Rabu, 15 Desember 2010

TEOLOGI HINDU

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumber utama ajaran Agama Hindu adalah Veda. Veda adalah wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang di dalam Bahasa Sanskerta disebut Úruti, artinya yang terdengar atau yang didengarkan oleh orang-orang suci, yakni para mahàrûi. Úruti disebut juga “Sabda-Brahman”, yakni wacana Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu disebut berasal dari Tuhan Yang Maha Esa (Divine Origin). Para mahàrûi memperoleh wahyu tersebut, oleh karena itu para mahàrûi disebut “Mantradraûþaá” (yang memperoleh wahyu berupa mantra Veda) dan bukan “Mantrakartaá” (yang membuat atau mengarang mantra Veda). Di samping Veda sebagai sumber tertinggi ajaran Agama Hindu terdapat juga sumber-sumber lainnya yang disebut susastra Hindu.
Dapat pula ditambahkan bahwa kitab-kitab Tattva di Bali sebenarnya merupakan kajian dari teologi Hindu atau Brahmavidyà, khususnya kitab-kitab Úaiva Siddhànta yang cukup banyak jumlahnya. Kitab-kitab ini merupakan rujukan utama pelaksanaan ajaran Agama Hindu di Bali yang berpadu dengan unsur-unsur sekta yang lain dan dikembangkan dalam wadah budaya Bali.

1.2 Ruang lingkup
Lingkup penulisan buku ini dibatasi pada ajaran teologi atau Brahmavidyà dalam susastra Hindu.
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan buku ini adalah: (1) bersifat khsusus, artinya sangat berguna bagi para mahasiswa atau dosen yang berminat untuk secara mendalam menguasai pengetahuan tentang teologi Hindu, dan (2) bersifat umum, artinya memperkaya khasanah pengetahuan dan dalam usaha meningkatkan pengetahuan umat Hindu pada umumnya tentang teologi yang mereka anut dan masyarakat luas yang ingin lebih mendalami ajaran Agama Hindu.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini meliputi (1) manfaat teoritis, yakni secara teoritis menambah wawasan pembaca untuk mengenal teologi Hindu secara tekstual dan kontekstual, serta (2) manfaat praktis, yakni akan sangat berguna bago para praktisi Agama Hindu seperti para pandita, pinandita atau pamangku, guru dan dosen Agama Hindu, serta umat Hindu dan masyarakat luas yang tertarik untuk mengenal lebih jauh tentang ajaran ketuhanan dalam Agama Hindu.





BAB II TEOLOGI DAN STUDI KEAGAMAAN
2.1 Pengertian Teologi dan Brahmavidyà
Di dalam The New Oxford Illustrated Dictionary (1978:1736) pengertian teologi dinyatakan sebagai berikut: Science of religion, study of God or gods, esp. of attributes and relations with man etc.; yang berarti ilmu agama, studi tentang Tuhan Yang Maha Esa atau Para Dewa, teristimewa tentang atribut-Nya dan hubungannya dengan manusia, dan sebagainya. Adian dalam Jurnal Perempuan Untuk Pencerahan dan Kesetaraan (2001:52) menyatakan teologi adalah pengetahuan Yang Illahi. Kata logi berasal dari bahasa Yunani logos yang dapat diartikan sebagai pengetahuan yang berkadar pengetahuan tinggi berbeda dengan opini sehari-hari. Logos berbeda dengan opini karena ia murni kontemplasi tanpa digayuti kepentingan apapun. Teologi kemudian dapat diartikan menjadi pengetahuan kontemplatif, bebas kepentingan, dan benar tentang Yang Ilahi.
Kata teologi berasal dari kata theos yang artinya ‘Tuhan’ dan ‘logos’ artinya ‘ilmu’ atau ‘pengetahuan’. Jadi teologi berarti ‘pengetahuan tentang Tuhan’. Ada banyak batasan atau definisi teologi sebagaimana uraian berikut: telogi secara harfiah berarti teori atau studi tentang ‘Tuhan’. Dalam praktek, istilah dipakai untuk kumpulan doktrin dari kelompok keagamaan tertentu atau pemikiran individu (Maulana, dkk. 2003: 500).
Ilmu ketuhanan dalam agama Hindu atau teologi Hindu diberi dengan bermacam macam istilah antara lain:
a. Brahma Widya
b. Brahma Tatwa Jnana
Istilah Brahma adalah suatu istilah yang dipergunakan oleh umat Hindu untuk menyebutkan nama Tuhan sebagai pencipta pemelihara maupun tempat tujuan dari manusia atau alam semesta nanti pada zaman pralaya.
Mahadevan (1984:300) menyebut brahmavidyà sebagai the knowledge of Brahman, sedang Apte dalam Sanskrit English Dictionary (1987:466) menerjemahkan teologi dengan Ìúvara-brahmajñànam, paramàrthavidyà, adhyàtmajñànavidyà yang secara leksikal berarti pengetahuan tentang ketuhanan, pengetahuan tertinggi, dan pengetahuan rohani (spiritual). Berdasarkan uraian tersebut brahmavidyà berarti pengetahuan tentang Tuhan Yang Maha Esa, mencakup semua manifestasi-Nya, ciptaan-Nya dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Pengertian yang terakhir ini sudah mencakup pengertian yang amat luas tentang brahmavidyà. Menurut Pudja (1984:14) teologi di dalam Bahasa Sanskerta disebut Brahmavidyà atau Brahma Tattva Jñàna.

Pada mulanya teologi merupakan istilah yang digunakan oleh para pemikir Kristen untuk menunjukkan suatu disiplin ilmu yang membahas hal Tuhan dan Ketuhanan. Terminologi teologi telah menjadi disiplin ilmu yang diakui oleh para pakar atau ilmuwan dan secara aksiologis atau manfaat dalam penerapannya telah meluas ke seluruh dunia. Disiplin ilmu teolgi menjadi demikian sangat berarti, karena kebeadaannya telah memenuhi tiga persyaratan sebagai sebuah ilmu pengetahuan, yakni: (1) syarat ontologis atau objeknya jelas, (2) syarat epistemologis (procedure), dan (3) syarat aksiologis (makna atau manfaat). Karena keabsahan dan keakuratan dari disiplin ilmu teologi tersebut, maka epistemologi teologi telah menjadi pola, patokan, rujukan dalam berteologi dari semua agama tanpa menyadari bahwa terminologi teologi setiap agama tidak persis sama (Donder, 2006:15).
Bila memperhatian uraian di atas, maka brahmavidyà di dalamnya sudah mencakup pengertian teologi yang sangat luas dan dalam, dalam susastra Hindu berbagai atribut penggambaran Tuhan Yang Maha Esa tampak dalam dua pandangan yang berbeda, yakni Tuhan Yang Maha Esa yang berpribadi (Personal God) dan Tuhan Yang Maha Esa yang tidak berpribadi (Impersonal God). Untuk kepentingan bhakti (devotion) Tuhan Yang Maha Esa yang berpribadi menjadi objek pemujaan umat Hindu umumnya.

2.2 Perbedaan Studi Keagamaan dan Teologi
Uraian ini merupakan saduran dari tulisan Frank Whaling dalam Aneka Pendekatan Studi Agama, Connoly, Ed (2002, 311-374) sebagai berikut. Posisi teologi sangatlah penting dalam berbagai pembahasan tentang studi dan pengajaran agama. Pendekatan teologis memfokuskan pada sejumlah konsep, khususnya didasarkan pada ide theologos, studi atau pengetahuan tentang Tuhan atau Dewa-Dewa. Praanggapan ini memuat pesan yang berbeda dari ilmu-ilmu kemanusiaan atau sosial. Studi-studi keagamaan dalam bentuknya yang modern, dipandang muncul dari Teologi Kristen. Sehingga studi keagamaan dan teologi menimbu1kan bermacam pandangan, ada yang menganggap penting ada yang menganggap tidak penting atau bentuk pro dan kontra lainnya.

Ada lima macam pendekatan teologis dalam studi agama, yaitu:
1) Teologi agama-agama (theologies of religions), yaitu teologi tertentu yang muncul dalam tradisi keagamaan tertentu. Jadi teologi agama-agama adalah teologi yang mempelajari tentang teologi tertentu yang muncul dari tradisi-tradisi keagamaan. Pada setiap agama merniliki tradisi-tradisi yang sulit dicari sumbernya dalam kitab suci.
2) Teologi-teologi agama (theologies of religion) yaitu berbagai sikap teologis dalam tradisi keagamaan partikular yang diadopsi dari luar agama. Jadi teologi-teologi agama adalah teologi yang mempelajari tentang sikap teologis suatu agama terhadap tradisi-tradisi keagamaan yang diambilnya dan luar agamanya. Misalnya orang Kristen di Bali menggunakan ‘banten’ ke gereja, menggunakan ‘penjor’ saat hari raya Natal dan Tahun Baru, menggunakan pakaian adat Bali yang lazim digunakan ke pura oleh umat Hindu namun digunakan oleh umat Kristen Bali ke gereja.
3) Teologi agama (theology of religion) yaitu upaya membangun suatu teologi agama yang lebih universal yang dalam hal ini mengkonsentrasikan pada kategori-kategori transenden. Jadi pendekatannya mempelajari tentang teologi yang universal yang memfokuskan diri pada yang transenden (spiritual, kesucian).
4) Teologi agama-agama global (a global theology of religion) yaitu dimulai dari situasi global dalam seluruh kompleksitas, moral manusia, natural, dan dari sana kemudian mengkonseptualisasikan kembali kategori-kategori teologis yang muncul dan tradisi keagamaan tertentu yang dapat mengarahkan perkembangan situasi global, yang mempengaruhi setiap orang. Jadi teologi agama-agama global adalah teologi yang mempelajari kompleksitas agama termasuk di dalamnya; moral, manusia, natural, serta mengkonstruksi atau mengkonseptualisasikan kembali kategori-kategori teologis itu.
5) Teologi agama perbandingan (comparative theology of religion). Melalui membaca teologi-teologi agama tertentu, kita akan mengeksplorasikan beberapa titik temu dan perbandingan teologis. Jadi teologi agama perbandingan adalah teologi yang mempelajari agama-agama melalui memperbandingkan lewat uraian-uraian teologis setiap agama.
Perbedaan studi keagamaan dan teologi.
1) Studi keagamaan, selain bersifat multireligius, studi-studi keagamaan juga menggunakan beragam pendekatan dan metode. Sehingga; filsafat, sosiologi, antropologi, sejarah, fenomenologi, psikologi, linguistik, dan sebagainya merupakan komponen-komponen dari studi keagamaan.
2) Teologi, lebih merupakan suatu disiplin tersendiri dan meskipun teologi menggunakan berbagai metode yang dipaparkan di atas, metode-metode itu berada di bawah concern teologi dan sering kali juga gereja atau komunitas religius yang terkait.
3) Teologi, sering berpusat pada persoalan doktrin. Ortodoksi agama cenderung menitikberatkan terhadap doktrin-doktrin dan elemen-elemen konseptual dalam agama sebagai salah satu yang lebih sentral dibandingkan dengan praktek spiritual atau perilaku.
4) Studi keagamaan, memberi titik tekan yang sama terhadap elemen-elemen lain yang ada dalam agarna seperti praktik sosial, ritual, estetika, spiritualitas, mite, simbol dan seterusnya. Tidak ada penekanan yang berlebihan terhadap doktrin atau konsep.
5) Teologi memiliki perhatian khusus pada gagasan transendensi yang “dianggap tidak perlu diperdebatkan” sejauh ada hubungannya dengan teologi.
6) Studi keagamaan titik fokusnya lebih kepada orang-orang beriman dan pengalarnan atau keyakinannya ketimbang objek keyakinan.
7) Teologi berkepentingan dengan transendensi, sedangkan studi keagamaan tidak.
8) Dalam pembelajaran abad pertengahan, ilmu tetap memiliki tempat, seperti ditujukkan Durkheim dan lainnya, tetapi menduduki tempat kedua. Meskipun demikian, pengetahuan budaya dan ilmu adalah bagian dari totalitas pembelajaran yang diasarkan pada teologi. Seperti dikemukakan oleh Aquinas, teologi adalah queen of sciences. Di era modern, model dominan kembali mengalami perubahan. Eksperimen terhadap alam dan pengembangan ilmu-ilmu kealaman yang terpancar darinya, menjadi landasan pengetahuan. Porosnya lebih berpusat pada alam dibandingkan Tuhan atau manusia, dan titik tekannya pada ilmu-ilmu kealaman sebagai kunci pembelajaran. Karena penelitian ilmiah disandarkan pada spesialisasi, dan pengetahuan dibagi kedalam wilayah-wilayah khusus, dalam hal ini terjadi kemunduran ketika dipahami terdapat totalitas pengetahuan.

Meskipun teologi dan turunannya, studi keagamaan bersamaan dengan humanitas masih tetap ada dan dalam pendekatan terhadap pengetahuan memang cenderung menggunakan pandangan dunia ilmiah tidak ada yang tersembunyi dari fakta bahwa pandangan tentang keutuhan pengetahuan telah terpecah-pecah. Pengetahuan lebih ditemukan dalam bagian unsur-unsurnya, disiplin-disiplinnya, ketimbang dengan totalitasnya. Di era sekarang dengan perspektif global, terdapat concern yang lebih besar terhadap perlunya mengintegrasikan kembali pengetahuan, bersamaan dengan kesadaran yang lebih dalam akan keuntungan dan kerugian pandangan dunia ilmiah. Gerakan New Age dan posmodernisme, sekalipun memiliki kepentingan tertentu, menghidupi semangat ini dan terdapat keinginan menyatukan kembali pengetahuan guna memenuhi tuntutan dunia global. Dengan kata lain terdapat kesadaran yang lebih besar tentang komplementaritas model-model pengetahuan dan perlunya interkoneksi yang lebih dalam. Teologi dan studi-studi keagamaan, humanitas, dan ilmu-ilmu ke-alam-an saling membutuhkan satu sama lainnya.
Ada tiga alasan bagi teologi maupun studi-studi keagamaan tentang pentingnya model pengetahuan. Pertama, Konsep-konsep yang begitu penting bagi teologi hanyalah salah satu dari delapan elemen yang dikemukakan dalam model ini. Studi-studi keagamaan berkaitan dengan kedelapan elemen; (1) komunitas keagamaan (2) ritual, (3) etika, (4) keterlibatan sosial dan politik (5) kitab sud dan mite, (6) konsep-konsep, (7) estetika, dan (8) spiritualitas, tanpa melebihkan salah satunya. Terlebih lagi studi-studi keagamaan bersifat lintas budaya dan tidak ada kepentingan tertentu untuk memperkembangkan salah satu tradisi. Kedua, Model ini membahas gagasan transendensi, fokus yang memediasi dan keyakinan atau intensinalitas yang juga terdapat dalam teologi. Bagi tradisi keagamaan tertentu, keyakinan adalah keyakinan terhadap transendensi mereka sendiri, melalui fokus yang memediasikan yang begitu penting, dan ini tampak jelas dalam teologi-teologi tertentu. Namun, selain pengertian ini, model ini dapat menjelaskan struktur umum dan makna dari tradisi keagamaan tertentu, ia memiliki asumsi-asumsi dasar yakni kepentingan umum (general interest). Model ini juga dapat menunjukkan bahwa agama-agama secara radikal berbeda jika kita membandingkannya secara terbuka melalui model ini. Di sisi lain, model ini juga dapat dipahami guna menunjukkan arah keyakinan, dan transendensi sebagai kategori teologis universal dan oleh karenanya juga arah teologi agama general. Ketiga, Meskipun teologi memiliki suatu kecenderungan terhadap formulasi doktrinal, model ini menunjukkan bahwa formulasi-formulasi itu bisa jadi luas dan beragam. Teologi memberi perhatian pada delapan elemen terkait dan dalam tahun-tahun terakhir perhatian ini berkembang dalam tradisi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kita melihat meningkatnya minat pada teologi komunitas-komunitas keagamaan, teologi skriptural, teologi doktrinal, teologi seni, dan teologi ritual dan liturgi, etika teologi, teologi praksis sosial dan politis, dan teologi spiritual.

