kesenangan yang bersifat sementara yang kemudian disusul duka. Tingkatan yang tertinggi adalah suka tan pawali duhka, kebahagian abadi, bebas dari daya tarik atau kemelekatan terhadap benda-benda duniawi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Dalam Kitab Suci Agama Hindu mengajarkan bahwa Tuhan itu hanya ada satu Beliau maha besar maha tahu dan ada dimana-mana yang menjadi sumber dari segala yang ada di alam raya ini.Tetapi<span style=""> </span>dalam manisfestasinya atau perwujudannya sebagai Tri Murti, Tuhan yang hanya stu di percaya mempunyai Tiga wujud kekuatan. Tri yang berarti Tiga dan Mukti yang berarti perwujudan, Tiga kekuatan atau kebesaran itu yang di maksu adalah :<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 42pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">1.<span style=""> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Tuhan sebagai maha Pencipta,dalam wujudnya sebagai pencipta Tuhan di beri nama Dewa Brahma,dikatakan sebagai maha pencipta karena Tuhanlah yang menciptakan alam semesta beserta isinya, Dewa Brahma di simbolkan dengan aksara suci A (Ang)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 42pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">2.<span style=""> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Tuhan sebagai maha pemelihara, Tuhan sebagai pemelihara yang melindungi segala ciptaanNya dalam manisestasinya sebagai pemelihara Umat Hindu menyebut Tuhan sebagai Dewa Wisnu, dan disimbolkan dengan aksara suci U (ung)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 42pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">3.<span style=""> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Tuhan sebagai maha pemrelina, pemreline berasal dari kata pralina yang berarti kembali pada asalnya, pemrelina berarti mengembalikan kepada asalny<span style=""> </span>yang disebut juga sebagai pelebur, Tuhan sebagai pelebur umat Hindu menyebut Tuhan sebagai Dewa Siwa,dan disimbolkan dengan aksara suci M (Mang)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Pengertian Dewa dalam Agama Hindu adalah Kata <strong>Dewa</strong> muncul dari kata <i>Deva</i> atau <i>Daiwa</i> dalam bahasa sansekerta yang berasal dari kata Div yang berarti Sinar, jadi Dewa adalah merupakan perwujudan sinar suci Tuhan Yang Maha Esa.<o:p></o:p></span></p> <p style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Disamping Tri Murti dalam agama hindu juga ada dewa dan dewi yang di percaya sebagai manispestasi dari Tuhan, seperti di bawah ini :<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 35.7pt; text-indent: 0.3pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Symbol;font-size:10;" ><span style="">·<span style=""> </span></span></span><!--[endif]-->Agni (Dewa api)</p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 35.7pt; text-indent: 0.3pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Symbol;font-size:10;" lang="SV" ><span style="">·<span style=""> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Aswin (Dewa pengobatan, putera Dewa Surya)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 35.7pt; text-indent: 0.3pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Symbol;font-size:10;" ><span style="">·<span style=""> </span></span></span><!--[endif]-->Candhra (Dewa bulan)</p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 35.7pt; text-indent: 0.3pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Symbol;font-size:10;" lang="SV" ><span style="">·<span style=""> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Durgha (Dewi pelebur, istri Dewa Siva)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 56pt; text-indent: -20pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Symbol;font-size:10;" lang="SV" ><span style="">·<span style=""> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Ganesha (Dewa pengetahuan, Dewa kebijaksanaan, putera<span style=""> </span>Dewa Siva)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 35.7pt; text-indent: 0.3pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Symbol;font-size:10;" lang="SV" ><span style="">·<span style=""> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Indra (Dewa hujan, Dewa perang, raja surga)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 35.7pt; text-indent: 0.3pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Symbol;font-size:10;" ><span style="">·<span style=""> </span></span></span><!--[endif]-->Kuwera (Dewa kekayaan)</p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 52pt; text-indent: -16pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Symbol;font-size:10;" lang="SV" ><span style="">·<span style=""> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Laksm i(Dewi kemakmuran, Dewi kesuburan, istri Dewa Visnu)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 35.7pt; text-indent: 0.3pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Symbol;font-size:10;" lang="SV" ><span style="">·<span style=""> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Saraswati (Dewi pengetahuan, istri Dewa Brahma)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 35.7pt; text-indent: 0.3pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Symbol;font-size:10;" ><span style="">·<span style=""> </span></span></span><!--[endif]-->Sri (Dewi pangan)</p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 35.7pt; text-indent: 0.3pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Symbol;font-size:10;" ><span style="">·<span style=""> </span></span></span><!--[endif]-->Surya (Dewa matahari)</p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 35.7pt; text-indent: 0.3pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Symbol;font-size:10;" ><span style="">·<span style=""> </span></span></span><!--[endif]-->Waruna (Dewa air, Dewa laut dan samudra)</p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 35.7pt; text-indent: 0.3pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Symbol;font-size:10;" ><span style="">·<span style=""> </span></span></span><!--[endif]-->Bayu (Dewa angin)</p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 56pt; text-indent: -20pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Symbol;font-size:10;" lang="SV" ><span style="">·<span style=""> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Yama (Dewa maut, Dewa akhirat, hakim yang mengadili roh orang mati)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Percaya dengan adanya atma (Atma Sraddha).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Dalam Agama Hindu, Atma dipandang sebagai kesadaran sejati yang merupakan hidupnya badan jasmani, dalam Upanisd dinyatakan Atman itu hakikatnya sama dengan Brahman yang dinyatakan bahwa Brahman Atman Aikyam yang artinya Brahman dan Atman itu satu adanya, Brahman adalah asas alam semesta sedangkan Atman adalah asas hidup manusia.