Rabu, 13 Oktober 2010

HINDU PADA JAMAN KERAJAAN SRIWIJAYA

PENGETAHUAN mengenai sejarah Sriwijaya baru lahir pada permulaan abad ke-20 M, ketika George Coedes menulis karangannya berjudul Le Royaume de Crivijaya pada tahun 1918 M. Sebenarnya, lima tahun sebelum itu, yaitu pada tahun 1913 M, Kern telah menerbitkan Prasasti Kota Kapur, sebuah prasasti peninggalan Sriwijaya yang ditemukan di Pulau Bangka. Namun, saat itu, Kern masih menganggap nama Sriwijaya yang tercantum pada prasasti tersebut sebagai nama seorang raja, karena Cri biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar raja.
Pada tahun 1896 M, sarjana Jepang Takakusu menerjemahkan karya I-tsing, Nan-hai-chi-kuei-nai fa-ch‘uan ke dalam bahasa Inggris dengan judul A Record of the Budhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago. Namun, dalam buku tersebut tidak terdapat nama Sriwijaya, yang ada hanya Shih-li-fo-shih. Dari terjemahan prasasti Kota Kapur yang memuat nama Sriwijaya dan karya I-Tsing yang memuat nama Shih-li-fo-shih, Coedes kemudian menetapkan bahwa, Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan.
Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa, letak ibukota Sriwijaya adalah Palembang, dengan bersandar pada anggapan Groeneveldt dalam karangannya, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-fo-ts‘I adalah Palembang. Sumber lain, yaitu Beal mengemukakan pendapatnya pada tahun 1886 bahwa, Shih-li-fo-shih merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai Musi, dekat kota Palembang sekarang. Dari pendapat ini, kemudian muncul suatu kecenderungan di kalangan sejarawan untuk menganggap Palembang sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya.
Sumber lain yang mendukung keberadaan Palembang sebagai pusat kerajaan adalah prasasti Telaga Batu. Prasasti ini berbentuk batu lempeng mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh kepala ular kobra, dengan sebentuk mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil tempat keluar air) di bawahnya. Menurut para arkeolog, prasasti ini digunakan untuk pelaksanaan upacara sumpah kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat. Dalam prosesi itu, pejabat yang disumpah meminum air yang dialirkan ke batu dan keluar melalui cerat tersebut. Sebagai sarana untuk upacara persumpahan, prasasti seperti itu biasanya ditempatkan di pusat kerajaan. Karena ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918 M, maka diduga kuat Palembang merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya.
Petunjuk lain yang menyatakan bahwa Palembang merupakan pusat kerajaan juga diperoleh dari hasil temuan barang-barang keramik dan tembikar di situs Talang Kikim, Tanjung Rawa, Bukit Siguntang dan Kambang Unglen, semuanya di daerah Palembang. Keramik dan tembikar tersebut merupakan alat yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Temuan ini menunjukkan bahwa, pada masa dulu, di Palembang terdapat pemukiman kuno. Dugaan ini semakin kuat dengan hasil interpretasi foto udara di daerah sebelah barat Kota Palembang, yang menggambarkan bentuk-bentuk kolam dan kanal. Kolam dan kanal-kanal yang bentuknya teratur itu kemungkinan besar buatan manusia, bukan hasil dari proses alami. Dari hasil temuan keramik dan kanal-kanal ini, maka dugaan para arkeolog bahwa Palembang merupakan pusat kerajaan semakin kuat.
Sebagai pusat kerajaan, kondisi Palembang ketika itu bersifat mendesa (rural), tidak seperti pusat-pusat kerajaan lain yang ditemukan di wilayah Asia Tenggara daratan, seperti di Thailand, Kamboja, dan Myanmar. Bahan utama yang dipakai untuk membuat bangunan di pusat kota Sriwijaya adalah kayu atau bambu yang mudah didapatkan di sekitarnya. Oleh karena bahan itu mudah rusak termakan zaman, maka tidak ada sisa bangunan yang dapat ditemukan lagi. Kalaupun ada, sisa pemukiman dengan konstruksi kayu tersebut hanya dapat ditemukan di daerah rawa atau tepian sungai yang terendam air, bukan di pusat kota, seperti di situs Ujung Plancu, Kabupaten Batanghari, Jambi. Memang ada bangunan yang dibuat dari bahan bata atau batu, tapi hanya bangunan sakral (keagamaan), seperti yang ditemukan di Palembang, di situs Gedingsuro, Candi Angsoka, dan Bukit Siguntang, yang terbuat dari bata. Sayang sekali, sisa bangunan yang ditemukan tersebut hanya bagian pondasinya saja.
Seiring perkembangan, semakin banyak ditemukan data sejarah berkenaan dengan Sriwijaya. Selain prasasti Kota Kapur, juga ditemukan prasasti Karang Berahi (ditemukan tahun 1904 M), Telaga Batu (ditemukan tahun 1918 M), Kedukan Bukit (ditemukan tahun 1920 M) Talang Tuo (ditemukan tahun 1920 M) dan Boom Baru. Di antara prasasti di atas, prasasti Kota Kapur merupakan yang paling tua, bertarikh 682 M, menceritakan tentang kisah perjalanan suci Dapunta Hyang dari Minanga dengan perahu, bersama dua laksa (20.000) tentara dan 200 peti perbekalan, serta 1.213 tentara yang berjalan kaki. Perjalanan ini berakhir di mukha-p. Di tempat tersebut, Dapunta Hyang kemudian mendirikan wanua (perkampungan) yang diberi nama Sriwijaya.
Dalam prasasti Talang Tuo yang bertarikh 684 M, disebutkan mengenai pembangunan taman oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk semua makhluk, yang diberi nama Sriksetra. Dalam taman tersebut, terdapat pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan.
Data tersebut semakin lengkap dengan adanya berita Cina dan Arab. Sumber Cina yang paling sering dikutip adalah catatan I-tsing.
Ia merupakan seorang peziarah Budha dari China yang telah mengunjungi Sriwijaya beberapa kali dan sempat bermukim beberapa lama. Kunjungan I-sting pertama adalah tahun 671 M. Dalam catatannya disebutkan bahwa, saat itu terdapat lebih dari seribu orang pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha tersebut sama dengan aturan dan upacara yang dilakukan oleh para pendeta Budha di India. I-tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu, baru ia berangkat ke Nalanda, India. Setelah lama belajar di Nalanda, I-tsing kembali ke Sriwijaya pada tahun 685 dan tinggal selama beberapa tahun untuk menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. Catatan Cina yang lain menyebutkan tentang utusan Sriwijaya yang datang secara rutin ke Cina, yang terakhir adalah tahun 988 M.
Dalam sumber lain, yaitu catatan Arab, Sriwijaya disebut Sribuza. Mas‘udi, seorang sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya pada tahun 955 M. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar, dengan tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kardamunggu, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.
Dari catatan asing tersebut, bisa diketahui bahwa Sriwijaya merupakan kerajaan besar pada masanya, dengan wilayah dan relasi dagang yang luas sampai ke Madagaskar. Sejumlah bukti lain berupa arca, stupika, maupun prasasti lainnya semakin menegaskan bahwa, pada masanya Sriwijaya adalah kerajaan yang mempunyai komunikasi yang baik dengan para saudagar dan pendeta di Cina, India dan Arab. Hal ini hanya mungkin bisa dilakukan oleh sebuah kerajaan yang besar, berpengaruh, dan diperhitungkan di kawasannya.
Pada abad ke-11 M, Sriwijaya mulai mengalami kemunduran. Pada tahun 1006 M, Sriwijaya diserang oleh Dharmawangsa dari Jawa Timur. Serangan ini berhasil dipukul mundur, bahkan Sriwijaya mampu melakukan serangan balasan dan berhasil menghancurkan kerajaan Dharmawangsa. Pada tahun 1025 M, Sriwijaya mendapat serangan yang melumpuhkan dari kerajaan Cola, India. Walaupun demikian, serangan tersebut belum mampu melenyapkan Sriwijaya dari muka bumi. Hingga awal abad ke-13 M, Sriwijaya masih tetap berdiri, walaupun kekuatan dan pengaruhnya sudah sangat jauh berkurang.