Singkatnya, meskipun batas-batas dan perhatian teologi dan studi-studi keagamaan itu terpisah, namun bukan pemisahan yang mendasar. Keduanya, saling berjalin dengan cara seperti yang telah disampaikan yaitu kaitannya dengan model-model pengetahuan barat dan dengan suatu model agama general.
Tradisi cenderung beragam berdasarkan inti doktrin yang lebih kurang bersifat “terben” (given, bahasa Bali muleketo), dan semua agama memiliki doktrin yang sifatnya seperti ini. Standar kualitas konseptual tradisi Hindu semenjak era klasik, konsep-konsep kunci tertentu telah menjadi parameter bagi Hindu way of life.
1) Konsep Hindu berpusat pada gagasan tentang Brahman sebagai realitas ultimate di balik alam,
2) Àtmà sebagai diri inner dalam manusia,
3) Karma manusia sebagai lingkaran kelahiran kembali yang terus-menerus,
4) Penyelamatan sebagai pelepasan diri dari kelahiran kembali,
5) Cara-cara penyadaran inner (jñàna), ketaatan (bhakti), dan terlibat aktif di dunia (di bawah kuasa Tuhan) sebagai jalan penyelamatan, dan peran berbagai manifestasi-Nya seperti Śiva, Viûóu, Devì, dan dua inkarnasi dari Viûóu (avatàra) yakni Ràma dan Kåûóa.
John Hick menguraikan bahwa ada tiga sikap teologis pokok yang dapat diterapkan tradisi keagamaan terhadap wilayah keagamaan yang lebih luas: (1) Eksklusivisme, suatu pendapat bahwa satu-satunya posisi yang benar adalah posisi keagamaannya sendiri, (2) Inklusivisme, suatu pandangan bahwa tradisi keagamaan !ain juga memuat kebenaan religius tetapi di hari akhir akan dimasukkan ke dalam posisi yang mereka miliki, (3) Pluralisme, pendapat bahwa tradisi-tradisi keagamaan mengejawantahkan diri dalam beragam konsepsi mengenai yang sejati (the real) dan memberi respon terhadapnya, dari sana muncul jalan kultur yang berbeda-beda bagi manusia. Tiga sikap teologis itu beranggapan bahwa seseorang mencari dengan berangkat dari suatu sistem teologis partikular dan berdasar pada sistem lainnya sebagai entitas yang terpisah. Sikap-sikap ini mengasumsikan nahwa teologi berarti teologi partikular dari suatu tradisi keagamaan partikular.
Agama Hindu sejak diturunkannya kitab suci Veda sudah mengamanatkan umatnya untuk mengembangkan sikap inklusivisme dan pluralisme artinya mengakui ada kebenaran pada tradisi keagamaan lain serta adanya beragam konsepsi yang sejati (the real) dan memberi respon terhadapnya, seperti tampak dalam perkembangan agama Hindu di Bali, kepercayaan kepada roh suci leluhur masih mendapatkan tempat yang semestinya.



BAB III TEOLOGI DALAM SUSASTRA SANSKERTA
3.1 Pengertian dan Lingkup Susastra Hindu
Di dalam pendahuluan telah diuraikan sepintas tentang sumber ajaran Agama Hindu, yakni Veda sebagai sumber tertinggi dan otoritasnya sangat diakui karena Veda merupakan Úruti atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Kitab suci Veda terdiri dari kitab-kitab:
1) Saýhità ( Samitha ),
2) Bràhmaóa (Brahmana ),
3) Āraóyaka ( Aranyaka), dan
4) Upaniûad ( Upanisad ).
Kitab-kitab Saýhità terdiri dari Ågveda, Yajurveda, Sàmaveda, dan Atharvaveda. Masing-masing kitab Saýhità tersebut memiliki kitab-kitab Bràhmaóa, Āraóyaka, dan Upaniûad. Unsur-unsur upacara yang terdapat di dalam kitab Veda dikembangkan secara luas di dalam kitab-kitab Bràhmaóa. Bila di dalam Veda upacara korban berarti untuk memohon karunia para devatà dan kemudian menjadi akhir dari segalanya. Di dalam kitab-kitab Bràhmaóa, para devatà mempunyai kedudukan yang penting terutama dalam sistem upacara.






BAB IV KESIMPULAN

Ilmu Ketuhanan dalam agama Hindu diberi bermacam macam istilah, salah satuanya yaitu “Brahma Vidya”. Brahma Vidya merupakan salah satu dari ajaran agama Hindu yang membahas mengenai teologi Hindu. Didalam ajaran Brahma Vidya tidak saja membahas tentang Tuhan Yang Maha Esa, Para Dewa, dan Roh Suci Leluhur, tetapi juga membahas ciptaan-Nya.




BAB V DAFTAR PUSTAKA


Musna, I Wayan; Materi Teologi Hindu; 1-6; PAHD2533/2 SKS/oleh I Wayan Musna, I Ketut Murada.—Jakarta: Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha, Universitas Terbuka, 1993.

www.parisada.org ( Teologi dalam Susastra Hindu )

KONSEP SURGA DAN NERAKA MENURUT PANDANGAN AN AGAMA HINDU LANJUTAN

Berbeda dengan konsep Sorga-Neraka di agama-agama semitis, agama Hindu memberikan kesempatan kepada manusia untuk selalu berupaya memperbaiki diri dalam beberapa kali masa kehidupan, sebelum dicapai tujuan tertinggi dalam Hindu, yaitu Moksha.
Sorga dan Neraka adalah dua hal yang oleh kebanyakan umat beragama bicarakan dan perdebatkan, dari sekedar bagaimana mempercayainya sampai bagaimana cara mendapatkannya atau menghindarinya. Setiap manusia selalu berusaha untuk dapat mencapai Sorga setelah hidup, dan sebaliknya, tak seorang pun menghendaki berjumpa Neraka setelah jiwa meninggalkan raga.
Dalam beberapa waktu saya sering merasa heran, betapa setiap manusia selalu berorientasi pada Sorga dan melupakan Tuhan sebagai pemilik Sorga. Hampir sebagian besar manusia selalu melakukan perbuatan baik hanya karena sangat takut masuk Neraka dan menginginkan hanya Sorga.
Padahal, kita semua sepatutnya hanya takut pada Tuhan. Mungkin lirik lagu Ahmad Dhani dan Krisye kiranya tepat mengambarkan orientasi manusia terhadap tujuan hidup yang hakiki ; " Jika Surga dan Neraka tak pernah ada masihkah kau bersujud pada Nya", yakni berbakti kepada Tuhan dan bukan hanya karena sorga ataupun neraka.
Pada kesempatan ini, saya bermaksud memperkenalkan pandangan Hindu mengenai konsep Sorga dan Neraka. Banyak umat Hindu beranggapan bahwa di dalam ajaran Hindu tidak ada dan tidak dikenal konsep mengenai Sorga dan Neraka mengingat dalam konsep Panca Shrada ( lima keyakinan ) umat hindu mempercayai adanya Purnabawa ( Reingkarnasi ).
Sorga dan Neraka dalam pandangan Hindu amat jarang diperbincangkan, karena agama Hindu kerap hanya dipahami meyakini hukum kharmaphala dan mempercayai Reinkarnasi atau kehidupan kembali setelah kematian, sehingga banyak orang meyakini bahwa Hindu tidak mengenal Sorga dan Neraka.
Sesungguhnya konsep Sorga dan Neraka ada dalam ajaran Hindu. Namun ia bukan menjadi tujuan akhir dari manusia sehingga bagi orang Hindu tujuan akhir adalah bukan masuk Sorga, melainkan Moksha atau bersatunya jiwa (Atman) dengan Sang Maha Pencipta ( Brahman).
Pertanyaannya yang kemudian muncul, lantas Sorga itu seperti apa dan untuk apa?. Sorga dalam Hindu seperti digambarkan dalam Weda; Adalah suatu tempat, satu dunia, dimana cahaya selalu bersinar, suatu masyarakat orang suci, dunia kebaikan, dunia abadi.
Beberapa pemikiran mengatakan bahwa Sorga dan Neraka bukanlah tempat, melainkan suatu kondisi. Artinya, apabila kita dalam kondisi senang atau bahagia, itulah Sorga. Sebaliknya, apabila kita dalam kondisi sedih atau menderita, itulah Neraka. Mungkin hal tersebut ada benarnya.
Dalam Kitab suci Weda disebutkan, Sorga dan Neraka adalah suatu tempat di balik dunia ini yang dibatasi oleh kematian. Dengan kata lain, Sorga dan Neraka akan kita temukan setelah kita melewati “jembatan“ yang bernama kematian. Secara harfiah, Sorga berasal dari kata Sanserketa “svar” dan “ga”. “Svar” artinya cahaya dan “ga” artinya pergi. Jadi svarga artinya perjalanan menuju cahaya. Di dalam Weda juga dikatakan bahwa Sorga adalah “dunia ketiga” yang penuh sinar dan cahaya.
Sorga: persinggahan sementara
Dalam kitab suci Hindu dikatakan bahwa Sorga merupakan persinggahan sementara. Bahkan, menurut Swami Dayananda Saraswati, Sorga adalah pengalaman liburan. Bagawad Gita dalam hal ini mengatakan:”setelah menikmati Sorga yang luas , mereka kembali ke dunia. Sorga adalah kesenangan sementara, sedangkan kebahagiaan yang sejati adalah Moksha, bersatunya Atman (Jiwa) dengan Brahman (Sang Pencipta))
Neraka Menurut Hindu
Neraka memang diperlukan. Ini adalah ungkapan yang sangat profokatif. Sebuah argumen mengatakan, apabila hasil yang diterima setiap orang sama—entah itu baik atupun tidak dan mendapat imbalan yang sama—lantas apa yang mendasari orang untuk selalu berbuat baik, berbuat berdasarkan Dharma.
Neraka dalam pandangan agama semit digambarkan sebagai suatu tempat yang terletak jauh di dalam bumi. Ia adalah tempat penyiksaan yang sangat mengerikan berbentuk kawah api yang panasnya beribu kali lipat dari panas api di dunia. Roh- roh yang banyak melakukan dosa di dunia akan mengalami penyiksaan ditusuk dengan tombak dan dipukuli dengan palu godam.
Di dalam Hindu sangat sedikit mantra ataupun sloka yang menjelaskan kosep Neraka mengingat Hindu mengakui terjadinya reinkarnasi atau proses kelahiran kembali dan konsep Moksha. Di Hindu Neraka dikatakan merupakan balasan yang diterima pada saat reinkarnasi atau dalam proses kelahiran kembali. Di dalamnya kita di berikan dua pilihan yang berdasar pada perbuatan kita pada masa hidup terdahulu, yaitu reinkarnasai Sorga atau reinkarnasi Neraka.
Reinkarnasi Sorga ada dalam proses kelahiran kembali kita mendapatkan takdir yang lebih baik, sedangkan reinkarnasi Neraka apabila kita dilahirkan dengan takdir yang lebih buruk. Di Hindu kelainan fisik pada saat kelahiran dapat dijelaskan sebagai sebuah bentuk penebusan terhadap segala perbuatan yang buruk yang pada masa hidup yang pernah di lakukan.
Konsep Sorga-Neraka seperti ini mungkin berbeda dengan konsep serupa dalam agama lain, yang menyatakan setiap manusia yang lahir adalah sebuah individu baru dan suci, ibarat buku belum ternoda oleh tinta kehidupan.
Bagi umat Hindu, kehidupan ini adalah suatu perjalanan yang saling berhubungan dan berjalan terus menerus. Dalam kerangka Tuhan Maha Pengampun, Hindu menjelaskan setiap manusia selalu di berikan kesempatan untuk selalu memperbaiki dirinya dalam beberapa kali masa kehidupan untuk kemudian mencapai tujuan tertinggi dalam Hindu, yaitu Moksha.[]

Rabu, 10 November 2010

PENGERTIAN AGAMA HINDU DAN PERKEMBANGANNYA DI INDIA

Pengertian dan Tujuan Agama Hindu

Agama sebagai pengetahuan kerohanian yang menyangkut soal-soal rohani yang bersifat gaib dan methafisika secara esthimologinya berasal dari bahasa sansekerta, yaitu dari kata "A" dan "gam". "a" berarti tidak dan "gam" berarti pergi atau bergerak. Jadi kata agama berarti sesuatu yang tidak pergi atau bergerak dan bersifat langgeng. Menurut Hindu yang dimaksudkan memiliki sifat langgeng (kekal, abadi dan tidak berubah-ubah) hanyalah Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Demikian pula ajaran-ajaran yang diwahyukan-Nya adalah kebenaran abadi yang berlaku selalu, dimana saja dan kapan saja.
Berangkat dari pengertian itulah, maka agama adalah merupakan kebenaran abadi yang mencakup seluruh jalan kehidupan manusia yang diwahyukan oleh Hyang Widhi Wasa melalui para Maha Rsi dengan tujuan untuk menuntun manusia dalam mencapai kesempurnaan hidup yang berupa kebahagiaan yang maha tinggi dan kesucian lahir bathin.
Perkembangan Agama Hindu di India pada zaman weda

Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 fase, yakni Jaman Weda, Jaman Brahmana, Jaman Upanisad dan Jaman Budha. Dari peninggalan benda-benda purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di India pada jamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan yang menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa. Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada jaman ini telah dikenal adanya penyembahan terhadap Dewa-dewa.

Jaman Weda dimulai pada waktu bangsa Arya berada di Punjab di Lembah Sungai Sindhu, sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum Masehi, setelah mendesak bangsa Dravida kesebelah Selatan sampai ke dataran tinggi Dekkan. bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi, mereka menyembah Dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun semuanya adalah manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal dan Maha Kuasa dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta, yang disebut "Rta". Pada jaman ini, masyarakat dibagi atas kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra.
Dikatakan bahwa orang- orang Aryalah yang menerima wahyu Weda. Wahyu- wahyu Weda ini tidak turun sekaligus, melainkan dalam jangka waktu yang agak lama, dan juga tidak diwahyukan di satu tempat saja. Penerima wahyu disebut Maha Resi, diterima melalui pendengaran, dan oleh sebab itu wahyu Weda disebut Sruti (sru= pendengaran). Kurun waktu turunnya wahyu- wahyu Weda itulah yang disebut jaman Weda dan ajaran Weda inilah yang kemudian tersebar ke berbagai penjuru dunia.
Pada Jaman Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana amat besar pada kehidupan keagamaan, kaum brahmanalah yang mengantarkan persembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu. Jaman Brahmana ini ditandai pula mulai tersusunnya "Tata Cara Upacara" beragama yang teratur. Kitab Brahmana, adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan upacaranya. Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di dalam ayat-ayat Kitab Suci Weda.
Sedangkan pada Jaman Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya terbatas pada Upacara dan Saji saja, akan tetapi lebih meningkat pada pengetahuan bathin yang lebih tinggi, yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib. Jaman Upanisad ini adalah jaman pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu jaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada jaman ini muncullah ajaran filsafat yang tinggi-tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran Darsana, Itihasa dan Purana. Sejak jaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.
Selanjutnya, pada Jaman Budha ini, dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama "Sidharta", menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan semadhi, sebagai jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.
Agama Hindu, dari India Selatan menyebar sampai keluar India melalui beberapa cara. Dari sekian arah penyebaran ajaran agama Hindu sampai juga di Nusantara.