<o:p></o:p></span></p> <p style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Dalam Bagavad Gita di jabarkan mengenai sifat – sifat atman diantaranya adalah :<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 35.7pt; text-indent: -17.85pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Symbol;font-size:10;" ><span style="">·<span style=""> </span></span></span><!--[endif]-->Achedya : tak terlukai oleh senjata</p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 35.7pt; text-indent: -17.85pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Symbol;font-size:10;" ><span style="">·<span style=""> </span></span></span><!--[endif]-->Adahya : tak terbakar oleh api</p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 35.7pt; text-indent: -17.85pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Symbol;font-size:10;" ><span style="">·<span style=""> </span></span></span><!--[endif]-->Akledya :tak terkeringkan oleh angin</p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 35.7pt; text-indent: -17.85pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Symbol;font-size:10;" ><span style="">·<span style=""> </span></span></span><!--[endif]-->Acesyah : tak terbasahkan oleh air</p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 35.7pt; text-indent: -17.85pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Symbol;font-size:10;" ><span style="">·<span style=""> </span></span></span><!--[endif]-->Nitya : abadi</p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 35.7pt; text-indent: -17.85pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Symbol;font-size:10;" ><span style="">·<span style=""> </span></span></span><!--[endif]-->Sarwagatah : di mana- mana ada</p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 35.7pt; text-indent: -17.85pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Symbol;font-size:10;" ><span style="">·<span style=""> </span></span></span><!--[endif]-->Sthanu : tak berpindah- pindah</p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 35.7pt; text-indent: -17.85pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Symbol;font-size:10;" ><span style="">·<span style=""> </span></span></span><!--[endif]-->Acala : tak bergerak</p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 35.7pt; text-indent: -17.85pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Symbol;font-size:10;" ><span style="">·<span style=""> </span></span></span><!--[endif]-->Sanatana : selalu sama</p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 35.7pt; text-indent: -17.85pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Symbol;font-size:10;" ><span style="">·<span style=""> </span></span></span><!--[endif]-->Awyakta : tak dilahirkan</p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 35.7pt; text-indent: -17.85pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Symbol;font-size:10;" ><span style="">·<span style=""> </span></span></span><!--[endif]-->Acintya : tak terpikirkan</p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 35.7pt; text-indent: -17.85pt;"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Symbol;font-size:10;" lang="SV" ><span style="">·<span style=""> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Awikara : tak berubah dan sempurna tidak laki- laki ataupun perempuan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Percaya dengan adanya Hukum Karma Phala(Karma Phala Sraddha).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Karmaphala terdiri dari dua kata yaitu karma dan phala, berasal dari bahasa Sanskerta. "Karma" artinya perbuatan dan "Phala" artinya buah, hasil, atau pahala. Jadi Karmaphala artinya hasil dari perbuatan seseorang. Kita percaya bahwa perbuatan yang baik (<i>subha karma</i>) membawa hasil yang baik dan perbuatan yang buruk (<i>asubha karma</i>) membawa hasil yang buruk. Jadi seseorang yang berbuat baik pasti baik pula yang akan diterimanya, demikian pula sebaliknya yang berbuat buruk, buruk pula yang akan diterimanya. Karmaphala memberi keyakinan kepada kita untuk mengarahkan segala tingkah laku kita agar selalu berdasarkan etika dan cara yang baik guna mencapai cita- cita yang luhur dan selalu menghindari jalan dan tujuan yang buruk.Phala dari karma itu ada tiga macam yaitu:<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="ListParagraph" style="margin-left: 22pt; text-indent: -18pt; line-height: normal;"><!--[if !supportLists]--><span style=""><span style="">1.<span style=""> </span></span></span><!--[endif]--><span style="">Sancita Karmaphala </span><span style=""><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 21pt;"><span style="" lang="SV">Phala dari perbuatan dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang menentukan kehidupan kita sekarang.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraph" style="margin-left: 22pt; text-indent: -18pt; line-height: normal;"><!--[if !supportLists]--><span style=""><span style="">2.<span style=""> </span></span></span><!--[endif]--><span style="">Prarabda Karmaphala</span><span style=""><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 3pt; text-indent: 18pt;"><span style="" lang="SV">Phala dari perbuatan kita pada kehidupan ini tanpa ada sisanya lagi.<o:p></o:p></span></p> <p class="ListParagraph" style="margin-left: 22pt; text-indent: -18pt; line-height: normal;"><!--[if !supportLists]--><span style=""><span style="">3.<span style=""> </span></span></span><!--[endif]--><span style="">Kriyamana Karmaphala<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 21pt;"><span style="" lang="SV">Phala perbuatan yang tidak dapat dinikmati pada saat berbuat sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan datang.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Dengan pengertian tiga macam Karmaphala itu maka jelaslah, cepat atau lambat, dalam kehidupan sekarang atau nanti, segala pahala dari perbuatan itu pasti diterima karena sudah merupakan hukum. Karmaphala mengantarkan roh (atma) masuk Surga atau masuk neraka. Bila dalam hidupnya selalu berkarma baik maka pahala yang didapat adalah Surga, sebaliknya bila hidupnya itu selalu berkarma buruk maka hukuman nerakalah yang diterimanya. Dalam pustaka- pustaka dan ceritera- ceritera keagamaan dijelaskan bahwa Surga artinya alam atas, alam suksma, alam kebahagiaan, alam yang serba indah dan serba mengenakkan. Neraka adalah alam hukuman, tempat roh atau atma mendapat siksaan sebagai hasil dan perbuatan buruk selama masa hidupnya. Selesai menikmati Surga atau neraka, roh atau atma akan mendapatkan kesempatan mengalami penjelmaan kembali sebagai karya penebusan dalam usaha menuju Moksa.