Silsilah
Salah satu cara untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah dengan melakukan perkawinan dengan kerajaan lain. Hal ini juga dilakukan oleh penguasa Sriwijaya. Dapunta Hyang yang berkuasa sejak 664 M, melakukan pernikahan dengan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan Tarumanegara, Linggawarman. Perkawinan ini melahirkan seorang putra yang menjadi raja Sriwijaya berikutnya: Dharma Setu. Dharma Setu kemudian memiliki putri yang bernama Dewi Tara. Putri ini kemudian ia nikahkan dengan Samaratungga, raja Kerajaan Mataram Kuno dari Dinasti Syailendra. Dari pernikahan Dewi Setu dengan Samaratungga, kemudian lahir Bala Putra Dewa yang menjadi raja di Sriwijaya dari 833 hingga 856 M. Berikut ini daftar silsilah para raja Sriwijaya:
Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683, Talang Tuo, 684).
1. Cri Indrawarman (berita Cina, tahun 724).
2. Rudrawikrama (berita Cina, tahun 728, 742).
3. Wishnu (prasasti Ligor, 775).
4. Maharaja (berita Arab, tahun 851).
5. Balaputradewa (prasasti Nalanda, 860).
6. Cri Udayadityawarman (berita Cina, tahun 960).
7. Cri Udayaditya (berita Cina, tahun 962).
8. Cri Cudamaniwarmadewa (berita Cina, tahun 1003, prasasti Leiden, 1044).
9. Maraviyayatunggawarman (prasasti Leiden, 1044).
10. Cri Sanggaramawijayatunggawarman (prasasti Chola, 1044).