Rabu, 13 Oktober 2010

HINDU PADA JAMAN KERAJAAN SRIWIJAYA

PENGETAHUAN mengenai sejarah Sriwijaya baru lahir pada permulaan abad ke-20 M, ketika George Coedes menulis karangannya berjudul Le Royaume de Crivijaya pada tahun 1918 M. Sebenarnya, lima tahun sebelum itu, yaitu pada tahun 1913 M, Kern telah menerbitkan Prasasti Kota Kapur, sebuah prasasti peninggalan Sriwijaya yang ditemukan di Pulau Bangka. Namun, saat itu, Kern masih menganggap nama Sriwijaya yang tercantum pada prasasti tersebut sebagai nama seorang raja, karena Cri biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar raja.
Pada tahun 1896 M, sarjana Jepang Takakusu menerjemahkan karya I-tsing, Nan-hai-chi-kuei-nai fa-ch‘uan ke dalam bahasa Inggris dengan judul A Record of the Budhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago. Namun, dalam buku tersebut tidak terdapat nama Sriwijaya, yang ada hanya Shih-li-fo-shih. Dari terjemahan prasasti Kota Kapur yang memuat nama Sriwijaya dan karya I-Tsing yang memuat nama Shih-li-fo-shih, Coedes kemudian menetapkan bahwa, Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan.
Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa, letak ibukota Sriwijaya adalah Palembang, dengan bersandar pada anggapan Groeneveldt dalam karangannya, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-fo-ts‘I adalah Palembang. Sumber lain, yaitu Beal mengemukakan pendapatnya pada tahun 1886 bahwa, Shih-li-fo-shih merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai Musi, dekat kota Palembang sekarang. Dari pendapat ini, kemudian muncul suatu kecenderungan di kalangan sejarawan untuk menganggap Palembang sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya.
Sumber lain yang mendukung keberadaan Palembang sebagai pusat kerajaan adalah prasasti Telaga Batu. Prasasti ini berbentuk batu lempeng mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh kepala ular kobra, dengan sebentuk mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil tempat keluar air) di bawahnya. Menurut para arkeolog, prasasti ini digunakan untuk pelaksanaan upacara sumpah kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat. Dalam prosesi itu, pejabat yang disumpah meminum air yang dialirkan ke batu dan keluar melalui cerat tersebut. Sebagai sarana untuk upacara persumpahan, prasasti seperti itu biasanya ditempatkan di pusat kerajaan. Karena ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918 M, maka diduga kuat Palembang merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya.
Petunjuk lain yang menyatakan bahwa Palembang merupakan pusat kerajaan juga diperoleh dari hasil temuan barang-barang keramik dan tembikar di situs Talang Kikim, Tanjung Rawa, Bukit Siguntang dan Kambang Unglen, semuanya di daerah Palembang. Keramik dan tembikar tersebut merupakan alat yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Temuan ini menunjukkan bahwa, pada masa dulu, di Palembang terdapat pemukiman kuno. Dugaan ini semakin kuat dengan hasil interpretasi foto udara di daerah sebelah barat Kota Palembang, yang menggambarkan bentuk-bentuk kolam dan kanal. Kolam dan kanal-kanal yang bentuknya teratur itu kemungkinan besar buatan manusia, bukan hasil dari proses alami. Dari hasil temuan keramik dan kanal-kanal ini, maka dugaan para arkeolog bahwa Palembang merupakan pusat kerajaan semakin kuat.
Sebagai pusat kerajaan, kondisi Palembang ketika itu bersifat mendesa (rural), tidak seperti pusat-pusat kerajaan lain yang ditemukan di wilayah Asia Tenggara daratan, seperti di Thailand, Kamboja, dan Myanmar. Bahan utama yang dipakai untuk membuat bangunan di pusat kota Sriwijaya adalah kayu atau bambu yang mudah didapatkan di sekitarnya. Oleh karena bahan itu mudah rusak termakan zaman, maka tidak ada sisa bangunan yang dapat ditemukan lagi. Kalaupun ada, sisa pemukiman dengan konstruksi kayu tersebut hanya dapat ditemukan di daerah rawa atau tepian sungai yang terendam air, bukan di pusat kota, seperti di situs Ujung Plancu, Kabupaten Batanghari, Jambi. Memang ada bangunan yang dibuat dari bahan bata atau batu, tapi hanya bangunan sakral (keagamaan), seperti yang ditemukan di Palembang, di situs Gedingsuro, Candi Angsoka, dan Bukit Siguntang, yang terbuat dari bata. Sayang sekali, sisa bangunan yang ditemukan tersebut hanya bagian pondasinya saja.
Seiring perkembangan, semakin banyak ditemukan data sejarah berkenaan dengan Sriwijaya. Selain prasasti Kota Kapur, juga ditemukan prasasti Karang Berahi (ditemukan tahun 1904 M), Telaga Batu (ditemukan tahun 1918 M), Kedukan Bukit (ditemukan tahun 1920 M) Talang Tuo (ditemukan tahun 1920 M) dan Boom Baru. Di antara prasasti di atas, prasasti Kota Kapur merupakan yang paling tua, bertarikh 682 M, menceritakan tentang kisah perjalanan suci Dapunta Hyang dari Minanga dengan perahu, bersama dua laksa (20.000) tentara dan 200 peti perbekalan, serta 1.213 tentara yang berjalan kaki. Perjalanan ini berakhir di mukha-p. Di tempat tersebut, Dapunta Hyang kemudian mendirikan wanua (perkampungan) yang diberi nama Sriwijaya.
Dalam prasasti Talang Tuo yang bertarikh 684 M, disebutkan mengenai pembangunan taman oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk semua makhluk, yang diberi nama Sriksetra. Dalam taman tersebut, terdapat pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan.
Data tersebut semakin lengkap dengan adanya berita Cina dan Arab. Sumber Cina yang paling sering dikutip adalah catatan I-tsing.
Ia merupakan seorang peziarah Budha dari China yang telah mengunjungi Sriwijaya beberapa kali dan sempat bermukim beberapa lama. Kunjungan I-sting pertama adalah tahun 671 M. Dalam catatannya disebutkan bahwa, saat itu terdapat lebih dari seribu orang pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha tersebut sama dengan aturan dan upacara yang dilakukan oleh para pendeta Budha di India. I-tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu, baru ia berangkat ke Nalanda, India. Setelah lama belajar di Nalanda, I-tsing kembali ke Sriwijaya pada tahun 685 dan tinggal selama beberapa tahun untuk menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. Catatan Cina yang lain menyebutkan tentang utusan Sriwijaya yang datang secara rutin ke Cina, yang terakhir adalah tahun 988 M.
Dalam sumber lain, yaitu catatan Arab, Sriwijaya disebut Sribuza. Mas‘udi, seorang sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya pada tahun 955 M. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar, dengan tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kardamunggu, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.
Dari catatan asing tersebut, bisa diketahui bahwa Sriwijaya merupakan kerajaan besar pada masanya, dengan wilayah dan relasi dagang yang luas sampai ke Madagaskar. Sejumlah bukti lain berupa arca, stupika, maupun prasasti lainnya semakin menegaskan bahwa, pada masanya Sriwijaya adalah kerajaan yang mempunyai komunikasi yang baik dengan para saudagar dan pendeta di Cina, India dan Arab. Hal ini hanya mungkin bisa dilakukan oleh sebuah kerajaan yang besar, berpengaruh, dan diperhitungkan di kawasannya.
Pada abad ke-11 M, Sriwijaya mulai mengalami kemunduran. Pada tahun 1006 M, Sriwijaya diserang oleh Dharmawangsa dari Jawa Timur. Serangan ini berhasil dipukul mundur, bahkan Sriwijaya mampu melakukan serangan balasan dan berhasil menghancurkan kerajaan Dharmawangsa. Pada tahun 1025 M, Sriwijaya mendapat serangan yang melumpuhkan dari kerajaan Cola, India. Walaupun demikian, serangan tersebut belum mampu melenyapkan Sriwijaya dari muka bumi. Hingga awal abad ke-13 M, Sriwijaya masih tetap berdiri, walaupun kekuatan dan pengaruhnya sudah sangat jauh berkurang.

Silsilah
Salah satu cara untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah dengan melakukan perkawinan dengan kerajaan lain. Hal ini juga dilakukan oleh penguasa Sriwijaya. Dapunta Hyang yang berkuasa sejak 664 M, melakukan pernikahan dengan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan Tarumanegara, Linggawarman. Perkawinan ini melahirkan seorang putra yang menjadi raja Sriwijaya berikutnya: Dharma Setu. Dharma Setu kemudian memiliki putri yang bernama Dewi Tara. Putri ini kemudian ia nikahkan dengan Samaratungga, raja Kerajaan Mataram Kuno dari Dinasti Syailendra. Dari pernikahan Dewi Setu dengan Samaratungga, kemudian lahir Bala Putra Dewa yang menjadi raja di Sriwijaya dari 833 hingga 856 M. Berikut ini daftar silsilah para raja Sriwijaya:
Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683, Talang Tuo, 684).
1. Cri Indrawarman (berita Cina, tahun 724).
2. Rudrawikrama (berita Cina, tahun 728, 742).
3. Wishnu (prasasti Ligor, 775).
4. Maharaja (berita Arab, tahun 851).
5. Balaputradewa (prasasti Nalanda, 860).
6. Cri Udayadityawarman (berita Cina, tahun 960).
7. Cri Udayaditya (berita Cina, tahun 962).
8. Cri Cudamaniwarmadewa (berita Cina, tahun 1003, prasasti Leiden, 1044).
9. Maraviyayatunggawarman (prasasti Leiden, 1044).
10. Cri Sanggaramawijayatunggawarman (prasasti Chola, 1044).

Periode Pemerintahan
Kerajaan Sriwijaya berkuasa dari abad ke-7 hingga awal abad ke-13 M, dan mencapai zaman keemasan di era pemerintahan Balaputra Dewa (833-856 M). Kemunduran kerajaan ini berkaitan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di Sumatera, dan munculnya kekuatan Singosari dan Majapahit di Pulau Jawa.
Wilayah Kekuasaan
Dalam sejarahnya, kerasaan Sriwijaya menguasai bagian barat Nusantara. Salah satu faktor yang menyebabkan Sriwijaya bisa menguasai seluruh bagian barat Nusantara adalah runtuhnya kerajaan Fu-nan di Indocina. Sebelumnya, Fu-nan adalah satu-satunya pemegang kendali di wilayah perairan Selat Malaka. Faktor lainnya adalah kekuatan armada laut Sriwijaya yang mampu menguasai jalur lalu lintas perdagangan antara India dan Cina. Dengan kekuatan armada yang besar, Sriwijaya kemudian melakukan ekspansi wilayah hingga ke pulau Jawa. Dalam sumber lain dikatakan bahwa, kekuasaan Sriwijaya sampai ke Brunei di pulau Borneo.
Dari prasasti Kota Kapur yang ditemukan JK Van der Meulen di Pulau Bangka pada bulan Desember 1892 M, diperoleh petunjuk mengenai Kerajaan Sriwijaya yang sedang berusaha menaklukkan Bumi Jawa. Meskipun tidak dijelaskan wilayah mana yang dimaksud dengan Bhumi Jawa dalam prasasti itu, beberapa arkeolog meyakini, yang dimaksud Bhumi Jawa itu adalah Kerajaan Tarumanegara di Pantai Utara Jawa Barat. Selain dari isi prasasti, wilayah kekuasaan Sriwijaya juga bisa diketahui dari persebaran lokasi prasasti-prasasti peninggalan Sriwjaya tersebut. Di daerah Lampung ditemukan prasasti Palas Pasemah, di Jambi ada Karang Berahi, di Bangka ada Kota kapur, di Riau ada Muara Takus. Semua ini menunjukkan bahwa, daerah-daerah tersebut pernah dikuasai Sriwijaya. Sumber lain ada yang mengatakan bahwa, kekuasaan Sriwijaya sebenarnya mencapai Philipina. Ini merupakan bukti bahwa, Sriwijaya pernah menguasai sebagian besar wilayah Nusantara.
Struktur Pemerintahan
Kekuasaan tertinggi di Kerajaan Sriwijaya dipegang oleh raja. Untuk menjadi raja, ada tiga persyaratan yaitu:
1. Samraj, artinya berdaulat atas rakyatnya.
2. Indratvam, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu memberikan kesejahteraan pada rakyatnya.
3. Ekachattra. Eka berarti satu dan chattra berarti payung. Kata ini bermakna mampu memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya.
Penyamaan raja dengan Dewa Indra menunjukkan raja di Sriwijaya memiliki kekuasaan yang bersifat transenden.
Belum diketahui secara jelas bagaimana struktur pemerintahan di bawah raja. Salah satu pembantunya yang disebut secara jelas hanya senapati yang bertugas sebagai panglima perang.
Kehidupan Ekonomi, Sosial, Budaya
Sebagai kerajaan besar yang menganut agama Budha, di Sriwijaya telah berkembang iklim yang kondusif untuk mengembangkan agama Budha tersebut. Dalam catatan perjalanan I-tsing disebutkan bahwa, pada saat itu, di Sriwijaya terdapat seribu pendeta. Dalam perjalanan pertamanya, I-tsing sempat bermukim selama enam bulan di Sriwijaya untuk mendalami bahasa Sansekerta. I-tsing juga menganjurkan, jika seorang pendeta Cina ingin belajar ke India, sebaiknya belajar dulu setahun atau dua tahun di Fo-shih (Palembang), baru kemudian belajar di India. Sepulangnya dari Nalanda, I-tsing menetap di Sriwijaya selama tujuh tahun (688-695 M) dan menghasilkan dua karya besar yaitu Ta T‘ang si-yu-ku-fa-kao-seng-chuan dan Nan-hai-chi-kuei-nei-fa-chuan (A Record of the Budhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago) yang selesai ditulis pada tahun 692 M. Ini menunjukkan bahwa, Sriwijaya merupakan salah satu pusat agama Budha yang penting pada saat itu.
Sampai awal abad ke-11 M, Kerajaan Sriwijaya masih merupakan pusat studi agama Buddha Mahayana. Dalam relasinya dengan India, raja-raja Sriwijaya membangun bangunan suci agama Budha di India. Fakta ini tercantum dalam dua buah prasasti, yaitu prasasti Raja Dewapaladewa dari Nalanda, yang diperkirakan berasal dari abad ke-9 M; dan prasasti Raja Rajaraja I yang berangka tahun 1044 M dan 1046 M.
Prasasti pertama menyebutkan tentang Raja Balaputradewa dari Suwarnadwipa (Sriwijaya) yang membangun sebuah biara; sementara prasasti kedua menyebutkan tentang Raja Kataha dan Sriwijaya, Marawijayayottunggawarman yang memberi hadiah sebuah desa untuk dipersembahkan kepada sang Buddha yang berada dalam biara Cudamaniwarna, Nagipattana, India.
Di bidang perdagangan, Kerajaan Sriwijaya mempunyai hubungan perdagangan yang sangat baik dengan saudagar dari Cina, India, Arab dan Madagaskar. Hal itu bisa dipastikan dari temuan mata uang Cina, mulai dari periode Dinasti Song (960-1279 M) sampai Dinasti Ming (abad 14-17 M). Berkaitan dengan komoditas yang diperdagangkan, berita Arab dari Ibn al-Fakih (902 M), Abu Zayd (916 M) dan Mas‘udi (955 M) menyebutkan beberapa di antaranya, yaitu cengkeh, pala, kapulaga, lada, pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak, kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah, dan penyu. Barang-barang ini dibeli oleh pedagang asing, atau dibarter dengan porselen, kain katun dan kain sutra.