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Percaya dengan adanya Punarbhawa/Samsara(Punarbhawa Sraddha).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Kata punarbhawa terdiri dari dua kata Sanskerta yaitu "<i>puna</i>r" (lagi) dan "<i>bhawa</i>" (menjelma). Jadi Punarbhawa ialah keyakinan terhadap kelahiran yang berulang- ulang yang disebut juga penitisan atau <i>samsara</i>. Dalam Pustaka suci Weda tersebut dinyatakan bahwa penjelmaan jiwatman berulang- ulang di dunia ini atau di dunia yang lebih tinggi disebut samsara. Kelahirannya yang berulang- ulang ini membawa akibat suka dan duka.Punarbhawa atau samsara terjadi oleh karena jiwatman masih dipengaruhi oleh <i>Wisaya</i> dan <i>Awidya</i> sehingga kematiannya akan diikuti oleh kelahiran kembali.Segala perbuatan ini menyebabkan adanya bekas (wasana) pada jiwatma. Bekas- bekas perbuatan (karma wasana) itu ada bermacam- macam, jika yang melekat bekas- bekas keduniawian maka jiwatman akan lebih cenderung dan gampang ditarik oleh hal- hal keduniawian sehingga jiwatman itu lahir kembali.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Hubungan Karmaphala dengan Punarbhawa<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Hukum karmaphala dan punarbhawa atau reinkarnasi mempunyai hubungan yang amat erat dan timbal balik, karmaphala merupakan hukum hasil perbuatan, bik buruknya perbuatan akan menentukan kuwalitas kelahiran manusia, demikian pula punarbhawa atau reinkarnasi akan berdampak bagi perbuatan seseorang. Dalam hal ini seseorang yang selalu berbuat baik dalam hidupnya dan bila dia meningal nanti maka rohnya akan mendapat tempat yang baik di akhirat atau di sorga. Dan bila dia lahir kembali atau berreinkarnasi lagi maka akan menjai hidup serba kecukupan dilingkungan orang baik-baik, tapi bila dalam kehidupan sekarang dia bertindak tidak baik maka setelah meninggal nanti rohnya akan masuk neraka, demikianlah subha dan asubhakarma yang menentukan hasil perbuatan atau karmaphala itu sangat mempengaruhi kehidupan jika kita mengalami punarbhawa dikelak kemudian hari.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Percaya dengan adanya Moksa(Moksa Sraddha)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Moksa merupakan bahasa sansekerta yang berarti pembebasan,kelepasan,atau kelepasan dari keterikatan benda-benda duniawi hingga mencapai bersatunya Atman dengan Brahman<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Moksa adalah tujuan terakhir bagi umat Hindu. Dengan menghayati dan mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari- hari secara baik dan benar, misalnya dengan menjalankan sembahyang batin dengan menetapkan cipta (<i>Dharana</i>), memusatkan cipta (<i>Dhyana</i>) dan mengheningkan cipta (<i>Semadhi</i>), manusia berangsur- angsur akan dapat mencapai tujuan hidupnya yang tertinggi ialah bebas dari segala ikatan keduniawian, untuk mencapai bersatunya Atman dengan Brahman.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Kebebasan yang sulit dicapai banyak makhluk akan lahir dan mati. serta hidup kembali tanpa kemauannya sendiri. Akan tetapi masih ada satu yang tak tampak dan kekal, tiada binasa dikala semua makhluk binasa. Nah, yang tak tampak dan kekal itulah harus menjadi tujuan utama supaya tidak lagi mengalami penjelmaan ke dunia, tetapi mencapai tempat Brahman yang tertinggi.<br />Jika kita selalu ingat kepada Brahman, berbuat demi Brahman maka tak usah disangsikan lagi kita akan kembali kepada Brahman. Untuk mencapai ini orang harus selalu berusaha, berbuat baik sesuai dengan ajaran agamanya. Kitab suci telah menunjukkan bagaimana caranya orang melaksanakan pelepasan dirinya dari ikatan maya agar akhirnya Atman dapat bersatu dengan Brahman (<i>suka tan pawali duka</i>), sehingga penderitaan dapat dikikis habis dan tidak lagi menjelma ke dunia ini sebagai hukuman, tetapi sebagai penolong sesama manusia, sebagai Awatara.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Tingkatan moksa sesuai dengan kondisi atman dalam hubungannya dengan Tuhan <o:p></o:p></span></p> <ol style="margin-top: 0cm;" start="1" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Sampya yaitu moksa yang di capai semasa masih hidup di dunia, yang dapat di capai oleh para maharesi pada waktu melaksanakan yoga samadhi, sehingga dapat menerima wahyu dari Tuhan.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Sarupya yaitu moksa yang di capai semasa masih hidup dimana kedudukan Atman mengatasi unsur-unsur maya, misalnya Budha, Kresna, Rama, dan Awatara-awatar yang lainnya.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Salokya yaitu moksa yang dicapai oleh Atman setelah berada dalam posisi kesadaran yang sama dengan Tuhan, tetapi belum bisa bersatu dengan Nya, dalam hal ini Atman telah mencapai tingkatan Dewa.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Sayujya yaitu pada tahapan ini dimana Atman telah bersatu dengan Brahman, seperti apa yang disebut Brahman Atman Aikyam atau Atman dengan Brahman satu atau talah bersatu.<o:p></o:p></span></li></ol> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" lang="SV" >(diringkas oleh i made mudita)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" lang="SV" ><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 60pt; text-align: justify; text-indent: -60pt;"><span style=";font-family:Arial;font-size:10;" lang="SV" >Sumber : Drs.K.M.Suhardana,2009,Panca Saradha Lima Keyakinan Umat Hindu,</span><span style="" lang="SV"> Paramita,Surabaya.<o:p></o:p></span></p>muditahttp://www.blogger.com/profile/05091005719901532104noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-8872898609804187426.post-47238366787297642602009-06-03T03:42:00.000-07:002009-06-03T03:44:37.226-07:00Dana Punia Dalam Etika Ciptakan Keseimbangan<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="font-size: 24pt; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">D</span></b><span style="" lang="SV">ana punia terdiri dari dua unsure kata yaitu “dana”, dan “punia”. Dimana<span style=""> </span>Dana berarti suatu pemberian atau sumbangan, sedangkan punia berarti suci, selamat ,baik, bahagia, dan indah. Jadi dana punia <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dapat diartikan sebagai suatu pemberian atau sumbangan yang didasari oleh hati yang suci atau pemberian secara tulus iklas tanpa mengharapkan imbalan atau tanpa pamerih.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dana punia merupakan suatu usaha untuk menjaga keseimbangan kehidupan karena pada hakikatnya dana punia merupakan penyaluran sesuatu baik itu berupa harta benda maupun yang lainnya, dari yang kelebihan menuju yang kekurangan.