Periode Pemerintahan
Kerajaan Sriwijaya berkuasa dari abad ke-7 hingga awal abad ke-13 M, dan mencapai zaman keemasan di era pemerintahan Balaputra Dewa (833-856 M). Kemunduran kerajaan ini berkaitan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di Sumatera, dan munculnya kekuatan Singosari dan Majapahit di Pulau Jawa.
Wilayah Kekuasaan
Dalam sejarahnya, kerasaan Sriwijaya menguasai bagian barat Nusantara. Salah satu faktor yang menyebabkan Sriwijaya bisa menguasai seluruh bagian barat Nusantara adalah runtuhnya kerajaan Fu-nan di Indocina. Sebelumnya, Fu-nan adalah satu-satunya pemegang kendali di wilayah perairan Selat Malaka. Faktor lainnya adalah kekuatan armada laut Sriwijaya yang mampu menguasai jalur lalu lintas perdagangan antara India dan Cina. Dengan kekuatan armada yang besar, Sriwijaya kemudian melakukan ekspansi wilayah hingga ke pulau Jawa. Dalam sumber lain dikatakan bahwa, kekuasaan Sriwijaya sampai ke Brunei di pulau Borneo.
Dari prasasti Kota Kapur yang ditemukan JK Van der Meulen di Pulau Bangka pada bulan Desember 1892 M, diperoleh petunjuk mengenai Kerajaan Sriwijaya yang sedang berusaha menaklukkan Bumi Jawa. Meskipun tidak dijelaskan wilayah mana yang dimaksud dengan Bhumi Jawa dalam prasasti itu, beberapa arkeolog meyakini, yang dimaksud Bhumi Jawa itu adalah Kerajaan Tarumanegara di Pantai Utara Jawa Barat. Selain dari isi prasasti, wilayah kekuasaan Sriwijaya juga bisa diketahui dari persebaran lokasi prasasti-prasasti peninggalan Sriwjaya tersebut. Di daerah Lampung ditemukan prasasti Palas Pasemah, di Jambi ada Karang Berahi, di Bangka ada Kota kapur, di Riau ada Muara Takus. Semua ini menunjukkan bahwa, daerah-daerah tersebut pernah dikuasai Sriwijaya. Sumber lain ada yang mengatakan bahwa, kekuasaan Sriwijaya sebenarnya mencapai Philipina. Ini merupakan bukti bahwa, Sriwijaya pernah menguasai sebagian besar wilayah Nusantara.
Struktur Pemerintahan
Kekuasaan tertinggi di Kerajaan Sriwijaya dipegang oleh raja. Untuk menjadi raja, ada tiga persyaratan yaitu:
1. Samraj, artinya berdaulat atas rakyatnya.
2. Indratvam, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu memberikan kesejahteraan pada rakyatnya.
3. Ekachattra. Eka berarti satu dan chattra berarti payung. Kata ini bermakna mampu memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya.
Penyamaan raja dengan Dewa Indra menunjukkan raja di Sriwijaya memiliki kekuasaan yang bersifat transenden.
Belum diketahui secara jelas bagaimana struktur pemerintahan di bawah raja. Salah satu pembantunya yang disebut secara jelas hanya senapati yang bertugas sebagai panglima perang.
Kehidupan Ekonomi, Sosial, Budaya
Sebagai kerajaan besar yang menganut agama Budha, di Sriwijaya telah berkembang iklim yang kondusif untuk mengembangkan agama Budha tersebut. Dalam catatan perjalanan I-tsing disebutkan bahwa, pada saat itu, di Sriwijaya terdapat seribu pendeta. Dalam perjalanan pertamanya, I-tsing sempat bermukim selama enam bulan di Sriwijaya untuk mendalami bahasa Sansekerta. I-tsing juga menganjurkan, jika seorang pendeta Cina ingin belajar ke India, sebaiknya belajar dulu setahun atau dua tahun di Fo-shih (Palembang), baru kemudian belajar di India. Sepulangnya dari Nalanda, I-tsing menetap di Sriwijaya selama tujuh tahun (688-695 M) dan menghasilkan dua karya besar yaitu Ta T‘ang si-yu-ku-fa-kao-seng-chuan dan Nan-hai-chi-kuei-nei-fa-chuan (A Record of the Budhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago) yang selesai ditulis pada tahun 692 M. Ini menunjukkan bahwa, Sriwijaya merupakan salah satu pusat agama Budha yang penting pada saat itu.
Sampai awal abad ke-11 M, Kerajaan Sriwijaya masih merupakan pusat studi agama Buddha Mahayana. Dalam relasinya dengan India, raja-raja Sriwijaya membangun bangunan suci agama Budha di India. Fakta ini tercantum dalam dua buah prasasti, yaitu prasasti Raja Dewapaladewa dari Nalanda, yang diperkirakan berasal dari abad ke-9 M; dan prasasti Raja Rajaraja I yang berangka tahun 1044 M dan 1046 M.
Prasasti pertama menyebutkan tentang Raja Balaputradewa dari Suwarnadwipa (Sriwijaya) yang membangun sebuah biara; sementara prasasti kedua menyebutkan tentang Raja Kataha dan Sriwijaya, Marawijayayottunggawarman yang memberi hadiah sebuah desa untuk dipersembahkan kepada sang Buddha yang berada dalam biara Cudamaniwarna, Nagipattana, India.
Di bidang perdagangan, Kerajaan Sriwijaya mempunyai hubungan perdagangan yang sangat baik dengan saudagar dari Cina, India, Arab dan Madagaskar. Hal itu bisa dipastikan dari temuan mata uang Cina, mulai dari periode Dinasti Song (960-1279 M) sampai Dinasti Ming (abad 14-17 M). Berkaitan dengan komoditas yang diperdagangkan, berita Arab dari Ibn al-Fakih (902 M), Abu Zayd (916 M) dan Mas‘udi (955 M) menyebutkan beberapa di antaranya, yaitu cengkeh, pala, kapulaga, lada, pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak, kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah, dan penyu. Barang-barang ini dibeli oleh pedagang asing, atau dibarter dengan porselen, kain katun dan kain sutra.