PERKEMBANGAN AGAMA HINDU PADA SAAT KERAJAAN KALINGGA

Kalingga adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Tengah, yang pusatnya berada di daerah Kabupaten Jepara sekarang. Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.
Putri Maharani Shima, Parwati, menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Mandiminyak, yang kemudian menjadi raja kedua dari Kerajaan Galuh.
Maharani Shima memiliki cucu yang bernama Sanaha yang menikah dengan raja ketiga dari Kerajaan Galuh, yaitu Brantasenawa. Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama Sanjaya yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732 M).
Setelah Maharani Shima meninggal di tahun 732 M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram, dan kemudian mendirikan Dinasti/Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.
Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban.
Kemudian Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran.
Pada abad ke-5 muncul Kerajaan Ho-ling (atau Kalingga) yang diperkirakan terletak di utara Jawa Tengah. Keterangan tentang Kerajaan Ho-ling didapat dari prasasti dan catatan dari negeri Cina. Pada tahun 752, Kerajaan Ho-ling menjadi wilayah taklukan Sriwijaya dikarenakan kerajaan ini menjadi bagian jaringan perdagangan Hindu, bersama Malayu dan Tarumanagara yang sebelumnya telah ditaklukan Sriwijaya. Ketiga kerajaan tersebut menjadi pesaing kuat jaringan perdagangan Sriwijaya-Buddha.
Catatan dari zaman Dinasti Tang
Cerita Cina pada zaman Dinasti Tang (618 M - 906 M) memberikan tentang keterangan Ho-ling sebagai berikut.
• Ho-ling atau disebut Jawa terletak di Lautan Selatan. Di sebelah timurnya terletak Pulau Bali dan di sebelah barat terletak Pulau Sumatera.
• Ibukota Ho-ling dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tonggak kayu.
• Raja tinggal di suatu bangunan besar bertingkat, beratap daun palem, dan singgasananya terbuat dari gading.
• Penduduk Kerajaan Ho-ling sudah pandai membuat minuman keras dari bunga kelapa
• Daerah Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak dan gading gajah.
Catatan dari berita Cina ini juga menyebutkan bahwa sejak tahun 674, rakyat Ho-ling diperintah oleh Ratu Sima (Simo). Ia adalah seorang ratu yang sangat adil dan bijaksana. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Ho-ling sangat aman dan tentram.
[sunting] Catatan I-Tsing
Catatan I-Tsing (tahun 664/665 M) menyebutkan bahwa pada abad ke-7 tanah Jawa telah menjadi salah satu pusat pengetahuan agama Buddha Hinayana. Di Ho-ling ada pendeta Cina bernama Hwining, yang menerjemahkan salah satu kitab agama Buddha. Ia bekerjasama dengan pendeta Jawa bernama Janabadra. Kitab terjemahan itu antara lain memuat cerita tentang Nirwana, tetapi cerita ini berbeda dengan cerita Nirwana, tetapi cerita ini berbeda dengan cerita Nirwana dalam agama Buddha Hinayana.
[sunting] Prasasti
Prasasti peninggalan Kerajaan Ho-ling adalah Prasasti Tukmas. Prasasti ini ditemukan di Desa Dakwu daerah Grobogan, Purwodadi di lereng Gunung Merbabu di Jawa Tengah. Prasasti bertuliskan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Prasasti menyebutkan tentang mata air yang bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan dengan Sungai Gangga di India. Pada prasasti itu ada gambar-gambar seperti trisula, kendi, kapak, kelasangka, cakra dan bunga teratai yang merupakan lambang keeratan hubungan manusia dengan dewa-dewa Hindu.

Selasa, 12 Oktober 2010

KODEFIKASI DAN KLASIFIKASI VEDA

I. KODIFIKASI VEDA SRUTI
Pada mulanya para maharsi menerima wahyu itu lama kemudian ketika tulisan ditemukan, barulah dituliskan kembali mantram-mantram Veda itu. Tradisi pembelajaran Veda pada jaman dulu disebut sakha yang kemudian berkembang menjadi sampradaya atau asrama, yakni pusat pembelajaran Veda yang dipimpin oleh seorang maharsi atau lebih. Di dalam asrama itu wahyu Tuhan didiskusikan dan diteruskan secara lisan melalui sistem parampara dalam tradisi Hindu. Dan diyakini yang menghimpun atau mengkompilasi mantram-mantram Veda (Sruti) yang sebelumnya tersebar dalam berbagai sakha adalah Maharsi Vyasa. Veda disusun dan dituliskan kembali oleh Maharsi Vyasa dalam 4 himpunan dibantu 4 orang siswanya yaitu :
1. Pulaha, yang menyusun Rgveda yang merupakan himpunan pengetahuan suci yang berhubungan dengan pemujaan.
2. Vaisampayana, yang menyusun Yajurveda yang isinya pengetahuan suci tentang upacara korban.
3. Jaimini, yang menyusun Samaveda yang berisi himpunan pengetahuan suci tentang irama (melodi).
4. Sumantu, yang menyusun Atharvaveda yang berisi nyanyian-nyanyian yang bersifat magis.
Pengelompokkan dari keempat kitab Veda (Sruti) itu terdiri dari :
1. Samhita yakni himpunan mantra-mantra Veda yang mengandung mantra upasana (doa kebaktian, pemujaan, ucapan syukur, mantra-mantra upacara korban), ajaran filsafat dan tata susila, pendidikan, dan lain-lain.
2. Brahmana yakni uraian tentang ketuhanan/teologi teristimewa observasi tentang jalannya upacara korban atau mistis dari upacara korban yang dilakukan oleh individu atau kelompok.
3. Aranyaka dan Upanisad. Aranyaka berarti buku hutan dan Upanisad berarti ajaran yang bersifat rahasia (rahasyam). Di dalam kitab-kitab tersebut terkandung ajaran tentang teologi, ajaran filsafat Hindu yang sangat mendalam dan medias atau kehidupan menjadi pertapa di hutan, juga ajaran Yoga untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.
I.A. Rgveda
Rgveda terdiri dari 1028 sukta (himne), 10.552 mantra. Terbagi atas 10 mandala dan masing-masing mandala terdiri dari beberapa sukta atau varga (himne) dan masing-masing sukta terdiri dari beberapa mantra. Rgveda memiliki beberapa resensi yaitu resensi Sakala, Baskala, Aswalayana, Samkhyayana dan Mandukaya. Resensi Sakala adalah resensi yang paling lengkap.
Kitab Aitareya (40 adhyaya) dan Kausitaki (Samkhyayana) (30) merupakan kitab Brahmana dari Rgveda. Aitareya umurnya lebih tua dan isinya lebih tebal, tetapi Kausitaki lebih kaya dan isinya lebih bervariasi. Aitareya ditulis oleh Mahidasa Aitareya; isinya ialah persembahan Soma, Agnihotra (persembahan api) dan Rajasuya (upacara penobatan raja). Kausitaki memuat 30 adhyaya; adhyaya 1 sampai 6 berisi tentang persembahan makanan, sedangkan adhyaya 7 sampai 30 tentang upacara persembahan Soma.
Aitareya Brahmana memuat Aitareya Aranyaka dan Kausitaki Brahmana memuat Kausitaki Aranyaka. Upanisad yang tergolong dalam Rgveda ada 10 buah yaitu : Aitareya, Kausitaki, Nadabindu, Atmaprabodha, Nirvana, Mudgala, Aksamalika, Tripura, Sambhagya dan Bahvrca.
I.B. Samaveda
Samaveda terdiri dari 1875 mantra yang sebagian besar diambil dari mantra-mantra Rgveda (1800 mantra merupakan pengulangan dari mantra-mantra Rgveda, 2 mantra berasal dari Yajurveda). Terdapat 3 resensi Samaveda yaitu Kauthuma, Ranayaniya dan Jaiminiya (Jaiminiya merupakan yang terpenting). Kauthuma terdiri dari 2 bagian yaitu Mantra dan Brahmana. Kitab Mantra terdiri dari 2 sub bagian yaitu Purvarcika (dari Rgveda) dan Uttararcika (mantra tambahan)
Kitab Brahmana dalam Samaveda adalah Tandyamaha Brahmana (Pancavimsa Brahmana), Jaiminiya Brahmana, Talavakara dan Kautama. Tandyamaha Brahmana terdiri dari 25 bab, 2 bab merupakan sisipan yang dianggap bagian yang berdiri sendiri dengan satu tambahan yang disebut Sadvimsa Brahmana.
Pada bagian awal dari Chandogya Upanisad merupakan kitab Aranyaka dari kitab Brahmana kitab Samaveda. Upanisad yang tergolong dalam Samaveda adalah Kena, Chandogya, Aruni, Maitrayani, Vajrasucika, Yogacundamani, Vasudeva, Mahat, Sanyasa, Avyakta, Kundika, Savitri, Rudraksa Jabala, Darsana, Jabali dan Maitreyi.
I.C. Yajurveda
Yajurveda terdiri dari 1975 mantra yang tersebar kedalam 40 adhyaya. Adhyaya yang terbesar adalah adhyaya 12 yang terdiri dari 117 mantra, diikuti oleh adhyaya 17 (99 mantra), adhyaya 24 ( 98 mantra), adhyaya 33 (97 mantra), adhyaya 19 (95 mantra), adhyaya 20 (90 mantra), adhyaya 11 (83 mantra); yang terpendek adalah adhyaya 39 (13 mantra). Ada 2 bagian kitab Yajurveda yaitu:
1. 1. Sukla Yajurveda; terdiri dari 2 resensi yaitu Kanva dan Madhyandina ( Vajasaneyi). Kitab Brahmana dari Yajurveda adalah Satapatha Brahmana ( mengatur tentang upacara ) yang terbagi atas 100 adhyaya yang disusun oleh Yajnavalkya Vajasaneya. Upanisad yang tergolong dalam kelompok Sukla Yajurveda adalah Isavasya, Brhadaranyaka, Jabala, Hamsa, Paramahamsa, Subala, Mantrika, Nirambha, Trisikhi, Brahmana, Turiyatita, Advayataraka, Paingala, Biksu, Adhyatma, Tarasara, Yajnavalkya, Satyayani, Muktika, Mandala Brahmana.
2. 2. Krsna Yajurveda; memiliki 4 resensi yaitu Kathaka, Kapisthala Katha, Maitrayani dan Taittiriya. Taittiriya terbagi atas 2 bagian yaitu Apastaba dan Hiranyakesin. Taittiriya Brahmana merupakan kitab Brahmana dari Krsna Yajurveda. Upanisad yang termasuk dalam kelompok Krsna Yajurveda antara lain: Kathavali, Taittiriya, Brahma, Kaivalya, Svetasvatara, Garbha, Narayana, Amrtabindu, Amrta-nada, Kalagnirudra, Sarvasara, Sukharahasya, Tejobindu, Dhyanabindu, Yogatattva, Daksinamurti, Skanda, Sariraka, Yogasikha, Ekaksara, Aksi, Avaduta, Katha, Rudrahrdya, Yoga kundalini, Pancabrahma, Pranagnihotra, Varaha, Kalisamtarana, Sarasvatirahasya, Ksurika.
I.D Atharvaveda
Atharvaveda ditulis oleh Maharsi Atharvan, terdiri dari 5987 mantra, 20 kanda dimana tiap-tiap kanda terbagi atas himne dan tiap-tiap himne terdapat beberapa mantra. Kanda 1 sampai 7 mengandung nyanyian-nyanyian pendek, kanda 8 sampai 12 mengandung nyanyian yang lebih panjang, kanda 13 berisi nyanyian-nyanyian yang ditujukan kepada matahari (Rohita), kanda 14 berisi nyanyian-nyanyian perkawinan, kanda 15 tentang Vratya, kanda 18 tentang nyanyian untuk orang mati.
Aslinya terdapat 9 resensi tentang Atharvaveda dan kini yang masih tersisa hanyalah resensi dari Sakha Paippalada dan Saunaka. Sembilan resensi itu adalah Paippalada, Danta, Pradanta, Snata, Snauta, Brahmadavala, Saunaka, Devadarsani dan Caranavidya.
Gopatha Brahmana adalah kitab Brahmana dari Atharvaveda. Upanisad yang masuk dalam kelompok Atharvaveda antara lain: Prasna, Mundaka, Mandukya, Atharvasira, Atharvasikha, Brhajabala, Nrsimhatapani, Naradaparivrajaka, Sita, Sarabha, Mahanarayana, Ramarahasya, Ramatapani, Sandilya, Annapurna, Surya, Atma, Pasupata, Parabrahma, Tripuratapani, Dewi, Paramahamsa, Parivrajaka, Bhawana, Ganapati, Mahavakya, Gopalatapani, Krsna, Brahmajabala, Hayagriva, Dattareya, Garuda.

Penciptaan Alam Semesta Menurut Veda

Penciptaan Alam Semesta Menurut Veda

Dalam Manawa Dharmasastra 1.5; dijelaskan bahwa Alam semerta ini pada mulanya adalah bentuk kegelapan, tak dapat dilihat tanpa ciri2 sama sekali, tak terjangkau leh daya pikiran, tak dapat dikenal, se-olah2 sebagai orang yang tenggelam dalam tidur yang paling menyenyakan.

Chandogya Upanisad 3.14.1 menyatakan bahwa semuanya adalah Brahman.
Tidak ada neraka abadi karena bahkan neraka pun tidak bisa dipisahkan dengan Tuhan. Bahkan, tidak ada surga atau neraka pada akhir zaman. Semesta hanyalah manifestasi dari Yang Kuasa, dan akhir dari siklus semesta yang sekarang disebut “Mahapralaya” saat semua kembali pada Purusa. Di akhir zaman, tidak ada surga, tidak ada neraka dan tidak ada jiwa.

Matsya Purana 2.25-30, penciptaan diceritakan terjadi setelah Mahapralaya, leburnya alam semesta, kegelapan di mana-mana. Semuanya dalam keadaan tidur. Tidak ada materi apapun, baik yang bergerak maupun tak bergerak. Lalu Svayambhu, self being, menjelma, yang merupakan bentuk di luar indra. Ia menciptakan air/cairan pertama kali, dan menciptakan bibit penciptaan di dalamnya. Bibit itu tumbuh menjadi telur emas. Lalu Svayambhu memasuki telur itu, dan disebut Visnu karena memasukinya.

Manawa Dharmasastra 1.8-11; Ia (Tuhan) yang ingin menciptakan dirinya sendiri semua makhluk2 hidup yang beranekaragam, mula2 dengan pikiranNYa terciptalah benih dan benih itupun menjadi telor alam yang maha suci dan maha terang, dalam telor itulah Ia menciptakan dirinya sebagai Brahman, pencipta dan cikal bakal dari alam semesta. dari cikal bakal (sebab) yang pertama ini, yang tak berbedakan, kekal yang nyata dan tak nyata, munculah purusa.

Rg. Veda menjelaskan bahwa sebelum penciptaan Alam semesta dalam bentuk tak berwujud yang disebut rahim emas, rahim dari semesta atau Hiranyagharba.
“Sebelum penciptaan adalah rahim emas, ia adalah tuan dari segala yang lahir. Ia memegang bumi.” – Rg. Veda 10.121.1

Sebelum penciptaan yang ada hanya kosong. Belum ada ruang maupun waktu. Tak ada materi.
“Pada mulanya sama sekali tiada apapun. Tiada surga, tiada bumi dan atmosfer.” - Taittiriya Brahmana 2.2.9.1
“Seluruh semesta termasuk bulan, matahari, galaksi dan planet-planet ada di dalam telur. Telur ini dikelilingi oleh sepuluh kualitas dari luar.” - Vayu Purana 4.72-73
“Di akhir dari ribuan tahun, Telur itu dibagi dua oleh Vayu.” - Vayu Purana 24.73
“Dari telur emas, alam material diciptakan.” - Manusmrti 1.13

istilah telur emas atau telur alam sekedar merupakan bahasa yang melukiskan sifat2 yang mengandung ide kesucian / keistimewaan. Saat Penciptaan Semesta, Purusa/Prajapati/Brahman menciptakan dua kekuatan yang disebut Purusa yaitu kekuatan hidup (batin / nama) dan Prakerti (pradana/rupa) yaitu kekuatan kebendaan. Kemudian timbul “citta” yaitu alam pikiran yang dipengaruhi oleh Tri Guna yaitu Satwam (sifat kebenaran / Dharma), Rajah (sifat kenafsuan / dinamis) dan Tamah (Adharma / kebodohan / apatis). Kemudian timbul Budi (naluri pengenal), setelah itu timbul Manah (akal dan perasaan), selanjutnya timbul Ahangkara (rasa keakuan). Setelah ini timbul Dasa indria (sepuluh indria/gerak keinginan) yang terbagi dalam kelompok;
• Panca Budi Indria yaitu lima gerak perbuatan/rangsangan: Caksu indria (penglihatan), Ghrana indria (penciuman), Srota indria (pendengaran), Jihwa indria (pengecap), Twak indria (sentuhan atau rabaan).
• Panca Karma Indria yaitu lima gerak perbuatan/penggerak: Wak indria (mulut), Pani (tangan), Pada indria (kaki), Payu indria (pelepasan), Upastha indria (kelamin).
Setelah itu timbullah lima jenis benih benda alam ( Panca Tanmatra): Sabda Tanmatra (suara), Sparsa Tanmatra (rasa sentuhan), Rupa Tanmatra (penglihatan), Rasa Tanmatra (rasa), Gandha Tanmatra (penciuman). Dari Panca Tanmatra lahirlah lima unsur-unsur materi yang dinamakan Panca Maha Bhuta, yaitu Akasa (ether), Bayu (angin), Teja (sinar), Apah (zat cair) dan Pratiwi (zat padat).
Pancamahabhuta berbentuk Paramānu atau benih yang lebih halus daripada atom. Pada saat penciptaan, Pancamahabhuta bergerak dan mulai menyusun alam semesta dan mengisi kehampaan. Setiap planet dan benda langit tersusun dari kelima unsur tersebut, namun kadangkala ada salah satu unsur yang mendominasi.