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Dalam Agama Hindu dana punia landasan filosofisnya adalah <i style="">tat twam asi</i> karena manusia merupakan mahluk sosial yang selalu memnutuhkan orang lain, dalam pengertiannya jika ada seseorang yang miskin dan menderita adalah juga merupakan penderitaan bagi orang yang tak menderita, maka sangt dibutuhkan suatu keseimbangan, karena suatu yang seimbang akan bertahan lama dan kelihatan lebih indah. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Dalam praktiknya di masyarakat Hindu, kegiatan dana punia biasa berlangsung pada saat atau dikaitkan dengan diselenggarakannya suatu upacara atau persembahan yajna dengan mengaturkan sesari cangang, sarin banten atau yang lainnya, demikian pula halnya pada saat digelar upacara <i style="">bale pedanan</i> yang isinya berbagai macam benda yang nantinya boleh diambil oleh siapa saja yang hadir pada saat upacara yajna tersebut.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Dana punia dalam arti luas bukan saja berupa harta banda namun labih dari itu sesuatu yang bisa didermakan jug bisa berupa bukan bend seperti au halnya ilmu pengetahuan dan bisa berupa tenaga. Ditinjau dari sudut sepritualnya pemberian dalam bentuk ilmu pengetahuan dianggap paling utama sebab dengan ilmu pengtahuan akan membimbing / menuntun jiwa manusia menuju pencerahan, dengan pencerahan akan mendapat kebenaran, dengan kebenaran ia akan mencapai suatu yang abadi atau menyatu dengn Hyang Maha Pancipta.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Jadi dengan demikian semua persembahan, pemberian, sedekah, ataupun aturan yang dilakukan oleh seseorang harusnya didasari rasa bhakti terhadap Hyang Widhi Wasa dan rasa saling mengasihi diantara sesama manusia yang dilandasi ketulusan hati tanpa pamerih guna mewujudkan keseimbangan hudup di dunia.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Berikut di jelaskan macam-macam dana punia alam sastra agama yang ditinjau dari macam-mam harta benda yang di berikan, maksud atau sifat, jenis pemberian,dan lain-lainnya :<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Secara umum, Swami Wiwekanandamenggolongkan dana punia menjadi tiga yaitu :<o:p></o:p></span></p> <ol style="margin-top: 0cm;" start="1" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Arthadana yaitu dana punia berupa harta benda yang dibutuhkan.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Widyadana yaitu dana punia berupa ilmu pengetahuan.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Dharmadana yaitu dana punia berupa pemberian ajaran dharma Agama dan budhi pekerti yang luhur kepada orang lain.<o:p></o:p></span></li></ol> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Menurut kitab SangHyang Kahamayanikan dijelaskan dana punia sebagai berikut :<o:p></o:p></span></p> <ol style="margin-top: 0cm;" start="1" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Dana yaitu pemberian berupa harta benda kepada orang yang membutuhkan.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Atidana yaitu pemberian anak gadis cantik.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Mahatidana yaitu dana punia berupa pemberian dalam bentuk jiwa raga.<o:p></o:p></span></li></ol> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Dalam bagavadgita diebutkan ada tiga macam dana punia yaitu :<o:p></o:p></span></p> <ol style="margin-top: 0cm;" start="1" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Satwikadana yaitudana punia yang dikatakan putih atau baik.yakni pemberian yang dilakukan tanpa pamerih dan didasari oleh niat yang suci dan tulus kepada orang yang patut menerimanya, tempat yang sesuai, dan waktu yang tepat pula.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Rajasikadana yaitu dana punia yang dikatakan nafsu atau merah.yaitu dana punia yang dilakukan dengan harapan untuk mendapatkan imbalan jasa atau keuntungan di kemudian hari, dengan kata lain dana punia yang dilakukan secara tidak ikhlas.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Tamasikadana yaitu dana punia yang didasari tindak kebodohan atau dana punia hitam. Yaitu dana punia yang dilakukan pada situasi yang salah,tempat ynag salah, dan diberikan kepada yang tak patut,sertatidak mengikuti etika-etika dalam ber dana punia.<o:p></o:p></span></li></ol> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Berdasarkan etika pemberian, kitab Sarasamuscaya membagi dana punia menjadi :<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 40pt; text-align: justify; text-indent: -20pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">1.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Uttamadana yaitu dana punia yang dilakukan secara hormat dan menghargai penerima,dan dilakukan dengan ikhlas dan hati yang suci, sesuai kehendak hatinya tanpa diminta sebelumnya<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 40pt; text-align: justify; text-indent: -20pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">2.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Madhyadana yaitu dana punia yang dilakukan secara baik namun karena atas permintaan dan bukan keluar dari niat atau kehendak dari pemberi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 40pt; text-align: justify; text-indent: -20pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">3.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Nistadana yaitu dana punia yang di berikan dalam kedan marah atau terpaksa tidak menghargai orang lain dan tidak dilakukan secara tulus.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Berdasarkan waktu pemberian, dalam sarasamuscaya, dana punia dikelompokkan menjadi :<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 40pt; text-align: justify; text-indent: -20pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">1.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Uttarayana dana yaitu dana punia yang diberikan pada saat matahari berada di belahan bumi utara.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 40pt; text-align: justify; text-indent: -20pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">2.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Daksinayana dana yaitu dana punia yang diberikan pada saat matahari berada pada belahan bumi selatan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 40pt; text-align: justify; text-indent: -20pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">3.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Sadacitimukha dana yaitu dana punia yang diberikan pada saat terjadinya gerhana matahari atau gerhana bulan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 40pt; text-align: justify; text-indent: -20pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">4.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Wisukala dana yaitu dana punia yang diberikan pada saat matahari berada tepat di tengah-tengah bumi atau berada di posisi garis katulistiwa.