PERKEMBANGAN AGAMA HINDU PADA SAAT KERAJAAN KALINGGA

Kalingga adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Tengah, yang pusatnya berada di daerah Kabupaten Jepara sekarang. Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.
Putri Maharani Shima, Parwati, menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Mandiminyak, yang kemudian menjadi raja kedua dari Kerajaan Galuh.
Maharani Shima memiliki cucu yang bernama Sanaha yang menikah dengan raja ketiga dari Kerajaan Galuh, yaitu Brantasenawa. Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama Sanjaya yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732 M).
Setelah Maharani Shima meninggal di tahun 732 M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram, dan kemudian mendirikan Dinasti/Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.
Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban.
Kemudian Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran.
Pada abad ke-5 muncul Kerajaan Ho-ling (atau Kalingga) yang diperkirakan terletak di utara Jawa Tengah. Keterangan tentang Kerajaan Ho-ling didapat dari prasasti dan catatan dari negeri Cina. Pada tahun 752, Kerajaan Ho-ling menjadi wilayah taklukan Sriwijaya dikarenakan kerajaan ini menjadi bagian jaringan perdagangan Hindu, bersama Malayu dan Tarumanagara yang sebelumnya telah ditaklukan Sriwijaya. Ketiga kerajaan tersebut menjadi pesaing kuat jaringan perdagangan Sriwijaya-Buddha.
Catatan dari zaman Dinasti Tang
Cerita Cina pada zaman Dinasti Tang (618 M - 906 M) memberikan tentang keterangan Ho-ling sebagai berikut.
• Ho-ling atau disebut Jawa terletak di Lautan Selatan. Di sebelah timurnya terletak Pulau Bali dan di sebelah barat terletak Pulau Sumatera.
• Ibukota Ho-ling dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tonggak kayu.
• Raja tinggal di suatu bangunan besar bertingkat, beratap daun palem, dan singgasananya terbuat dari gading.
• Penduduk Kerajaan Ho-ling sudah pandai membuat minuman keras dari bunga kelapa
• Daerah Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak dan gading gajah.
Catatan dari berita Cina ini juga menyebutkan bahwa sejak tahun 674, rakyat Ho-ling diperintah oleh Ratu Sima (Simo). Ia adalah seorang ratu yang sangat adil dan bijaksana. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Ho-ling sangat aman dan tentram.
[sunting] Catatan I-Tsing
Catatan I-Tsing (tahun 664/665 M) menyebutkan bahwa pada abad ke-7 tanah Jawa telah menjadi salah satu pusat pengetahuan agama Buddha Hinayana. Di Ho-ling ada pendeta Cina bernama Hwining, yang menerjemahkan salah satu kitab agama Buddha. Ia bekerjasama dengan pendeta Jawa bernama Janabadra. Kitab terjemahan itu antara lain memuat cerita tentang Nirwana, tetapi cerita ini berbeda dengan cerita Nirwana, tetapi cerita ini berbeda dengan cerita Nirwana dalam agama Buddha Hinayana.
[sunting] Prasasti
Prasasti peninggalan Kerajaan Ho-ling adalah Prasasti Tukmas. Prasasti ini ditemukan di Desa Dakwu daerah Grobogan, Purwodadi di lereng Gunung Merbabu di Jawa Tengah. Prasasti bertuliskan huruf Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Prasasti menyebutkan tentang mata air yang bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan dengan Sungai Gangga di India. Pada prasasti itu ada gambar-gambar seperti trisula, kendi, kapak, kelasangka, cakra dan bunga teratai yang merupakan lambang keeratan hubungan manusia dengan dewa-dewa Hindu.