“dan juga diciptakan tingkatan daripada Dewa2 yang memiliki hidup dan sifat bergerak, juga diciptakan Sandhya serta Yadnya yang kekal. diciptakan juga olehNYA waktu, bagian dari waktu, gugusan2, bulan2 dan planet2” - Manawa Dharmasastra 1.22-24
“dengan memakai lima macam unsur alam yang halus (panca tanmatra) sebagai sarana seluruh alam ini dibentuk olehNya dengan susunan yang teratur secara sempurna, Ia menentukan tujuan dari ciptaannya untuk selanjutnya arah itu merupakan jalan yang tetap dari ciptaanya yang mengikutinya” - Manawa Dharmasastra 1.27-28

Unsur-unsur tersebut dicampur dengan Citta, Buddhi, Ahamkara, Dasendria, Pancatanmatra dan Pancamahabhuta. Dari pencampuran tersebut, timbulah benih makhluk hidup, yaitu Swanita dan Sukla. Pertemuan kedua benih tersebut menyebabkan terjadinya makhluk hidup.

Teori penciptaan Veda lebih jauh dijelaskan dalam Bhagavata Purana/ Srimad Bhagavatam;
Srimad Bhagavatam (3.11.41) menjelaskan: “Lapisan-lapisan unsur yang menutupi alam semesta, masing-masing sepuluh kali lebih tebal dari lapisan sebelumnya, dan kumpulan seluruh alam semesta bersama-sama kelihatan bagai atom-atom dalam kombinasi yang besar.”
Srimad Bhagavatam (5.20.43-46) : “Matahari berada di pertengahan alam semesta, yaitu di wilayah ruang (antariksha) antara Bhurloka dan Bhuvarloka”

Sementara itu pada Srimad Bhagavatam skanda 5 bab 24 mengatakan munculnya alam semesta dari pori-pori Tuhan dalam wujud Karanodakasayi Visnu, dari sini muncul Garbhodakasayi Visnu yang berikutnya dari pusar Beliau muncul bentuk yang menyerupai bunga padma. Di atas bunga padma inilah Tuhan menciptakan mahluk hidup yang pertama, yaitu Dewa Brahma. Dewa Brahma diberi wewenang sebagai arsitek yang menciptakan susunan galaksi beserta isinya dalam satu alam semesta yang dikuasainya. Alam semesta berjumlah jutaan dan tidak terhitung banyaknya yang muncul dari pori-pori Karanodakasayi Visnu dan setiap alam semesta memiliki dewa Brahma yang berbeda-beda.

Ada Dewa Brahma yang berkepala 4 seperti yang dijelaskan menguasai alam semesta tempat bumi ini berada. Dan ada juga Brahma yang lain yang memiliki atribut yang berbeda, berkepala 8, 16, 32 dan sebagainya. Yang jelas dapat disimpulkan bahwa Brahma adalah merupakan kedudukan dalam sebuah alam semesta dan di seluruh jagat material terdapat sangat banyak dewa Brahma, bukan saja dewa Brahma bermuka empat yang telah biasa dibicarakan oleh umat Hindu saat ini.

Hal pertama yang diciptakan Brahma adalah susunan benda antariksa, planet, bintang dan sejenisnya mulai dari tingkatan paling halus sampai dengan yang paling kasar. Dalam penciptaan ini dijelaskan bahwa Tuhan menjelma sebagai Ksirodakasayi Visnu dan masuk kedalam setiap atom. Inilah kemahahebatan Tuhan sebagai maha ada dan menguasai setiap unsur dalam ciptaannya. Setelah itu Dewa Brahma menciptakan berbagai jenis kehidupan mulai dari para dewa, alien, mahluk halus, binatang, tumbuhan sampai pada bakteri yang keseluruhannya berjumlah 8.400.000 jenis kehidupan.

Ketika alam semesta berekspansi, Ia juga diberi nama Virata yang diturunkan dari akar kata ‘Vr’ yang artinya untuk menutupi yang juga berarti ‘sangat besar’.
“Vrtra menutupi kesemua tri loka.” - Taittiriya Samhita 2.4.12.2
“Vrtra berada jauh di atas di Antariksa.” – Rg.Veda 2.30.3
Tri loka melukiskan alam semesta, jadi disini Vrtra menutupi alam semesta. Jika Vrtra ada di batas alam semesta, ia bisa dikatakan berada ditempat yang jauh sekali.

Dalam Rg.Veda 1.32 dilukiskan bahwa Vrtra (sang ular) menahan air, dimatra 12 dijelaskan bahwa kekalahan Vrtra dari Indra membebaskan tujuh sungai untuk mengalir. Pembebasan tujuh sungai (sapta sindhu) oleh Indra bukanlah disebutkan hanya satu kali, tapi berulang-ulang kali dalam Rg.Veda. Ide dimana ular menahan air juga ditemukan dalam manuskrip yang berbeda-beda diseluruh dunia.

Mitos dari Quiches, suku Indian di Amerika Selatan, bisa ditemukan di Popol Vuh. Suku Quiches percaya bahwa pada mulanya adalah air dan ular berbulu.

Dalam Rg.Veda 4.17.13 Indra disebut sebagai Asanimana yang artinya Ia yang menguasai petir. Lebih lanjut dalam Kausitaki Brahmana 6.9, Indra disebut sebagai Asani (petir). Satapatha Brahmana mengatakan: “Siapakah Indra dan siapakah Prajapati? Petir adalah Indra dan Yajna adalah Prajapati.” - Satapatha Brahmana 11.6.3.9

Lebih lanjut dalam Rg.Veda bab II.72.4 disebutkan
“Aditer dakso ajayata, daksad uaditih pari” artinya : Dari aditi (materi) asalnya daksa (energi) dan dari daksa (energi) asalnya aditi (materi).
Mengakomodir pemaparan ayat-ayat Veda tentang penciptaan alam semesta, Veda mengajukan teori baru yang berbeda dengan teori penciptaan yang umum dikenal sekarang.

Secara garis besar Veda mengatakan bahwa alam semesta muncul dari pori-pori Tuhan yang merupakan energi maha besar dan berikutnya berkembang dan terus meluas membentuk materi yang memenuhi semesta raya.

Lebih lanjut, Srimad Bhagavatam dalam skanda yang sama menjelaskan pada akhir peleburan suatu alam semesta, alam semesta akan kembali masuk ke dalam pori-pori Tuhan.

Sementara itu pada akhir abad ke-20 para ilmuan mengamati adanya lubang hitam yang memiliki medan gravitasi sangat besar dan bahkan menarik cahaya masuk ke dalamnya, benda inilah yang disebut sebagai Black Hole. Jadi dikaitkan dengan fenomena tertariknya materi termasuk cahaya ke dalam lubang hitam ini, penulis mengajukan hipotesa dengan nama baru sesuai dengan konsep penciptaan dan peleburan alam semesta versi Veda, yaitu konsep Black Hole – White Hole. Meskipun pada kenyataannya saat ini belum satupun ilmuan yang mengamati keberadaan White Hole, White Hole barulah sebuah teori yang dihasilkan dari pemodelan Relativitas umum.

Black Hole adalah sebagai lubang tempat materi (aditi) kembali berubah menjadi energi (daksa) dan White Hole adalah lubang tempat energi (daksa) berubah menjadi materi (aditi). Dari satu White Hole akan terbentuk gelembung besar yang pada akhirnya membentuk satu alam semesta yang antara satu alam semesta dengan alam semesta lainnya masing-masing dibatasi oleh tegangan permukaan/lapisan yang sangat kuat [lihat Srimad Bhagavatam (3.11.41) ].

Dalam satu alam semesta sendiri juga terbentuk gelembung-gelembung (phena) yang memberi jarak yang tidak merata antara satu susunan galaksi dengan yang lainnya [lihat Satapatha Brahmana 6.1.3.2] Sementara itu di jagat raya terdapat jutaan White Hole yang masing-masing memunculkan satu gelembung alam semesta. Akankah fenomena White Hole belum teramati oleh teleskop tercanggih, Hubble sampai saat ini? White Hole muncul saat awal lahirnya alam semesta material. Hanya saja, apakah saat ini proses penciptaan alam material sebagaimana lahirnya alam semesta masih berlangsung?

Penciptaan Manusia dan Isi Bumi
Teori penciptaan Veda mengenai isi bumi dapat dilihat dalam kitab Veda Smriti yaitu Manawa Dharma sastra. disana disebutkan Brahman menciptakan mahlkuk hidup dan isi alam ini melalui tapaNya;
“kemudian Aku ingin menciptakan mahluk2 hidup, menjalankan tapa dengan maksud menciptakan sepuluh maharsi pemimpin dari mahluk hidup” - Manawa Dharmasastra 1.34
“mereka menjelmakan Tujuh Manu lagi yang memiliki cahaya cemerlang, para dewa dengan tingkat2annya dan maharsi yang memiliki kekuatan batin yang tinggi” - Manawa Dharmasastra 1.36
“diciptakan pula para yaksa, raksasa dan banyak tingkatan roh, kilat, guruh, mendung, pelangi, hujan, suara2 gaib, bintang2 yang bergerak serta sinar2 langit yang beraneka ragam. para kinnara, tumbuhan, berbagai jenis ikan, kura2, burung2, binatang, manusia dan segala macam benda2 tak bergerak. demikian semua ciptaan yang bergerak maupun tak bergerak, diciptakan oleh MahaAtma dengan kekuatan tapanya, semuanya atas perintahKu dan menurut hasil daripada perbuatannya” - Manawa Dharmasastra 1.37-41.
“ada Enam Manu lagi yang berjiwa suci dan berpikiran sangat tinggi, yang menjadi warga manu keturunan dari Swayambhu Manu yang telah menjadikan semua mahluk hidup di dunia ini” - Manawa Dharmasastra 1.61
“ketujuh Manu yang gemilang ini yang pertama adalah Swayambhu Manu, mengadakan dan melindungi semua mahluk hidup dan benda mati di dunia ini sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan baginya” - Manawa Dharmasastra 1.63

Dalam agama Hindu, Manu adalah pemimpin setiap Manwantara, yaitu suatu kurun zaman dalam satu kalpa. Ada empat belas Manwantara, sehingga ada empat belas Manu. Daftar para Manu dipaparkan di bawah ini dari manu pertama sampai manu ke empat belas; Swayambu, Swarocisa, Utama, Tamasa, Raiwata, Caksusa, Waiwaswata, Sawarni, Daksasawarni, Brahmasawarni, Darmasawarni, Rudrasawarni, Rocya atau Dewasarni dan Botya atau Indrasawarni. Zaman sekarang adalah Manwantara ketujuh dan oleh Manu ketujuh yang bergelar Waiwaswata Manu. Jadi, tujuh Manwantara lainnya akan terjadi di masa depan, dan dipimpin oleh seorang Manu yang baru. Menurut Hindu, keberadaan alam semesta tak lepas dari siklus kalpa. Satu kalpa berlangsung selama jutaan tahun, dan satu kalpa terdiri dari empat belas Manwantara (siklus Manu).

Manu yang pertama adalah Swayambu Manu, sebagai kakek moyang manusia. Swayambu Manu menikah dengan Satarupa dan memiliki keturunan. Anak cucu dari Manu disebut Manawa (secara harfiah berarti keturunan Manu), merujuk kepada manusia zaman sekarang. Menurut agama Hindu, Swayambu Manu dan Satarupa merupakan pria dan wanita pertama di dunia .

Waiwaswata Manu, atau Manu yang sekarang, dikatakan merupakan putra dari Surya (Wiwaswan), yaitu dewa matahari menurut mitologi Hindu. Waiwaswata Manu terlahir pada zaman Satyayuga dan mendirikan kerajaan bernama Kosala, dengan pusat pemerintahan di Ayodhya. Ia memiliki sepuluh anak: Wena, Dresnu (Dresta), Narisyan (Narisyanta), Nabaga, Ikswaku, Karusa, Saryati, Ila, Persadru (Persadra), dan Nabagarista. Dalam kitab Matsyapurana, ia muncul sebagai raja yang menyelamatkan umat manusia dari bencana air bah setelah mendapat pesan dari Wisnu yang berwujud ikan (Matsya Awatara). Cerita penyelamatan raja dan mahluk hidup ini sangat mirip dengan riwayat Nabi Nuh (kisah perahu Noah/Nuh dalam torah) yang menyelamatkan mahluk hidup dari bencana air bah.

Manwantara (Sanskerta: मन्वन्तर ) adalah satuan waktu dalam agama Hindu yang terdiri dari 71 Mahayuga. Menurut mitologi Hindu, bila 14 Manwantara telah berlalu, maka seluruh dunia akan dihancurkan. Saat ini, sudah enam manwantara berlalu dan zaman sekarang adalah manwantara ketujuh. Jadi, masih ada tujuh manwantara lagi sebelum dunia dihancurkan.

Menurut kitab Purana, dunia terbagi menjadi empat zaman, diawali oleh Satyayuga (zaman kebenaran), dan diakhiri oleh Kaliyuga (zaman kegelapan). Setelah Kaliyuga berakhir, dimulailah Satyayuga yang baru. Demikian seterusnya dan siklus dari zaman Satyayuga menuju Kaliyuga disebut Mahayuga. Menurut kitab Brahmapurana, satu Mahayuga berlangsung selama 12.000 tahun para dewa atau 4.320.000 tahun manusia.