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Berdasarkan jenis pemberian dana punia, dalam sarasamuscaya dana punia dapat di bedakan menjadi :<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 40pt; text-align: justify; text-indent: -12pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">1.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Dana punia desa yaitu pemberian berupa tempat, desa atau lahan yang digunakan untuk kepentingan umum.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 40pt; text-align: justify; text-indent: -12pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">2.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Dana puni Agama yaitu dana punia yang berupa ajaran Agama, ilmu pengetahuan dan yang lainnya yang menyababkan orang lain menjadi lebih pintar dan memiliki budhi pekerti yang luhur.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 40pt; text-align: justify; text-indent: -12pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">3.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Dana punia drewya yaitu dana punia yang berupa harta benda yang menjadi kebutuhan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Berdasarkan jenis harta yang di berikan, dalam kitab purana dapat dibedakan menjadi :<o:p></o:p></span></p> <ol style="margin-top: 0cm;" start="1" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Godana: dana punia yang berupa seekor sapi dan anaknya kepada brahmana.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Vrasabha dana: dana punia berupa seekor sapi jantan.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Mahisi dana: dana punia berupa seekor sapi betina yang menghasilkan susu.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Bumi dana: dana punia<span style=""> </span>berupa tanah.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Halapamkti dana: dana punia berupa cangkul yang dihiasi emas dan empat puluh ekor sapi.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Apaka dana: dana punia berupa seribu jenis peralatan.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Anna dana: dana punia berupa makanan.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Graha dana: dana punia berupa sebuah ruangan yang telah dihias.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Sthali dana: dana punia berupa piringan perak yang berisi penuh makanan dan benda lainnya.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Sayya dana: dana punia berupa tempat tidur yang diberikan kepada seorang brahmana.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Prapa dana: dana punia berupa pembuatan tempat air untuk umum.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Anisikala dana: dana punia berupa api yang di gunakan untuk menghangatkan badan pada waktu musim dingin.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Dasi dana: dana punia berupa seorang pelayan kepada seorang brahmana.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Widya dana: dana punia berupa ilmu pengetahuan dan alat-alat penunjangn ilmu pengetahuan.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Hiranyagarbha dana: dana punia berupa makanan kepada orang kelaparan dan sebuah patung Dewa kepada brahmana.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Brahmanda dana: dana punia berupa telur buatan yang didalamnya<span style=""> </span>berisi patung Brahma,Wisnu,Siwa dan diberikan kepada brahmana.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Kalpavraska dana: dana punia berupa pohon kecil beserta buahnya yang terbuat dari emas yang diberikan kepada brahmana.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Saptasagara dana: dana punia berupa garam,susu,gula dal liannya diberikan kepada brahmana.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Dhanyaparwata dana: dana punia berupa setumpukan bahan makanan,minyak,emas,dan lainnya yang diberikan pada brahmana.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Tulapurusa dana: dana puia berupa bahan makanan dan emas yang beratnya sama dengan berat pemberi, kemudian diberikan pada brahmana dan orang yang memerlukan.<o:p></o:p></span></li></ol> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Dalam Panca Maha Yajna dana punia dapat dibedakan menjadi lima yang diidentikkan dengan yajna atau persembahan suci yaitu:<o:p></o:p></span></p> <ol style="margin-top: 0cm;" start="1" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Drewya dana aturan punia yang berupa harta benda.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Tapa yajna yaitu pemberian atau amal dalam bentuk pengendalian diri<span style=""> </span>atau tri kaya parisudha dalam suatu persembahyangan yajan.<o:p></o:p></span></li></ol> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 48pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">3.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Yoga yajan persembahan berupa kemampuan mengkosentrasikan dan memusatkan pikiran kehadapan Hyang Widhi Wasa dan melaksanakan samadhi.<o:p></o:p></span></p> <ol style="margin-top: 0cm;" start="4" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Jnana yajna pemberian berupa pengetahuan baik pengetahuan teknologi maupun pengetahuan Agama.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Swadya yajna yaitu persembahan jiwa dan raga, dalam hal ini persembahan tenaga dan pikiran dalam suatu upacara yajna, dalam masyarakat Bali sering disebut dengan ” Ngayah Aji Tuyuh ” artinya mempersembahkan tenaga dalam upacara yajna.<o:p></o:p></span></li></ol> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Secara lebih umum dana punia dapat digolongkan menjadi :<o:p></o:p></span></p> <ol style="margin-top: 0cm;" start="1" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Artha dana pemberian berupa harta benda baik berupa makanan,minuman,pakaian,rumah,tanah,dan lain-lain.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Abhaya dana pemberian berupa perlindungan,rasa aman dan ketertiban kepada orang lain atau masyarakat.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Brahma dana pemberian berupa ilmu pengetahuan, baik itu berupa ilmu pengetahuan teknologi, maupun ilmupengetahuan Agama.