Selasa, 12 Oktober 2010

KODEFIKASI DAN KLASIFIKASI VEDA

I. KODIFIKASI VEDA SRUTI
Pada mulanya para maharsi menerima wahyu itu lama kemudian ketika tulisan ditemukan, barulah dituliskan kembali mantram-mantram Veda itu. Tradisi pembelajaran Veda pada jaman dulu disebut sakha yang kemudian berkembang menjadi sampradaya atau asrama, yakni pusat pembelajaran Veda yang dipimpin oleh seorang maharsi atau lebih. Di dalam asrama itu wahyu Tuhan didiskusikan dan diteruskan secara lisan melalui sistem parampara dalam tradisi Hindu. Dan diyakini yang menghimpun atau mengkompilasi mantram-mantram Veda (Sruti) yang sebelumnya tersebar dalam berbagai sakha adalah Maharsi Vyasa. Veda disusun dan dituliskan kembali oleh Maharsi Vyasa dalam 4 himpunan dibantu 4 orang siswanya yaitu :
1. Pulaha, yang menyusun Rgveda yang merupakan himpunan pengetahuan suci yang berhubungan dengan pemujaan.
2. Vaisampayana, yang menyusun Yajurveda yang isinya pengetahuan suci tentang upacara korban.
3. Jaimini, yang menyusun Samaveda yang berisi himpunan pengetahuan suci tentang irama (melodi).
4. Sumantu, yang menyusun Atharvaveda yang berisi nyanyian-nyanyian yang bersifat magis.
Pengelompokkan dari keempat kitab Veda (Sruti) itu terdiri dari :
1. Samhita yakni himpunan mantra-mantra Veda yang mengandung mantra upasana (doa kebaktian, pemujaan, ucapan syukur, mantra-mantra upacara korban), ajaran filsafat dan tata susila, pendidikan, dan lain-lain.
2. Brahmana yakni uraian tentang ketuhanan/teologi teristimewa observasi tentang jalannya upacara korban atau mistis dari upacara korban yang dilakukan oleh individu atau kelompok.
3. Aranyaka dan Upanisad. Aranyaka berarti buku hutan dan Upanisad berarti ajaran yang bersifat rahasia (rahasyam). Di dalam kitab-kitab tersebut terkandung ajaran tentang teologi, ajaran filsafat Hindu yang sangat mendalam dan medias atau kehidupan menjadi pertapa di hutan, juga ajaran Yoga untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.
I.A. Rgveda
Rgveda terdiri dari 1028 sukta (himne), 10.552 mantra. Terbagi atas 10 mandala dan masing-masing mandala terdiri dari beberapa sukta atau varga (himne) dan masing-masing sukta terdiri dari beberapa mantra. Rgveda memiliki beberapa resensi yaitu resensi Sakala, Baskala, Aswalayana, Samkhyayana dan Mandukaya. Resensi Sakala adalah resensi yang paling lengkap.
Kitab Aitareya (40 adhyaya) dan Kausitaki (Samkhyayana) (30) merupakan kitab Brahmana dari Rgveda. Aitareya umurnya lebih tua dan isinya lebih tebal, tetapi Kausitaki lebih kaya dan isinya lebih bervariasi. Aitareya ditulis oleh Mahidasa Aitareya; isinya ialah persembahan Soma, Agnihotra (persembahan api) dan Rajasuya (upacara penobatan raja). Kausitaki memuat 30 adhyaya; adhyaya 1 sampai 6 berisi tentang persembahan makanan, sedangkan adhyaya 7 sampai 30 tentang upacara persembahan Soma.
Aitareya Brahmana memuat Aitareya Aranyaka dan Kausitaki Brahmana memuat Kausitaki Aranyaka. Upanisad yang tergolong dalam Rgveda ada 10 buah yaitu : Aitareya, Kausitaki, Nadabindu, Atmaprabodha, Nirvana, Mudgala, Aksamalika, Tripura, Sambhagya dan Bahvrca.
I.B. Samaveda
Samaveda terdiri dari 1875 mantra yang sebagian besar diambil dari mantra-mantra Rgveda (1800 mantra merupakan pengulangan dari mantra-mantra Rgveda, 2 mantra berasal dari Yajurveda). Terdapat 3 resensi Samaveda yaitu Kauthuma, Ranayaniya dan Jaiminiya (Jaiminiya merupakan yang terpenting). Kauthuma terdiri dari 2 bagian yaitu Mantra dan Brahmana. Kitab Mantra terdiri dari 2 sub bagian yaitu Purvarcika (dari Rgveda) dan Uttararcika (mantra tambahan)