Secara singkat diuraikan sebagai berikut:
Satyayuga (1.728.000 tahun), Tretayuga (1.296.000 tahun), Dwaparayuga (864.000 tahun), Kaliyuga (432.000 tahun), Sehinga lama Mahayuga (4.320.000 tahun)

71 Mahayuga membentuk satu manwantara. Dengan demikian, lama berlangsungnya 1 manwantara dapat dihitung sebagai berikut:
• 1 Mahayuga = 4.320.000 tahun
• 71 Mahayuga = 1 Manwantara
• 1 Manwantara = 71 × 4.320.000 tahun = 306.720.000 tahun
Maka, satu manwantara berlangsung selama 306.720.000 tahun. Setelah 14 manwantara berlangsung, maka tercapailah periode satu Kalpa. Alam semesta dihancurkan setiap periode satu Kalpa. Menurut berbagai kitab Purana, zaman sekarang adalah manwantara ketujuh, berarti enam manwantara telah berlalu dan masih ada tujuh manwantara lagi sebelum dunia dihancurkan.

mengenai kiamat juga sudah dijelaskan dalam Veda, bahwa kiamat itu sendiri sudah biasa dan sudah pernah terjadi berulang-ulang kalinya;

Jumat, 20 Agustus 2010

ASTA AISWARYA

Sifat – sifat Tuhan
Di dalam kitab Wrhaspatitattwa terdapat keterangan tentang sifat- sifat Tuhan yang disebut Asta Sakti atau Astaiswarya yang artinya delapan sifat kemahakuasaan Tuhan.
1. “Hana Anima ngaranya”, Kesaktian Tuhan yang disebut Anima "Anu" yang berarti "atom". Anima dari Astaiswarya, ialah sifat yang halus bagaikan kehalusan atom yang dimiliki oleh Sang Hyang Widhi Wasa. Contohnya dalam sifat ini dapat meresap kesemua tempat termasuk ke dalam pikiran manusia seperti air yang bisa menuembus batu,gunung yang besar tanpa halangan.
2. “hana Laghima ngaranya”, Kesaktian Tuhan yang disebut Laghima Laghima berasal dari kata "Laghu" yang artinya ringan. Laghima berarti sifat- Nya yang amat ringan lebih ringan dari ether. Contohnya seperti gas yang dapat meresap ke pori-pori atau lubang sekecil apapun dan dapat terbang keangkasa, serta dapat mengapung di air.
3. ”hana Mahima ngaranya”, Kesaktian Tuhan yang disebut Mahima Mahima berasal dari kata "Maha" yang berarti Maha Besar, di sini berarti Sang Hyang Widhi Wasa meliputi semua tempat. Tidak ada tempat yang kosong (hampa) bagi- Nya, semua ruang angkasa dipenuhi.
4. “hana Prapti ngaranya”, Kesaktian Tuhan yang disebut Prapti Prapti berasal dari "Prapta" yang artinya tercapai. Prapti berarti segala tempat tercapai oleh- Nya, ke mana Ia hendak pergi di sana Ia telah ada. Contohnya beliau adalah maha Agung yang ada dimana-mana atau yang disebut “Sarwagatah”. Walau beliau di sembah pada tempat yang berbeda beliau akan datang atau ada pada tempat itu pada waktu yang bersaman.
5. “hana Prakamya ngaranya”, Kesaktian Tuhan yang disebut Prakamya Prakamya berasal dari kata "Pra Kama" berarti segala kehendak- Nya selalu terlaksana atau terjadi. Contohnya pada setiap kegiatan pasti akan menghasilkan sesuatu tujuan seperti pada saat kita menanam padi belum tentu akan langsung menghasilkan padi dan pada waktunya dia akan berbuah.
6. “hana Isitwa ngaranya”, Kesaktian Tuhan yang disebut Isitwa Isitwa berasal dari kata "Isa" yang berarti raja, Isitwa berarti merajai segala- galanya, dalam segala hal paling utama. Contohnya beliau maharaja dari raja beliau yang memimpin alam semesta beserta isinya.
7. “hana Wasitwa ngaranya”, Kesaktian Tuhan yang disebut Wasitwa Wasitwa berasal dari kata "Wasa" yang berarti menguasai dan mengatasi. Wasitwa artinya paling berkuasa. Contohnya beliau merupakan mahakuasa yang menguasai alam semesta.
8. “hana Yatrakamawasayitwa ngaranya”, Kesaktian Tuhan yang disebut Yatrakamawasayitwa Yatrakamawasayitwa berarti tidak ada yang dapat menentang kehendak dan kodrat- Nya. Contohnya apabila beliau mengkehendaki adanya bencana atau peristiwa maka manusia gak akan dapat menentang atau menghalangi keinginan beliau tersebut.
Kedelapan sifat keagungan Sang Hyang Widhi Wasa ini, disimbulkan dengan singgasana teratai (padmasana) yang berdaun bunga delapan helai (astadala). Singgasana teratai adalah lambang kemahakuasaan- Nya dan daun bunga teratai sejumlah delapan helai itu adalah lambang delapan sifat agung/ kemahakuasaan (Astaiswarya) yang menguasai dan mengatur alam semesta dan makhluk semua.

Sabtu, 19 Juni 2010

CONTOH ANAK YANG SUPUTRA

Ada seorang brahmana yang bernama Jaratkaru, sebabnya oleh raja disebut Jaratkaru, ayam ity âhuhJarâtiks, (karena) jarat berarti suka mengalah (har. kemunduran), ikasya tad bhayamkârun, suka berbelas kasih, tempat berlindung bagi yang sedang dalam ketakutan, oleh karena itu (dia) benar-benar luar biasa, seyogyanyalah (dia) disegani, karena sifatnya yang suka mengalah.
Teringatlah dia akan penjelmaan badan, tahkârur iti smr, karena itu namanya Jaratkaru, (yang mana) takut kepada kesengsaraan penjelmaan. Ya ta warakulotpannah, dia adalah putera seorang Bikhu (= pendeta) yang mempunyai tapa yang luar biasa, seorang Bikhu yang gembira memungut padi yang tersebar dan telah terbuang di jalan, yang dicari (dan) dibersihkannya. Akhirnya menjadi banyaklah (padi yang dikumpulkannya itu), kemudian ditanaknya (padi-padi itu), (yang mana) ketika itu disajikannya kepada Bhatara (= dewa-dewa) serta memberikannya kepada para tamu. Begitulah tapa orang tuanya, tahan akan penderitaan, tidak bergaul dengan perempuan, hanya tapa yang dibesarkannya, diajarinya, menderita membuat tapa. Ketika itu Maharaja Parikesit berburu, lalu dikutuk oleh Bhagawan Sranggi dimakan oleh ular Taksaka[1]. Oleh karena itulah Jaratkaru membuat tapa. Setelah dia manjur mantranya, dia (dapat) pergi ke segala alam, (dapat) mengunjungi ke segala tempat asing hendak dia datangi dan (dapat) berjalan di atas air. Makin lama makin jauh perjalanannya, sampai dia terbawa ke Ayatanasthana, yaitu suatu tempat yang mengantarai surga dan neraka, tempatnya arwah menunggu (untuk) mendapatkan surga-neraka. Tempat itu terkunjungi oleh Jaratkaru, dia berada di Ayatanasthana.
Ada satu arwah yang digantung di sebatang bambu, yang digantung sungsang dan diikat kakinya. Di bawahnya adalah jurang yang dalam yang menuju ke alam neraka. Jika bambu itu patah, maka yang digantung itu akan menuju ke tempat itu (/alam neraka). Ada seekor tikus tinggal di lobang bambu yang dipinggir jurang itu. Setiap hari dia menggigit bambu itu. Hal itu terlihat oleh Jaratkaru, sehingga mengalirlah air matanya, maka dari itu berbelas kasihlah dia, hancur luluh hatinya kepada arwah yang digantung terbalik di ujung bambu itu serta diikat kakinya. Jaratkaru terpengaruh hatinya oleh arwah yang menyerupai seorang Bikhu yang berambut terjalin serta berpakaian dari kulit pohon. Tidak sepantasnyalah dia menghadapi kesengsaraan yang dideritanya. Dia menderita tidak makan seperti daun yang tergantung, yang kekeringan karena kemarau, yang berayun-ayun oleh karena angin deras, dia tidak makan selalu. Demikianlah keadaan arwah itu.
?"astambam âçritâh"Ke bhawanto ’walambante wîran
Kata Jaratkaru: "Siapakah tuanku yang digantung di sebatang bambu yang hampir patah oleh gigitan tikus, (yang hampir jatuh ke dalam) jurang yang tidak diketahui dalamnya. Keadaan yang demikian itu membuat sangat sedih hati hamba, sehingga hamba menaruh belas kasih hendak menolong engkau. Hamba membuat tapa sejak masih kanak-kanak serta menimbun beratnya tapa hamba, lalu sampai ke sini (dan melihat tuanku yang menderita), sehingga berbelas kasihlah hamba melihat kesengsaraanmu. Seberapa besar pahala dari tapa hamba yang harus hamba berikan, supaya engkau dapat pulang ke surga sehingga dapat berhenti menghadapi sengsara? Seperempatkah atau setengahkah yang (dapat) aku berikan sesuai dengan jalanmu untuk mendapatkan surga".
Perkataan Jaratkaru tersebut terdengar oleh arwah itu. Menjawablah dia dengan sangat dingin seperti disiram oleh air hidup hatinya:
"Tapawrata karma wayam. Hamba ditanya oleh tuanku, dan akan kuberitahukan semua keadaanku, ayetratoumarambham krtam karma santânam preks, (Itu semua terjadi) karena (akan) putus keturunanku. Karena itulah aku terputus dari Pitraloka (= alam arwah para leluhur) dan bergantung-gantung pada sebatang bambu yang seolah-olah (hampir) jatuh ke alam neraka. (Sebenarnya) aku mempunyai satu keturunan. Namanya Jaratkaru. Tetapi dia moksa juga, hendak meluputkan segala sesuatu yang membelenggu manusia, tidak beristri, menjadi murid brahmana yang suci. ...[2] Jika seandainya keturunanku terputus, maka akibatnya adalah binasa. Semula aku senang terutama oleh pekerjaan tapa yang istimewa. (Tetapi) hal yang demikianlah yang terjadi sekarang ini, yaitu dengan tidak adanya keturunanku, tino yathâkr dusnarah, tidak ada perbedaan antara aku dengan (orang) yang melakukan perbuatan dosa, yang (sama-sama) menghadapi kesengsaraan. Hal inilah yang dapat engkau lakukan jika engkau berbelas kasih "Bikhu itu bernama Jaratkaru, mita belas kasihlah kepadanya. Suruh supaya dia beranak, agar supaya aku dapat pulang ke Pitraloka. Beritahukanlah kepadanya bahwa aku menghadapi sengsara, agar supaya hatinya dapat berbelas kasih".
Dengan arwah itu berbicara, maka semakin mengalir air mata Jaratkaru. Seperti diiris hatinya melihat bapaknya menghadapi keadaan susah: "Hamba ini bernama Jaratkaru, keturunanmu yang tamak akan tapa, yang mengingini kedudukan sebagai murid brahmana. Aku kira sekarang ini engkau belum selesai, padahal telah sempurna tapa yang telah dibuat. Adapun sekarang, mengenai jalanmu pulang ke surga, janganlah tuanku khawatirkan. Biarlah hamba berhenti sebagai murid brahmana, dengan mencari istri sehingga hamba dapat mendapatkan anak. Adapun yang hamba kehendaki sebagai istri adalah yang senama dengan nama hamba, agar tidak ada halangan bagi perkawinan hamba. Jikalau hamba telah mempunyai anak, biarlah hamba dapat menjadi murid brahmana lagi. Tenangkanlah hati tuanku."
Demikianlah kata Jaratkaru. Berjalanlah dia mencari istri yang senama dengan dirinya. Ketika dia mengembara mencari istri, ketika itu maharaja Janamejaya[3] baru beristrikan Bhamustiman. Pada waktu itulah Jaratkaru mengembara. Telah sepuluh daerah (= desa) yang dijelajahinya, tetapi dia tidak mendapatkan istri yang senama dengannya. Dia tidak tahu lagi apa yang harus diperbuatnya untuk memikirkan upaya agar bapaknya keluar dari sengsara. Kemudian menyusuplah dia ke hutan yang sunyi, menangis dan memanggil segala dewa, segala butha (= makhluk raksasa), katanya:
"i caYâni bhûtâni santîha, janggamâni sthîrân, hai semua butha, para makhluk hidup yang menjadi penjelmaanmu, hamba bernama Jaratkaru, seorang brahmana yang hendak beristri. Berilah hamba istri yang senama dengan hamba, yaitu yang bernama Jaratkaru, supaya hamba mendapat anak, sehingga orang tuaku dapat memperoleh surga.
Demikianlah tangis Jaratkaru. Ketika keributan itu terjadi (tangis Jaratkaru) itu terdengar oleh semua naga (= ular) yang disuruh oleh Basuki untuk mencari seorang brahmana yang bernama Jaratkaru supaya brahmana itu mempunyai anak dari adiknya yang akan diberikan kepadanya, yang merupakan ular betina yang bernama Jaratkaru, supaya anak yang dilahirkan itu akan membebaskan mereka (= ular-ular tadi) dari korban ular. Itulah maksud Basuki (menyuruh ular-ular itu pergi mencari seorang brahmana bernama Jaratkaru). Dan ketika terdengar oleh mereka tangis Jaratkaru, gembiralah mereka dan memberitahukan kepada Basuki supaya mengundang Jaratkaru dan diberikan kepada adiknya. Tertariklah hatinya kepada Jaratkaru. Dibawa pulanglah dia (= Jaratkaru) oleh Basuki, dan dikawinkannyalah dia serta dinikahkanlah dia dengan upacara yang telah semestinya. Selama dia (= Jaratkaru) duduk di tempat duduk, berkatalah Jaratkaru kepada istrinya:
"Saya berjanji dengan engkau, jika engkau mengucapkan apa yang tidak menyenangkan kepadaku, apalagi melakukan perbuatan yang tidak pantas, jika seandainya hal itu dilakukan olehmu, maka aku akan meninggalkan engkau".
Demikianlah kata Jaratkaru kepada istrinya. Hidup bersamalah mereka. Setelah beberapa lama mereka hidup bersama, mengandunglah si naga perempuan Jaratkaru. Terlihatlah tanda kehamilan itu oleh si suami. Maka dia meminta supaya ditunggui ketika tidur, ketika dia bermaksud mau meninggalkan istrinya[4]. Memohonlah dia untuk dipangku kepalanya oleh istrinya, katanya:
Pangkulah olehmu kepalaku waktu tidur". Dengan hati-hati si istri memangku kepada si suami. Sangat lama dia tidur, hingga waktu senja, waktu sembahyang. Teringatlah si naga perempuan Jaratkaru, katanya:
"Sekarang adalah waktu sorenya para dewa. Waktu ini tuan brahmana harus membuat doa. Sebaiknya dia dibangunkan. Jikalau menunggu sampai dia terbangun, pastilah dia akan marah, karena dia sangat takut kalau terlambat sembahyang karena itu bagi dia merupakan tugas agama kepada para dewa." Lalu dibangunnyalah si suami:
"Hai tuanku Maha Brahmana, bangunlah tuanku! Sekarang waktu telah senja tuanku, waktu untuk mengerjakan tugas agama. Bunga telah tersedia serta bau-bauan dan padi."
Demikianlah katanya sambil mengusap wajah si suami. Kemudian bangunlah Jaratkaru. Cahaya kemarahan memancar pada matanya dan memerah mukanya karena marah besarnya. Katanya:
"Cih! Engkau naga perempuan yang sangat jahat, engkau sebagai istri menghinaku. strînâmAyukto maryâdah, engkau sampai hati menggagu tidurku. Tidak layak lagi tingkah lakumu sebagai istri. Oleh karena itu akan kutinggalkan engkau sekarang ini."
Demikianlah sudah dia kemudian meninggalkan si istri. Ikutlah si naga perempuan, dan lari memeluk si suami:
"Hai tuanku, maafkan hamba tuanku! Bukan maksud hati menghina, jika hamba membangunkan tuanku. Hamba hanya mengingatkan sembahyangmu tiap senja. Salahkah itu, sehingga aku menyembah tuanku. Seyogyanyalah engkau kembali ... tuan yang terhormat. Jika hamba telah beranak, di mana anak itu akan menghapuskan korban ular bagi saudara-saudaraku, maka tuanku dapat membuat tapa lagi."
Demikianlah kata si naga perempuan meminta belas kasih. Jaratkaru menjawab: "Alangkah pantas sikap si naga perempuan. Engkau mengingatkan hamba untuk memuja dewa ketika senja tiba. Tetapi hal itu tidak dapat mengubah kataku untuk meninggalkan engkau. Aku tidak akan tersesat. Itu kehendakku. Janganlah engkau kuatir. Asti, itulah (nama) anak itu. Anak itu akan menolong engkau kelak dari korban ular. Tenangkanlah hatimu".
Kemudian pergilah Jaratkaru. Dia tidak dapat ditahan. Si naga perempuan memberitahukan kepada Basuki akan kepergian si suami. Dia memberitahukan semua ucapan Jaratkaru dan memberitahukan bahwa perutnya ada isinya. Bersuka citalah Basuki mendengar itu semua. Setelah beberapa lama, lahirlah anak laki-laki dengan tubuh sempurna. Dinamailah anak itu Astika, karena si bapak mengucapkan "asti".
Dipeliharalah dia oleh Basuki, dididik serta diasuh menurut segala apa yang diharuskan bagi brahmana, dirawat dan diberi kalung brahmana. Dengan lahirnya Astika, maka arwah yang menggantung di ujung bambu itu melesat pulang pe Pitraloka, menikmati pahala tapanya, yaitu tapa yang luar biasa. Patuhlah Astika, sehingga dapat membaca Weda. Diijinkannyalah dia untuk mempelajari segala sastra, mengikuti ajaran Bhrgu. Demikianlah cerita tentang Astika. Dia adalah orang yang membuat naga Taksaka terhindar dari korban ular maharaja Janamejaya.