<o:p></o:p></span></li></ol> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;" lang="SV"><span style=""> </span>(diringkas oleh i made mudita)<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 48pt; text-align: justify; text-indent: -48pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;" lang="SV">Sumber : ( I Nyoman Kaduk Supatra,2005, Dana Punia Jalan Menuju Tuhan,Pustaka Bali Post,Denpasar )</span><span style="font-family: Arial;" lang="SV"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 48pt; text-align: justify; text-indent: -48pt;"><span style="" lang="SV"><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p>muditahttp://www.blogger.com/profile/05091005719901532104noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8872898609804187426.post-43803135288696190452009-06-03T03:28:00.000-07:002009-06-03T03:41:00.141-07:00Caru Palemahan Dan Sasih Dalam Agama Hindu Di Bali<span style="font-weight: bold;"></span><b style=""><span style="font-size: 28pt; font-family: "Times New Roman";" lang="SV"></span></b><b style=""><span style="font-size: 20pt; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">C</span></b>aru merupakan upacara yang di selenggarakan oleh umat Hindu di Bali<span style=""> </span>pada setiap palemahan desa adat, banjar, dan juga pekarangan perumahan umat Hindu.demikian<span style=""> </span>juga pada setiap musim(masa) yang juga disebut ”sasih” yaitu <o:p></o:p><br /><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">pada hari kajeng kaliwonny pada bulan mati, pada setiap pintu pekarangan umat</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"> </p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Secara umum caru sendiri dapat diartikan sebagai bagus, cantik, harmonis, mecaru dimaksudkan adalah untuk mempercantik, mempebagus dan mengharmoniskan. Yang dimaksud mengharmoniskan disini adalah tergantung dari objeknya, kalau caru itu caru palemahan maka yang di harmoniskan adalah palemahan, dan kalau carunya caru sasih maka yang di harminiskan adalah waktu dan musim atau masa. Sedangkan secara khusus caru dapat dikaitkan dengan sarana upakaranya, caru sebagai sarana berarti ”sega” atau nasi dalam segala bentuknya, ada yang berbentuk cacah, kepelan, dan berbentuk tumpeng kecil-kecil atau ”dananan” yang dilengkapi dengan lauk pauk, umumnya dari bumbu seperti bawang, jahe, garam dan lainnya.juga daging ”jejeron” <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Kaitan caru dengan bhuta yadnya adalah bhuta yadnya berasal dari dua kata yaitu bhuta yang berasal dari kata bhu yang berarti ada, atau yang telah diciptakan yaitu alam semesta beserta dengan isinya baik itu yang berwujud nyata maupun yang berwujud tidak nyata (astral). Sedangkan yadnya berasal dari<span style=""> </span>urat kata yad yang berarti berkorban jadi bhuta yadnya berarti korban kepada para bhuata, umumnya korban itu berupa ”bebali” yaitu upakara yang berupa nasi / sega serta minuman yang mengandung alkohol. Bebali ini biasa disebut caru. Jadi dengan diberikan carupara bhuta menjadi puas dengan demikian maka terwujudlah keharmonisan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Jenis caru menurut objeknya dapat di bedakan menjadi tiga yaitu <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 34pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">1.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Caru untuk mengharmoniskan bhumi atau alam sekitar dengan lingkungannya yang disebut ”bhumi suddha”.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 34pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">2.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Caru untuk menyeimbangkan ruangan dan waktu yang disebut caru sasih.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify; text-indent: -20pt;"><span style="" lang="SV">3.<span style=""> </span>Caru untuk mengharmoniskan prilaku manusia atas pengaruh kelahiran yang disebut caru oton<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Korban yang paling terkecil yang di persembahkan biasanya berupa nasi yang berisi bawang, jahe, terasi, arang, daging ”jejeroan” yang disebut ”segehan” yang menggunakan api takep dan menggunakan tetabuhan berupa air, tuak dan arak. Sesuai dengan jenis dan bentuk nasinya maka segehan terdiri dari : segehan cacahan, segehan kepelan, segehan mancewarna, dan segehan agung. Sedangkan korban yang bentuknya lebih sedang disebut yaitu gelar sanga yang biasanya mengikuti sorohan bebangkit.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><u><span style="" lang="SV">Caru palemahan</span></u></b><span style="" lang="SV"> adalah upacara untuk mengharmoniskan ”areal peratalan” atau ”Wilayah”, yang dimaksud aeal atau wilayah adalah wilayah hunian manusia,binatang,tumbuh-tumbuhan, bahkan sampai areal yang disthanai para Dewa-Dewi yang dikenal parhyangan. Caru palemahan tersebut dilaksanakan baik secara rutin maupun insientil. Secara rutin maksudnya dilakukan<span style=""> </span>menurut jangka waktu tertentu yang tetap dilaksanakan pada kurun waktu tertentu, sedangkan secara insidentil<span style=""> </span>maksudnya mengembalikan<span style=""> </span>keseimbangan magic akibat adanya sesuatu yang tidak wajar. Misalnya ada orang yang melakukan ”salah tmpah” seperti mengadakan hubungan sek dengan binatang,saudara kandung,anak kandung atau dengan ibu, aau jga telah terjadi perkelahian di pura sampai keluar darah, serta kemalingan di daerah pura.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Bentuk caru palemahan kepada para bhuta yang tergolong sedang disebuta caru, pada tingkatan ini tergolong aneka jenis caru seperti :<o:p></o:p></span></p> <ol style="margin-top: 0cm;" start="1" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Caru eka sato biasanya untuk mengharmoniskn pekarangan yang terdiri atas :<o:p></o:p></span></li></ol> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 72pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">Ø<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Caru karang panas, karang panas adalah karang yang slalu menimbulkan penyakit, serta penghuni juga sering merasa bingung dan selalu berkelahi maka perlu di carui dengan cara pamanggihan sarana upacaranya : mendirikan sanggah tutuwan di halaman rumah ,pada snggah itu si haturkan ”banjotan akelan”,canang lengewangi burat wangi, dan canang gantal. Di bawah sanggah tutuwan caru dengan pitik bulu sikep, sate lembat,asem, calon dijadikan 33 tanding,lalu dilengkapi daksina,tumpeng dananan 33,ditambh penyeneng,lis,nasi owan,dan tepung tawar. Mohon tirta dipura puseh dan pura desa dengan banten sode,perasdaksina. Dihalaman tempat caru eka sato ,berupa olahan ayam putih denganbayang-bayangnya yang dialasi songkwi,menjadi 5 tanding serta datengan,daksina,penyeneng dan canang. Di hulu datengan tadi dan banjotan akelan setelah pryascita. Setelah selesai caru di tanam di perempatan jalan. Mendirikan sebuah sanggah cucuk dengan perlengkapannya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 72pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">Ø<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Caru karang panas kageringan, keadaan ini mengakibatkan sakit tak berhenti sehingga menimbulkan kematian,dan hewannya juga selalu kena grubug sehingga perlu dicarui dengan sarana : Tumpeng putih,daging ayam yang dipolakan sesuai dengan urip hari berupa sate calon yang dimask sebelah,dilengkapi dengan rumah gile, di jadikan 5 tanding. Suruh putih ijo,kelanan, peras, penyeneng, lis, uang kepeng 225. selembar lontar yang di tulis yang kemudian akan ditanam di halaman, serta mendirikan sanggah cucuk lengkap dengan sarananya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 72pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">Ø<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Caru pengeruak bhuvana yaitu caru yang dilakukan sebelum kita mendirikan sebuah banguna dengan sarana : seekor ayam brumbun di kuliti<span style=""> </span>dagingnya di olah menjadi urab merah dan putih<span style=""> </span>sate asem ditanding 33tanding.