Kitab Brahmana dalam Samaveda adalah Tandyamaha Brahmana (Pancavimsa Brahmana), Jaiminiya Brahmana, Talavakara dan Kautama. Tandyamaha Brahmana terdiri dari 25 bab, 2 bab merupakan sisipan yang dianggap bagian yang berdiri sendiri dengan satu tambahan yang disebut Sadvimsa Brahmana.
Pada bagian awal dari Chandogya Upanisad merupakan kitab Aranyaka dari kitab Brahmana kitab Samaveda. Upanisad yang tergolong dalam Samaveda adalah Kena, Chandogya, Aruni, Maitrayani, Vajrasucika, Yogacundamani, Vasudeva, Mahat, Sanyasa, Avyakta, Kundika, Savitri, Rudraksa Jabala, Darsana, Jabali dan Maitreyi.
I.C. Yajurveda
Yajurveda terdiri dari 1975 mantra yang tersebar kedalam 40 adhyaya. Adhyaya yang terbesar adalah adhyaya 12 yang terdiri dari 117 mantra, diikuti oleh adhyaya 17 (99 mantra), adhyaya 24 ( 98 mantra), adhyaya 33 (97 mantra), adhyaya 19 (95 mantra), adhyaya 20 (90 mantra), adhyaya 11 (83 mantra); yang terpendek adalah adhyaya 39 (13 mantra). Ada 2 bagian kitab Yajurveda yaitu:
1. 1. Sukla Yajurveda; terdiri dari 2 resensi yaitu Kanva dan Madhyandina ( Vajasaneyi). Kitab Brahmana dari Yajurveda adalah Satapatha Brahmana ( mengatur tentang upacara ) yang terbagi atas 100 adhyaya yang disusun oleh Yajnavalkya Vajasaneya. Upanisad yang tergolong dalam kelompok Sukla Yajurveda adalah Isavasya, Brhadaranyaka, Jabala, Hamsa, Paramahamsa, Subala, Mantrika, Nirambha, Trisikhi, Brahmana, Turiyatita, Advayataraka, Paingala, Biksu, Adhyatma, Tarasara, Yajnavalkya, Satyayani, Muktika, Mandala Brahmana.
2. 2. Krsna Yajurveda; memiliki 4 resensi yaitu Kathaka, Kapisthala Katha, Maitrayani dan Taittiriya. Taittiriya terbagi atas 2 bagian yaitu Apastaba dan Hiranyakesin. Taittiriya Brahmana merupakan kitab Brahmana dari Krsna Yajurveda. Upanisad yang termasuk dalam kelompok Krsna Yajurveda antara lain: Kathavali, Taittiriya, Brahma, Kaivalya, Svetasvatara, Garbha, Narayana, Amrtabindu, Amrta-nada, Kalagnirudra, Sarvasara, Sukharahasya, Tejobindu, Dhyanabindu, Yogatattva, Daksinamurti, Skanda, Sariraka, Yogasikha, Ekaksara, Aksi, Avaduta, Katha, Rudrahrdya, Yoga kundalini, Pancabrahma, Pranagnihotra, Varaha, Kalisamtarana, Sarasvatirahasya, Ksurika.
I.D Atharvaveda
Atharvaveda ditulis oleh Maharsi Atharvan, terdiri dari 5987 mantra, 20 kanda dimana tiap-tiap kanda terbagi atas himne dan tiap-tiap himne terdapat beberapa mantra. Kanda 1 sampai 7 mengandung nyanyian-nyanyian pendek, kanda 8 sampai 12 mengandung nyanyian yang lebih panjang, kanda 13 berisi nyanyian-nyanyian yang ditujukan kepada matahari (Rohita), kanda 14 berisi nyanyian-nyanyian perkawinan, kanda 15 tentang Vratya, kanda 18 tentang nyanyian untuk orang mati.
Aslinya terdapat 9 resensi tentang Atharvaveda dan kini yang masih tersisa hanyalah resensi dari Sakha Paippalada dan Saunaka. Sembilan resensi itu adalah Paippalada, Danta, Pradanta, Snata, Snauta, Brahmadavala, Saunaka, Devadarsani dan Caranavidya.
Gopatha Brahmana adalah kitab Brahmana dari Atharvaveda. Upanisad yang masuk dalam kelompok Atharvaveda antara lain: Prasna, Mundaka, Mandukya, Atharvasira, Atharvasikha, Brhajabala, Nrsimhatapani, Naradaparivrajaka, Sita, Sarabha, Mahanarayana, Ramarahasya, Ramatapani, Sandilya, Annapurna, Surya, Atma, Pasupata, Parabrahma, Tripuratapani, Dewi, Paramahamsa, Parivrajaka, Bhawana, Ganapati, Mahavakya, Gopalatapani, Krsna, Brahmajabala, Hayagriva, Dattareya, Garuda.