Jumat, 30 April 2010

KONSEP SURGA DAN NERAKA DALAM AGAMA HINDU

Dalam Agama Hindu.
Tidak kita temukan gambaran neraka seperti itu. Lalu apakah orang baik dan orang jahat sama-sama masuk surga?. Bagaimana soal keadilan ditegakkan?. Dalam agama Hindu sebagaimana dijelaskan sebelumnya, setelah mati, jiwa kita (1) mencapai moksa atau (2) lahir kembali kedunia. Bila kita lahir kembali, maka dalam kelahiran itu kita menerima akibat- akibat dari perbuatan kita dari kehidupan yang terdahulu. Akibat baik atau akibat buruk.
Disini dikenal istilah kelahiran surga dan kelahiran neraka. Kelahiran surga artinya dalam hidup ini kita menjadi orang yang beruntung dan berbahagia. Kelahiran neraka artinya dalam hidup ini kita akan menderita dan banyak mendapat kesulitan. Penderitaan itu sangat banyak jenisnya. Misalnya karena : sakit yang tidak dapat disembuhkan, penghianatan, kebencian, dendam, iri hati, sakit hati, dan kemarahan yang tak terkendali adalah bentuk neraka didunia ini.

pandangan Hindu mengenai konsep Sorga dan Neraka. Banyak umat Hindu beranggapan bahwa di dalam ajaran Hindu tidak ada dan tidak dikenal konsep mengenai Sorga dan Neraka mengingat dalam konsep Panca Shrada ( lima keyakinan ) umat hindu mempercayai adanya Purnabawa ( Reingkarnasi ).
Sorga dan Neraka dalam pandangan Hindu amat jarang diperbincangkan, karena agama Hindu kerap hanya dipahami meyakini hukum kharmaphala dan mempercayai Reinkarnasi atau kehidupan kembali setelah kematian, sehingga banyak orang meyakini bahwa Hindu tidak mengenal Sorga dan Neraka.
Sesungguhnya konsep Sorga dan Neraka ada dalam ajaran Hindu. Namun ia bukan menjadi tujuan akhir dari manusia sehingga bagi orang Hindu tujuan akhir adalah bukan masuk Sorga, melainkan Moksha atau bersatunya jiwa (Atman) dengan Sang Maha Pencipta ( Brahman).
Pertanyaannya yang kemudian muncul, lantas Sorga itu seperti apa dan untuk apa?. Sorga dalam Hindu seperti digambarkan dalam Weda; Adalah suatu tempat, satu dunia, dimana cahaya selalu bersinar, suatu masyarakat orang suci, dunia kebaikan, dunia abadi.
Beberapa pemikiran mengatakan bahwa Sorga dan Neraka bukanlah tempat, melainkan suatu kondisi. Artinya, apabila kita dalam kondisi senang atau bahagia, itulah Sorga. Sebaliknya, apabila kita dalam kondisi sedih atau menderita, itulah Neraka. Mungkin hal tersebut ada benarnya.
Dalam Kitab suci Weda disebutkan, Sorga dan Neraka adalah suatu tempat di balik dunia ini yang dibatasi oleh kematian. Dengan kata lain, Sorga dan Neraka akan kita temukan setelah kita melewati “jembatan“ yang bernama kematian. Secara harfiah, Sorga berasal dari kata Sanserketa “svar” dan “ga”. “Svar” artinya cahaya dan “ga” artinya pergi. Jadi svarga artinya perjalanan menuju cahaya. Di dalam Weda juga dikatakan bahwa Sorga adalah “dunia ketiga” yang penuh sinar dan cahaya.
Sorga: persinggahan sementara
Dalam kitab suci Hindu dikatakan bahwa Sorga merupakan persinggahan sementara. Bahkan, menurut Swami Dayananda Saraswati, Sorga adalah pengalaman liburan. Bagawad Gita dalam hal ini mengatakan:”setelah menikmati Sorga yang luas , mereka kembali ke dunia. Sorga adalah kesenangan sementara, sedangkan kebahagiaan yang sejati adalah Moksha, bersatunya Atman (Jiwa) dengan Brahman (Sang Pencipta))
Neraka Menurut Hindu
Neraka memang diperlukan. Ini adalah ungkapan yang sangat profokatif. Sebuah argumen mengatakan, apabila hasil yang diterima setiap orang sama—entah itu baik atupun tidak dan mendapat imbalan yang sama—lantas apa yang mendasari orang untuk selalu berbuat baik, berbuat berdasarkan Dharma.
Neraka dalam pandangan agama semit digambarkan sebagai suatu tempat yang terletak jauh di dalam bumi. Ia adalah tempat penyiksaan yang sangat mengerikan berbentuk kawah api yang panasnya beribu kali lipat dari panas api di dunia. Roh- roh yang banyak melakukan dosa di dunia akan mengalami penyiksaan ditusuk dengan tombak dan dipukuli dengan palu godam.
Di dalam Hindu sangat sedikit mantra ataupun sloka yang menjelaskan kosep Neraka mengingat Hindu mengakui terjadinya reinkarnasi atau proses kelahiran kembali dan konsep Moksha. Di Hindu Neraka dikatakan merupakan balasan yang diterima pada saat reinkarnasi atau dalam proses kelahiran kembali. Di dalamnya kita di berikan dua pilihan yang berdasar pada perbuatan kita pada masa hidup terdahulu, yaitu reinkarnasai Sorga atau reinkarnasi Neraka.
Reinkarnasi Sorga ada dalam proses kelahiran kembali kita mendapatkan takdir yang lebih baik, sedangkan reinkarnasi Neraka apabila kita dilahirkan dengan takdir yang lebih buruk. Di Hindu kelainan fisik pada saat kelahiran dapat dijelaskan sebagai sebuah bentuk penebusan terhadap segala perbuatan yang buruk yang pada masa hidup yang pernah di lakukan.
Konsep Sorga-Neraka seperti ini mungkin berbeda dengan konsep serupa dalam agama lain, yang menyatakan setiap manusia yang lahir adalah sebuah individu baru dan suci, ibarat buku belum ternoda oleh tinta kehidupan.
Bagi umat Hindu, kehidupan ini adalah suatu perjalanan yang saling berhubungan dan berjalan terus menerus. Dalam kerangka Tuhan Maha Pengampun, Hindu menjelaskan setiap manusia selalu di berikan kesempatan untuk selalu memperbaiki dirinya dalam beberapa kali masa kehidupan untuk kemudian mencapai tujuan tertinggi dalam Hindu, yaitu Moksha.[]

Rabu, 07 April 2010

KELOMPOK ILMU PENGETAHUAN

Yang menjadi dasar pengelompokan ilmu pengetahuan

Ilmu pengetahuan dapat dikelompokan melalui beberapa cara. Secara umum ilmu pengetahuan dikelompokan menjadi tiga yaitu ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, dan ilmu pengetahuan budaya atau lebih umum disebut ilmu pengetahuan humaniora. Pengelompokan ilmu pengetahuan ini yang mendasari pengembangan Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, dan Ilmu Budaya Dasar sebagai matakuliah dasar umum yang wajib diambil oleh mahasiswa di samping matakuliah dasar umum lainnya seperti Agama, Pancasila, dan Kewiraan. Matakuliah Ilmu Sosial Dasar bukanlah merupakan suatu disiplin ilmu tetapi lebih merupakan kajian yang sifatnya multi atau interdisipliner. Ilmu Sosial Dasar diajarkan untuk memberikan pengetahuan dasar dan pengertian umum kepada mahasiswa tentang konsep-konsep yang dikembangkan untuk mengkaji gejala-gejala sosial yang terjadi di sekitamya. Dengan demikian, diharapkan mahasiswa dapat memiliki kepekaan sosial yang tinggi terhadap lingkungan sosialnya. Dengan kepekaan sosial yang dimilikinya, mahasiswa diharapkan memiliki kepedulian sosial dalam menerapkan ilmunya di masyarakat.


Perbedaan antara pengetahuan ilmiah dan pengetahuan bukan ilmiah
pengetahuan (knowledge) dan pengetahuan ilmiah (sains) itu berbeda. Istilah ini seringkali membingungkan kita, karena keduanya sama-sama menggunakan kata “pengetahuan” di dalam bahasa Indonesia. Kalau dalam bahasa Inggris, jelas, bahwa yang satu knowledge dan yang lain sains.
Pengetahuan adalah hasil usaha seseorang untuk menangkap suatu realitas ke dalam jiwa hingga hasil tangkapan itu tidak membuatnya ragu-ragu lagi. Obyek realitas itu bisa benda, sifat sesuatu, atau peristiwa dari sekitar kita. Jadi pengetahuan itu tidak menimbulkan keraguan di pikiran pemiliknya.
Pengetahuan ilmiah (sains) adalah pengetahuan yang diperoleh itu diketahui adanya hubungan sebab-akibat (cause-effect). mengapa hubungan sebab akibat itu penting, karena sains hanya diperoleh melalui tahapan-tahapan ilmiah. Tahapan-tahapan ini tentunya akan melalui metode saing.
Oleh karena itu cara memperoleh pengetahuan dan cara memperoleh sains sudah jelas beda. Karena itu paling tidak definisi di atas dapat membantu pemahaman kita antara kedua konsep tersebut.