<span style=""> </span>Penek nasi pancawarna di buat sesuai urip mata angin. Kulit bayang-bayang dialasi songkwi 33 lembar ditaruh di tengah.serta snggah cucuk lengkap dengan sarananya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 72pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">Ø<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Caru ayam brumbun, caru ini biasanya menyertai piodalan di sanggah pamrajan yang tergolong menengah. Sarananya : sama seperti caru pengeruak tetapi caru ini menggunakan ayam brumbun dan diolah hanya menjadi satu unit yang banyaknya 8 tanding.serta 1 unit soroha bayuan,dilengkapi<span style=""> </span>dengant<span style=""> </span>tulud,sapu,dan kentongan dari bambu.disertai pula api takep.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 72pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-family: Wingdings;" lang="SV"><span style="">Ø<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Caru ayam biying,caru ini digunakan untuk ”nyeheb api” yang disebut ”Nyeheb Brahma” biasanya dilakukan setelah nagben, yang menggunakan ayam biying dengan urip 9 perlengkapan sama seperti caru eka sato.<o:p></o:p></span></p> <ol style="margin-top: 0cm;" start="2" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Caru manca warna yaitu caru yang menggunakan 5 ekor ayam dengan maing-masing warananya.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Caru panca sato yaitu caru yang menggunakan 5 ekor ayam <span style=""> </span>yang sesuai dengan penjuru mata angin serta ditambah <span style=""> </span>dengan ”meri belang kalung”.yang digunakan untuk membersihkan pekarangan rumah yang dilakukan 5 tahun sekali, serta merubu-rebu setelah adanya kecuntakan dan bila terjadi sesuatu yang tidak wajar.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Caru panca sanak, caru yang sama seperti yang tadi cuman ditambahkan dengan ”anjing belang bungkem”.yang bisa juga dipergunakan untuk menyertai ”upacara pangrsiganan”.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Caru panca sanak madurga yaitu caru yang sama dangan diatas tapi ditambahkan berupa kucit selem butuhan(babi plon).caru ini biasa digunakan pada saat ”penakluk mrana” yang di laksanakan di pamangkalan desa yang maksudnya adalah di perbatasan desa bagian selatan. Pada batas ini dibuat ”rangkaian bung poling” yang sejenis ranjau yang runcingnya menghadap ke bawah, dan sungga poling ini juga di buat di masing-masing ” angkul-angkul” atau pintu pekarngan. Dengan maksud agar mendapat keselamatan dan terhindar dari gangguan.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Ctaru manca sanak ditambah dengan mensthanakan Dewa Gana maka disebut caru ”ngeresigana” yang merupakan peralihan dari caru sedang ke caru yang besar.<o:p></o:p></span></li></ol> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Caru tergolong besar seperti Tawur dimana yang termasuk tawur adaah<o:p></o:p></span></p> <ol style="margin-top: 0cm;" start="1" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">”menceklud” yaitu caru yang dasarnya adalah manca sanak di tambah dengan angsa dan kambing dan membuat nasi tawur sebagai simbol untuk membersihkan bhumi kita ini.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">”malik sumpah” merupakan caru yang dasarnya juga panca sanak dengan ditambah disamping angasdan kambing juga seekor ”godel merah” caru ini juga menggunakan nasi tawur.<o:p></o:p></span></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Jika jenis caru diatas menggunakan sarana kerbau maka tawur itu disebut ”labuh gentuh” atau ”tawur agung”. Dan tingkatan yang lebih besar lagi yaitu tawur panca walikrama, tawur tribhuvana, eka bhuvana, eka dasa ludra dimana dalam tingkatan ini yang wjib muput adalah Tri Sadhaka yaitu Resi, Bujangga Vaisnava, Padanda.<o:p></o:p></span></li></ol> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><u><span style="" lang="SV">Caru sasih </span></u></b><span style="" lang="SV"><span style=""> </span>adalah caru yang dilakukan untuk mengharmoniskan alam berserta lingkungan berdasarkan sasih, dimana sasih artinya bulan atau masa. Dengan tujuan supaya sasih-sasih tersebut memberikan pengaruh yang baik bagi kehidupan manusia.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Jenis-jenis caru sasih antara lain :</p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 39pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="">1.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span><!--[endif]-->Caru sasih kasa (Srawana). Pada sasih kasa patut dilaksanakan pecaruan dengan sarana : pada masing-masing angkul-angkul di sebelah kiri patut mendirikan sanggah cucuk, pada snggah cucuk munggah “tumpeng tri warna”dengan warna bunga tri warna, lauknya jatah dan sate ayam putih kuning yang olahannya dijadikan 3 tanding,dibawah sanggah cucuk segehan 5 tanding, pada saat menghaturkan sebut “bhuta bregala”.</p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 39pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">2.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Caru sasih karo, sarana yang dipakai seperti : pada masing-masing angkul-angkul di sebelah kiri mendirikan sanggah cucuk. Kemudian ngunggahang canang genten 2 tanding,lanjaran 2 katih,dagingnya sate babi sate lembat 2,sate calon 2 katih,di gantungi sujang berisi tuak dan arak,mekober kasa,di bawah segehan cacah dengan api takep,sebutannya sang bhuta amangku rat.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 39pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">3.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Caru sasih ka tiga, menggunakan sarana seperti : mendirikan sanggah cucuk pada masing-masing angkul-angkul di sebelah kiri,beserta tipat mancawarna,raka-raka,canang 5 tanding,dagingnya palem udang dan gerih kepiting,dibawah segehan 5 tanding tetabuhan tuak,arak,dan api takep, persembahan memanggil sangkala prayogi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 39pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">4.