Penciptaan Alam Semesta Menurut Veda

Penciptaan Alam Semesta Menurut Veda

Dalam Manawa Dharmasastra 1.5; dijelaskan bahwa Alam semerta ini pada mulanya adalah bentuk kegelapan, tak dapat dilihat tanpa ciri2 sama sekali, tak terjangkau leh daya pikiran, tak dapat dikenal, se-olah2 sebagai orang yang tenggelam dalam tidur yang paling menyenyakan.

Chandogya Upanisad 3.14.1 menyatakan bahwa semuanya adalah Brahman.
Tidak ada neraka abadi karena bahkan neraka pun tidak bisa dipisahkan dengan Tuhan. Bahkan, tidak ada surga atau neraka pada akhir zaman. Semesta hanyalah manifestasi dari Yang Kuasa, dan akhir dari siklus semesta yang sekarang disebut “Mahapralaya” saat semua kembali pada Purusa. Di akhir zaman, tidak ada surga, tidak ada neraka dan tidak ada jiwa.

Matsya Purana 2.25-30, penciptaan diceritakan terjadi setelah Mahapralaya, leburnya alam semesta, kegelapan di mana-mana. Semuanya dalam keadaan tidur. Tidak ada materi apapun, baik yang bergerak maupun tak bergerak. Lalu Svayambhu, self being, menjelma, yang merupakan bentuk di luar indra. Ia menciptakan air/cairan pertama kali, dan menciptakan bibit penciptaan di dalamnya. Bibit itu tumbuh menjadi telur emas. Lalu Svayambhu memasuki telur itu, dan disebut Visnu karena memasukinya.

Manawa Dharmasastra 1.8-11; Ia (Tuhan) yang ingin menciptakan dirinya sendiri semua makhluk2 hidup yang beranekaragam, mula2 dengan pikiranNYa terciptalah benih dan benih itupun menjadi telor alam yang maha suci dan maha terang, dalam telor itulah Ia menciptakan dirinya sebagai Brahman, pencipta dan cikal bakal dari alam semesta. dari cikal bakal (sebab) yang pertama ini, yang tak berbedakan, kekal yang nyata dan tak nyata, munculah purusa.

Rg. Veda menjelaskan bahwa sebelum penciptaan Alam semesta dalam bentuk tak berwujud yang disebut rahim emas, rahim dari semesta atau Hiranyagharba.
“Sebelum penciptaan adalah rahim emas, ia adalah tuan dari segala yang lahir. Ia memegang bumi.” – Rg. Veda 10.121.1

Sebelum penciptaan yang ada hanya kosong. Belum ada ruang maupun waktu. Tak ada materi.
“Pada mulanya sama sekali tiada apapun. Tiada surga, tiada bumi dan atmosfer.” - Taittiriya Brahmana 2.2.9.1
“Seluruh semesta termasuk bulan, matahari, galaksi dan planet-planet ada di dalam telur. Telur ini dikelilingi oleh sepuluh kualitas dari luar.” - Vayu Purana 4.72-73
“Di akhir dari ribuan tahun, Telur itu dibagi dua oleh Vayu.” - Vayu Purana 24.73
“Dari telur emas, alam material diciptakan.” - Manusmrti 1.13

istilah telur emas atau telur alam sekedar merupakan bahasa yang melukiskan sifat2 yang mengandung ide kesucian / keistimewaan. Saat Penciptaan Semesta, Purusa/Prajapati/Brahman menciptakan dua kekuatan yang disebut Purusa yaitu kekuatan hidup (batin / nama) dan Prakerti (pradana/rupa) yaitu kekuatan kebendaan. Kemudian timbul “citta” yaitu alam pikiran yang dipengaruhi oleh Tri Guna yaitu Satwam (sifat kebenaran / Dharma), Rajah (sifat kenafsuan / dinamis) dan Tamah (Adharma / kebodohan / apatis). Kemudian timbul Budi (naluri pengenal), setelah itu timbul Manah (akal dan perasaan), selanjutnya timbul Ahangkara (rasa keakuan). Setelah ini timbul Dasa indria (sepuluh indria/gerak keinginan) yang terbagi dalam kelompok;
• Panca Budi Indria yaitu lima gerak perbuatan/rangsangan: Caksu indria (penglihatan), Ghrana indria (penciuman), Srota indria (pendengaran), Jihwa indria (pengecap), Twak indria (sentuhan atau rabaan).
• Panca Karma Indria yaitu lima gerak perbuatan/penggerak: Wak indria (mulut), Pani (tangan), Pada indria (kaki), Payu indria (pelepasan), Upastha indria (kelamin).
Setelah itu timbullah lima jenis benih benda alam ( Panca Tanmatra): Sabda Tanmatra (suara), Sparsa Tanmatra (rasa sentuhan), Rupa Tanmatra (penglihatan), Rasa Tanmatra (rasa), Gandha Tanmatra (penciuman). Dari Panca Tanmatra lahirlah lima unsur-unsur materi yang dinamakan Panca Maha Bhuta, yaitu Akasa (ether), Bayu (angin), Teja (sinar), Apah (zat cair) dan Pratiwi (zat padat).
Pancamahabhuta berbentuk Paramānu atau benih yang lebih halus daripada atom. Pada saat penciptaan, Pancamahabhuta bergerak dan mulai menyusun alam semesta dan mengisi kehampaan. Setiap planet dan benda langit tersusun dari kelima unsur tersebut, namun kadangkala ada salah satu unsur yang mendominasi.