Kreteria metode ilmiah
Metode ilmiah boleh dikatakan suatu pengejaran terhadap kebenaran yang diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis. Karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh interelasi yang sistematis dari fakta-fakta, maka metode ilmiah berkehendak untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan pendekatan kesangsian sistematis. Karena itu, penelitian dan metode ilmiah mempunyai hubungan yang dekat sekali, jika tidak dikatakan sama. Dengan adanya metode ilmiah, pertanyaan-pertanyaan dalam mencari dalil umum akan mudah terjawab, seperti menjawab seberapa jauh, mengapa begitu, apakah benar, dan sebagainya.
Menurut Almadk (1939),” metode ilmiah adalah cara menerapkan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan dan penjelasan kebenaran. Sedangkan Ostle (1975) berpendapat bahwa metode ilmiah adalah pengejaran terhadap sesuatu untuk memperoleh sesuatu interelasi.”
Metode ilmiah dalam meneliti mempunyai kriteria serta langkah-langkah tertentu dalam Metode ilmiah bekerja. seperti di bawah ini.
Kriteria
1. Berdasarkan fakta
2. Bebas dari prasangka
3. Menggunakan prinsip-prinsip analisa
4. Menggunakan hipolesa
5. Menggunakan ukuran objektif
6. Menggunakan teknik kuantifikasi
Langkah-langkah
1. Memilih dan mendefinisikan masalah.
2. Survei terhadap data yang tersedia.
3. Memformulasikan hipotesa.
4. Membangun kerangka analisa serta alat-alat dalam menguji hipotesa.
5. Mengumpulkan data primair.
6. Mengolah, menganalisa serla membuat interpretasi.
7. Membual generalisasi dan kesimpulan.
8. Membuat Laporan
KRITERIA METODE IMIAH
Supaya suatu metode yang digunakan dalam penelitian disebut metode ilmiah, maka metode tersebut harus mempunyai kriteria sebagai berikut:
1. Berdasarkan fakta.
2. Bebas dari prasangka (bias)
3. Menggunakan prinsip-prinsip analisa.
4. Menggunakan hipotesa
5. Menggunakah ukuran objektif.
6. Menggunakan teknik kuantifikasi.
6.1. Berdasarkan Fakta
Keterangan-keterangan yang ingin diperoleh dalam penelitian, baik yang akan dikumpulkan dan yang dianalisa haruslah berdasarkan fakta-fakta yang nyata. Janganlah penemuan atau pembuktian didasar-kan pada daya khayal, kira-kira, legenda-legenda atau kegiatan sejenis.
6.2. Bebas dari Prasangka
Metode ilmiah harus mempunyai sifat bebas prasangka, bersih dan jauh dari pertimbangan subjektif. Menggunakan suatu fakta haruslah dengan alasan dan bukti yang lengkap dan dengan pembuktian yang objektif.
6.3. Menggunakan Prinsip Analisa
Dalam memahami serta member! arti terhadap fenomena yang kompleks, harus digunakan prinsip analisa. Semua masalah harus dicari sebab-musabab serta pemecahannya dengan menggunakan analisa yang logis, Fakta yang mendukung tidaklah dibiarkan sebagaimana adanya atau hanya dibuat deskripsinya saja. Tetapi semua kejadian harus dicari sebab-akibat dengan menggunakan analisa yang tajam.
6.4. Menggunakan Hipotesa
Dalam metode ilmiah, peneliti harus dituntun dalam proses berpikir dengan menggunakan analisa. Hipotesa harus ada untuk mengonggokkan persoalan serta memadu jalan pikiran ke arah tujuan yang ingin dicapai sehingga hasil yang ingin diperoleh akan mengenai sasaran dengan tepat. Hipotesa merupakan pegangan yang khas dalam menuntun jalan pikiran peneliti.
6.5. Menggunakan Ukuran Obyektif
Kerja penelitian dan analisa harus dinyatakan dengan ukuran yang objektif. Ukuran tidak boleh dengan merasa-rasa atau menuruti hati nurani. Pertimbangan-pertimbangan harus dibuat secara objektif dan dengan menggunakan pikiran yang waras.
6.6. Menggunakan Teknik Kuantifikasi
Dalam memperlakukan data ukuran kuantitatif yang lazim harus digunakan, kecuali untuk artibut-artibut yang tidak dapat dikuantifikasikan Ukuran-ukuran seperti ton, mm, per detik, ohm, kilogram, dan sebagainya harus selalu digunakan Jauhi ukuran-ukuran seperti: sejauh mata memandang, sehitam aspal, sejauh sebatang rokok, dan sebagai¬nya Kuantifikasi yang termudah adalah dengan menggunakan ukuran nominal, ranking dan rating
LANGKAH DALAM METODE ILMIAH
Pelaksanaan penelitian dengan menggunakan metode ilmiah harus mengikuti langkah-langkah tertentu. Marilah lebih dahulu ditinjau langkah-langkah yang diambil oleh beberapa ahli dalam mereka melaksanakan penelitian.
Schluter (1926) memberikan 15 langkah dalam melaksanakan penelitian dengan metode ilmiah. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pemilihan bidang, topik atau judul penelitian.
2. Mengadakan survei lapangan untuk merumuskan masalah-malalah yang ingin dipecahkan.
3. Membangun sebuah bibliografi.
4. Memformulasikan dan mendefinisikan masalah.
5. Membeda-bedakan dan membuat out-line dari unsur-unsur permasalahan.
6. Mengklasifikasikan unsur-unsur dalam masalah menurut hu-bungannya dengan data atau bukti, baik langsung ataupun tidak langsung.
7. Menentukan data atau bukti mana yang dikehendaki sesuai dengan pokok-pokok dasar dalam masalah.
8. Menentukan apakah data atau bukti yang dipertukan tersedia atau tidak.
9. Menguji untuk diketahui apakah masalah dapat dipecahkan atau tidak.
10. Mengumpulkan data dan keterangan yang diperlukan.
11. Mengatur data secara sistematis untuk dianalisa.
12. Menganalisa data dan bukti yang diperoleh untuk membuat interpretasi.
13. Mengatur data untuk persentase dan penampilan.
14. Menggunakan citasi, referensi dan footnote (catatan kaki).
15. Menulis laporan penelitian.
Dalain melaksanakan penelitian secara ilmiah. Abclson (1933) mcmberikan langkah-langkah berikut:
1. Tentukan judul. Judul dinyatakan secara singkat
2. Pemilihan masalah. Dalam pemilihan ini harus: a). Nyatakan apa yang disarankan oleh judul. b). Berikan alasan terhadap pemilihan tersebut. Nyatakan perlunya diselidiki masalah menurut kepentingan umum. c). Sebutkan ruang lingkup penelitian. Secara singkat jelaskan materi. situasi dan hal-hal lain yang menyangkut bidang yang akan diteliti.
3. Pemecahan masalah. Dalain niemecahkan masalah harus diikuti hal-hal berikut: a).
Analisa harus logis. Aturlah bukti dalam bnntuk yang sistematis dan logis. Demikian juga halnya unsur-unsur yang dapat memecahkan masalah. b). Proscdur penelitian yang digunakan harus dinyatakan secara singkat. c) Urutkan data, fakta dan keterangan-keterangan khas yang diperlukan d). Harus dinyatakan bagaimana set dari data diperoleh termasuk referensi yang digunakan. e). Tunjukkan cara data dilola sampai mempunyai arti dalam memecahkan masalah. f). Urutkan asumsi-asumsi yang digunakan serta luibungannya dalam berbagai fase penelitian.
4. Kesimpulan
a). Berikan kesimpulan dari hipotesa. nyatakan dua atau tiga kesimpulan yang mungkin diperoleh b). Berikan implikasi dari kesimpulan. Jelaskan bebernpa implikasi dari produk hipotesa dengan memberikan beberapa inferensi.
5. Berikan studi-studi sebelumnya yang pernah dikerjakan yang berhubungan dengan masalah.
Nyalakan kerja-kerja sebelumnya secara singkat dan berikan referensi bibliografi yang mungkin ada manfaatnya scbagai model dalam memecahkan masalah. Dari pedoman beberapn ahli di atas, maka dapal disimpulkan balnwa penelitian dengan mcnggunakan metode ilmiah sckurang-kurangnya dilakukan dengan langkah-langkah berikut:
5.1. Merumuskan serta mcndefinisikan masalah
langkah pertama dalam meneliti adalah menetapkan masalah yang akan dipecahkan. Untuk menghilangkan keragu-raguan. masalah tersebut didefinisikan secara jelas. Sampai ke mana luas masalah yang akan dipecahkan Sebutkan beberapa kata kunci (key words) yang terdapal dalam masalah Misalnya. masalah yang dipilih adalah Bagaimana pengaruh mekanisasi terhadap pendapatan usaha tani di Aceh?
Berikan definisi tentang usaha tani, tentang mekanisasi, pada musim apa. dan sebagainya
5.2. Mengadakan studi kepustakaan
Setelah masalah dirumuskan, step kedua yang dilakukan dalam mencari data yang tersedia yang pernah ditulis peneliti sebelumnya yang ada hubungannya dengan masalah yang ingin dipecahkan. Kerja mencari bahan di perpustakaan merupakan hal yang tak dapat dihindarkan olch seorang peneliti. Ada kalanya. perumusan masalah dan studi keputusan dapat dikerjakan secara bersamaan.
5.3. Memformulasikan hipotesa
Setelah diperoleh infonnasi mengenai hasil penelitian ahli lain yang ada sangkut-pautnya dengan masalah yang ingin dipecahkan. maka tiba saatnya peneliti memformulasikan hipotesa-hipolesa unttik penelitian. Hipotesa tidak lain dari kesimpulan sementara tentang hubunggan sangkut-paut antarvariabel atau fenomena dalam penelitian. Hipotesa merupakan kesimpulan tentatif yang diterima secara sementara sebelum diuji.
5.4. Menentukan model untuk menguji hipotesa
Setelah hipotesa-hipotesa ditetapkan. kerja selanjutnya adalah merumuskan cara-cara untuk menguji hipotesa tersebut. Pada ilmu-ilmu sosial yang telah lebih berkembang. scperti ilmu ekonomi misalnva. pcnguji’an hipotesa didasarkan pada kerangka analisa (analytical framework) yang telah ditetapkan. Model matematis dapat juga dibuat untuk mengrefleksikan hubungan antarfenomena yang secara implisif terdapal dalam hipotesa. untuk diuji dengan teknik statistik yang tersedia.
Pcngujian hipotesa menghendaki data yang dikumpulkan untuk keperluan tersebut. Data tersebut bisa saja data prime ataupun data sekunder yang akan dikumpulkan oleh peneliti.
5.5. Mengumpulkan data
Peneliti memerlukan data untuk menguji hipotesa. Data tersebut yang merupakan fakta yang digunakan untuk menguji hipotesa perlu dikumpulkan. Bcrgantung dan masalah yang dipilih serta metode pcnelitian yang akan digunakan. teknik pengumpulan data akan berbeda-beda. Jika penelitian menggunakan metode percobaan. misalnya. data diperoleh dan plot-plot pcrcobaan yang dibual sendiri oleh peneliti Pada metodc scjarah ataupun survei normal, data diperoleh dengan mcngajukan pertanyaan-pertanyaan kepada responden. baik secara langsung ataupun dengan menggunakan questioner Ada kalanya data adalah hasil pengamatan langsung terhadap perilaku manusia di mana peneliti secara partisipatif berada dalam kelompok orang-orang yang diselidikinya.
5.6. Menyusun, Menganalisa, and Menyusun interfensi
Setelah data terkumpul. pcneliti menyusun data untuk mengadakan analisa Sebelum analisa dilakukan. data tersebul disusun lebih dahulu untuk mempermudah analisa. Penyusunan data dapat dalam bentuk label ataupun membuat coding untuk analisa dengan komputer. Sesudah data dianalisa. maka perlu diberikan tafsiran atau interpretasi terhadap data tersebut.
5.7. Membuat generalisasi dan kesimpulan
Setelah tafsiran diberikan, maka peneliti membuat generalisasi dari penemuan-penemuan, dan selanjutnya memberikan beberapa kesimpulan. Kesimpulan dan generalisasi ini harus berkaitan dengan hipotesa. Apakah hipotesa benar untuk diterima. ataukah hiporesa tersebut ditolak.
5.8. Membuat laporan ilmiah
Langkah terakhir dari suatu penelitian ilmiah adalah membuat laporan ilmiah tentang hasil-hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut. Penulisan secara ilmiah mempunyai teknik tersendiri.
Cara mendapatkan pengetahuan terhadap mitos dan ramalan nasib

1. 3. MITOS PENALARAN DAN CARA MEMPEROLEH PENGETAHUAN
Mitos adalah cerita yang di buat – buat atau dongeng yang pada umumnya mengangkat tokoh kuno, seperti dewa atau manusia perkasa yang ada kaitannya dengan apa yang terjadi di alam.
Secara garis besar dapat dibedakan 3 macam mitos, yaitu mitos sebenarnya, cerita rakyat, dan legenda.
Mitos yang merupakan cerita rakyat adalah usaha manusia mengisahkan peristiwa penting yang menyangkut kehidupan masyarakat, biasanya juga disampaikan dari mulut ke mulut sehingga sulit diperiksa kebenarannya.
Mitos sebagai legenda, dikemukakan tentang seorang tokoh yang dikaitkan dengan terjadinya suatu daerah. Mitos yang dapat diterima dan dipercayai kebenarannya (masa prasejarah)
1. keterbatasan pengetahuan karena keterbatasan pengindraan
2. keterbatasan penalaran manusia
3. hasrat ingin tahu terpenuhi
1. 4. METODE ILMIAH
Pengetahuan tentang mitos, ramalan nasib berdasarkan perbintangan bahkan percaya adanya dewa diperoleh dengan cara berprasangka, berintuisi dan coba-coba (trial and error)
Suatu pengetahuan dapat dikatakan pengetahuan yang ilmiah apabila memenuhi syarat-syarat antara lain;
1. Objektif : pengetahuan itu sesuai dengan objeknya, atau didukung metodik fakta empiris
2. Metodik : pengetahuan ilmiah itu diperoleh dengan menggunakan cara – cara tertentu yang teratur dan terkontrol
3. Sistematik : pengetahuan ilmiah itu tersusun dalam suatu sistem, tidak berdiri sendiri, satu dengan yang lain saling berkaitan, saling menjelaskan, sehingga seluruhnya merupakan satu kesatuan yang utuh
4. Berlaku umum : pengetahuan itu harus dapat dimengerti semua orang dengan cara eksperimentasi yang sama akan memperoleh hasil yang sama atau konsisten.
Salah satu syarat ilmu pengetahuan tersebut harus diperoleh melalui metode ilmiah. Kriteria metode ilmiah yang digunakan dalam penelitian antara lain harus berdasarkan fakta, bebas prasangka, menggunakan prinsip-prinsip analisis, hipotesis, berukuran objektif serta menggunakan teknik kuantitatif atau kualitatif.
Alur berpikir yang mencakup metode ilmiah dapat dijabarkan dalam langkah-langkah yang mencerminkan tahapan kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah operasional metode ilmiah, yaitu perumusan masalah, penyusun kerangka berpikir, pengajuan hipotesis, perumusan hipotesis, pengujian hipotesis, dan penarikan simpulan.
Metode ilmiah mempunyai keterbatasan maupun keunggulan. Keterbatasan metode ilmiah adalah ketidaksanggupannya menjangkau untuk menguji adanya Tuhan, membuat kesimpulan yang berkenan dengan baik dan buruk atau sistem nilai dan juga tidak dapat menjangkau tentang seni dan keindahan. Sedangkan keunggulannya, antara lain:
1. mencintai kebenaran yang objektif dan bersikap adil;
2. kebenaran ilmu tidak absolut sehingga dapat dicari terus-menerus;
1. mengurangi kepercayaan pada tahayul, astrologi maupun peruntungan, dan lain- lain.
Peranan matematika terhadap IPA sangat besar, karena matematika merupakan alat bantu untuk mengatasi sebagian permasalahan menghadapi lingkungan hidupnya. Contoh pada zaman modern ini, pembuatan mesin-mesin, pabrik bahkan perjalanan ke ruang angkasa.
Sejarah Pengetahuan yang diperoleh Manusia
Manusia selalu merasa ingin tahu maka sesuatu yang belum terjawab dikatakan wallahualam, artinya Allah yang lebih mengetahui atau wallahualam bissawab yang artinya Allah mengetahui sebenarnya. Perkembangan lebih lanjut dari rasa ingin tahu manusia ialah untuk memenuhi kebutuhan nonfisik atau kebutuhan alam pikirannya, untuk itu manusia mereka-reka sendiri jawabannya.
A. Comte menyatakan bahwa ada tiga tahap sejarah perkembangan manusia, yaitu tahap teologi (tahap metafisika), tahap filsafat dan tahap positif (tahap ilmu). Mitos termasuk tahap teologi atau tahap metafisika. Mitologi ialah pengetahuan tentang mitos yang merupakan kumpulan cerita-cerita mitos. Cerita mitos sendiri ditularkan lewat tari-tarian, nyanyian, wayang dan lain-lain.
Secara garis besar, mitos dibedakan atas tiga macam, yaitu mitos sebenarnya, cerita rakyat dan legenda. Mitos timbul akibat keterbatasan pengetahuan, penalaran dan panca indera manusia serta keingintahuan manusia yang telah dipenuhi walaupun hanya sementara.
Puncak hasil pemikiran mitos terjadi pada zaman Babylonia (700-600 SM) yaitu horoskop (ramalan bintang), ekliptika (bidang edar Matahari) dan bentuk alam semesta yang menyerupai ruangan setengah bola dengan bumi datar sebagai lantainya sedangkan langit-langit dan bintangnya merupakan atap.
Tonggak sejarah pengamatan, pengalaman dan akal sehat manusia ialah Thales (624-546) seorang astronom, pakar di bidang matematika dan teknik. Ia berpendapat bahwa bintang mengeluarkan cahaya, bulan hanya memantulkan sinar matahari, dan lain-lain. Setelah itu muncul tokoh-tokoh perubahan lainnya seperti Anaximander, Anaximenes, Herakleitos, Pythagoras dan sebagainya.

1. 5. PERKEMBANGAN IPA
Dengan bertambah majunya alam pikiran dan makin berkembangnya cara-cara penyelidikan, manusia dapat menjawab banyak pertanyaan tanpa mengarang mitos. Berkat pengamatan yang sistematis, kritis dan makin bertambahnya pengalaman yang diperoleh, lambat laun manusia berusaha mencari jawab secara rasional. Dalam menyusun pengetahuan, kaum rasionalis menggunakan penalaran deduktif dan penalaran induktif.
Penalaran deduktif ialah cara berpikir yang bertolak belakang dari pernyataan yang bersifat umum untuk menarik simpulan yang bersifat khusus. Sedangkan penalaran induktif (empiris) ialah cara berpikir dengan menarik simpulan umum dari pengamatan atas gejala-gejala yang bersifat khusus.
Karena himpunan pengetahuan yang diperoleh dari penalaran deduktif dan induktif tidak dapat diandalkan sebagai ilmu pengetahuan maka muncullah ilmu yang secara teoretis didapat dari pengamatan dan eksperimentasi terhadap gejala-gejala alam. Konsep itu disebut Ilmu Pengetahuan Alam.
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) terbagi menjadi IPA kualitatif dan IPA kuantitatif. IPA kualitatif hanya mampu menjawab pertanyaan tentang hal-hal yang bersifat aktual, sedangkan IPA kuantitatif adalah IPA yang dihasilkan oleh metode ilmiah yang didukung oleh data kuantitatif dengan menggunakan statistik.

Alasan mengapa matematika di katakana sebagai bahasa
Di manakah letak konsep-konsep matematika, misalnya letak bilangan 1? Banyak para pakar matematika, misalnya para pakar Teori Model (lihat model matematika) yang juga mendalami filsafat di balik konsep-konsep matematika bersepakat bahwa semua konsep-konsep matematika secara universal terdapat di dalam pikiran setiap manusia. Jadi, yang dipelajari di dalam matematika adalah berbagai lambang dan ungkapan untuk mengomunikasikannya. Misalnya orang Jawa secara lisan memberi lambang bilangan 3 dengan mengatakan Telu sedangkan dalam bahasa Indonesia, bilangan tersebut dilambangkan melalui ucapan Tiga. Inilah sebabnya, banyak pakar mengkelompokkan matematika ke dalam kelompok bahasa, atau lebih umum lagi dalam kelompok (alat) komunikasi, bukan ilmu pengetahuan.
Dalam pandangan formalis, matematika adalah penelaahan struktur abstrak yang didefinisikan secara aksiomatis dengan menggunakan logika simbolik dan notasi matematika; ada pula pandangan lain, misalnya yang dibahas dalam filsafat matematika.
Struktur spesifik yang diselidiki oleh matematikawan sering kali berasal dari ilmu pengetahuan alam, dan sangat umum di fisika, tetapi matematikawan juga mendefinisikan dan menyelidiki struktur internal dalam matematika itu sendiri, misalnya, untuk menggeneralisasikan teori bagi beberapa sub-bidang, atau alat bantu untuk perhitungan biasa. Akhirnya, banyak matematikawan belajar bidang yang dilakukan mereka untuk sebab estetis saja, melihat ilmu pasti sebagai bentuk seni daripada sebagai ilmu praktis atau terapan.
Matematika tingkat lanjut digunakan sebagai alat untuk mempelajari berbagai gejala fisika yang kompleks, khususnya berbagai gejala alam yang teramati, agar pola struktur, perubahan, ruang dan sifat-sifat gejala bisa didekati atau dinyatakan dalam sebuah bentuk perumusan yang sistematis dan penuh dengan berbagai perjanjian, lambang, dan notasi. Hasil perumusan yang menggambarkan perilaku atau proses gejala fisika tersebut biasa disebut model matematika dari gejala.