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Caru sasih kapat, dengan sarana seperti : sanggah cucuk di kiri angkul-angkul,dengan tumpeng dinanan kuning,kawangen 2 buah,canang genten 5 tanding,lanjaran menyan 2 katih,dagingnya ayam putih diolah menjadi 5 tanding dilengkapi raka-raka,plawenya menggunakan daun bingin,sujang beri tuak dan arak,dibawah segehan 5 tanding bertabuh tuak raka,mempersembahkan panggil sang kala wigraha bhumi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 39pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">5.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Caru sasih ka lima,dengan sarana seperti : dengan sanggah cucuk di sebelah kiri angkul-angkul,dengan banten punjung 2,raka,canang 2,tuak 2 tekor,daging ulam wabi diolah menjadi urab merah dan putih, sate lembat dan asem,di bawah segehan 5 tanding,tabuhan tuak,arakdan toya,api takep,mempersembahkan panggil sang kala mangsa.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 39pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">6.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Caru sasih ka nem, denan sarana seperti : sanggah cucuk di sebelah kiri angkul-angkul,tmpeng ireng 1 dananan,raka pisang malablab,canang 2,dagingnya ayam hitam diolah menjadi urab bang putih,sate lembat dan calon,di bawah segehan 5 tanding dengan dagingnya jeroan babi mentah,darah 1 tekor,tetabuh tuak,arak,air dan api takep,mempersembahkan panggil sang kala smayapati.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 39pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">7.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Caru sasih ka pitu,dengan sarana seperti : sangah cucuk di sebelah kiri angkul-ngkul, dengan tumpeng bang dananan,raka-raka,canang apasang,dagingnya sate ayam wiring dan olahan urab bang putih,di bawah segehan 5 tanding,didepan sanggah kemulan mempersembahkan nasi punjuangan1,daging jatah babai akarang,mesate 5 katih,segehan 5 tanding,dagingnya lawar babi,tuak 1 tapan,tetabuh tuak,arak, dan air, mempersembahkan memanggil sang kala ngadang samaya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 39pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">8.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Caru sasih ka wulu, dengan sarana seperti : sanggah cucuk di sebelah kiri angkul-angkul,pada sanggah cucuk nguggahang nasi takelan,sujang dengan tuak,arak,ulam taluh bekasem,tumpeng 5 bungkul bertempat daun telunjungan,geti-geti,biyu batu,canang 1 pasang,ulam rumbah gile,kakumbuk kacang,calon agung5,tabuhan tuak, arak, dan toya,mempersembahkan memanggil sang kala dengen.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 39pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">9.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Caru sasih ka sanga, dengan sarana seperti : sanggah cucuk di sebelah kiri angkul-angkul,nasi telompokn maulam taloh madadar,sujang tuak,arak magantung,raka-raka,di bawah peras penyeneng,segehan5 tanding, tetabuhan tauk,arak dan air,mempersembahkan memenggil sang kala rogha.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 39pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">10.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Caru sasi ka dasa, dengan sarana seperti : sanggah cucuk di sebelah kiri angkul-angkul,mungah unjung1,raka-raka,ulam danging babi diolah menjadi urab merah putih,sate lmbat 1,calon,dibawah segehan 5 tanding,tetabuhan tuak, arak, dan air,serta api takep,mempersembahkan memanggil sang kala wijaya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 39pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">11.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Caru sasih dyestha,dengan sarana seperti : sangah cucuk d sebelah kiri angkul-angkul,mempersembahkan penek putih 1,dananan,jatah ayam sebulu-bulu,urab bang putih,sate lembat 1,sayur pepes makukus 1 tanding,di bawah segehan 5 tanding,tetabuh tuak,arak,dan api takep,mempersembahkan dengan memanggl sang kala solog.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 39pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="SV"><span style="">12.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Caru sasih asadha, dengan sarana seperti : sangah cucuk disebelah kiri angkul-angkul,mempersembahkan tumpeng putih 1,dananan,raka-raka,ulam ayam putih,kelembar rumbah gile,di bawah segehan menurut urip dina angkepan,maulam lawar,tetabuhan berupa tuak,arak dan air,dan api takep,mempersembahkan dengan memanggil sang kala bhanaspati.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 39pt; text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: Arial;" lang="SV">(diringkas oleh i made mudita)</span><span style="" lang="SV"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Sumber : Drs I Nyonman Singgih Wikarman,1998,Caru Palemahan Dan Sasih,Paramita</span><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br /><span style="" lang="SV"><o:p></o:p></span></p>muditahttp://www.blogger.com/profile/05091005719901532104noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8872898609804187426.post-90111469641521377752009-04-24T10:08:00.000-07:002009-04-24T10:09:41.917-07:00Mencari AWT dan Turn Around,Tugas so1<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjlkRZWWWRAaCK24qInZH7IuprQ4drXrEi81VqSOhd0RIlyTsXstBhZW4hlC_cHUmFQThhzUQw1hCsc0fdVpOA_bVBMnl18iylTrEXiR-8nP1uR_xUf8fQMj_xvaQ8wibFEoZFrQ14TAkJp/s1600-h/1.JPG"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 400px; height: 250px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjlkRZWWWRAaCK24qInZH7IuprQ4drXrEi81VqSOhd0RIlyTsXstBhZW4hlC_cHUmFQThhzUQw1hCsc0fdVpOA_bVBMnl18iylTrEXiR-8nP1uR_xUf8fQMj_xvaQ8wibFEoZFrQ14TAkJp/s400/1.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5328306074244905554" border="0" /></a>muditahttp://www.blogger.com/profile/05091005719901532104noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8872898609804187426.post-68962019637684408992009-04-24T10:06:00.000-07:002009-04-24T10:08:13.491-07:00<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg8LtbIEnc7156PWRnZAWSJXsLiVfsM3sHqsKp3IeR43imzcSO-omVEIME3Z42i1FmGKUqui5rDJPLWhGptKxSs1d-CgUX3MZuljIwy4OZcewVN5uEFBN3dh07w8JmNu4FMTAcyK9uIyxgY/s1600-h/2.JPG"><img style="margin: 0px auto 10px; display: block; text-align: center; cursor: pointer; width: 400px; height: 286px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg8LtbIEnc7156PWRnZAWSJXsLiVfsM3sHqsKp3IeR43imzcSO-omVEIME3Z42i1FmGKUqui5rDJPLWhGptKxSs1d-CgUX3MZuljIwy4OZcewVN5uEFBN3dh07w8JmNu4FMTAcyK9uIyxgY/s400/2.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5328305803722419218" border="0" /></a>muditahttp://www.blogger.com/profile/05091005719901532104noreply@blogger.com0