“dan juga diciptakan tingkatan daripada Dewa2 yang memiliki hidup dan sifat bergerak, juga diciptakan Sandhya serta Yadnya yang kekal. diciptakan juga olehNYA waktu, bagian dari waktu, gugusan2, bulan2 dan planet2” - Manawa Dharmasastra 1.22-24
“dengan memakai lima macam unsur alam yang halus (panca tanmatra) sebagai sarana seluruh alam ini dibentuk olehNya dengan susunan yang teratur secara sempurna, Ia menentukan tujuan dari ciptaannya untuk selanjutnya arah itu merupakan jalan yang tetap dari ciptaanya yang mengikutinya” - Manawa Dharmasastra 1.27-28

Unsur-unsur tersebut dicampur dengan Citta, Buddhi, Ahamkara, Dasendria, Pancatanmatra dan Pancamahabhuta. Dari pencampuran tersebut, timbulah benih makhluk hidup, yaitu Swanita dan Sukla. Pertemuan kedua benih tersebut menyebabkan terjadinya makhluk hidup.

Teori penciptaan Veda lebih jauh dijelaskan dalam Bhagavata Purana/ Srimad Bhagavatam;
Srimad Bhagavatam (3.11.41) menjelaskan: “Lapisan-lapisan unsur yang menutupi alam semesta, masing-masing sepuluh kali lebih tebal dari lapisan sebelumnya, dan kumpulan seluruh alam semesta bersama-sama kelihatan bagai atom-atom dalam kombinasi yang besar.”
Srimad Bhagavatam (5.20.43-46) : “Matahari berada di pertengahan alam semesta, yaitu di wilayah ruang (antariksha) antara Bhurloka dan Bhuvarloka”

Sementara itu pada Srimad Bhagavatam skanda 5 bab 24 mengatakan munculnya alam semesta dari pori-pori Tuhan dalam wujud Karanodakasayi Visnu, dari sini muncul Garbhodakasayi Visnu yang berikutnya dari pusar Beliau muncul bentuk yang menyerupai bunga padma. Di atas bunga padma inilah Tuhan menciptakan mahluk hidup yang pertama, yaitu Dewa Brahma. Dewa Brahma diberi wewenang sebagai arsitek yang menciptakan susunan galaksi beserta isinya dalam satu alam semesta yang dikuasainya. Alam semesta berjumlah jutaan dan tidak terhitung banyaknya yang muncul dari pori-pori Karanodakasayi Visnu dan setiap alam semesta memiliki dewa Brahma yang berbeda-beda.

Ada Dewa Brahma yang berkepala 4 seperti yang dijelaskan menguasai alam semesta tempat bumi ini berada. Dan ada juga Brahma yang lain yang memiliki atribut yang berbeda, berkepala 8, 16, 32 dan sebagainya. Yang jelas dapat disimpulkan bahwa Brahma adalah merupakan kedudukan dalam sebuah alam semesta dan di seluruh jagat material terdapat sangat banyak dewa Brahma, bukan saja dewa Brahma bermuka empat yang telah biasa dibicarakan oleh umat Hindu saat ini.

Hal pertama yang diciptakan Brahma adalah susunan benda antariksa, planet, bintang dan sejenisnya mulai dari tingkatan paling halus sampai dengan yang paling kasar. Dalam penciptaan ini dijelaskan bahwa Tuhan menjelma sebagai Ksirodakasayi Visnu dan masuk kedalam setiap atom. Inilah kemahahebatan Tuhan sebagai maha ada dan menguasai setiap unsur dalam ciptaannya. Setelah itu Dewa Brahma menciptakan berbagai jenis kehidupan mulai dari para dewa, alien, mahluk halus, binatang, tumbuhan sampai pada bakteri yang keseluruhannya berjumlah 8.400.000 jenis kehidupan.

Ketika alam semesta berekspansi, Ia juga diberi nama Virata yang diturunkan dari akar kata ‘Vr’ yang artinya untuk menutupi yang juga berarti ‘sangat besar’.
“Vrtra menutupi kesemua tri loka.” - Taittiriya Samhita 2.4.12.2
“Vrtra berada jauh di atas di Antariksa.” – Rg.Veda 2.30.3
Tri loka melukiskan alam semesta, jadi disini Vrtra menutupi alam semesta. Jika Vrtra ada di batas alam semesta, ia bisa dikatakan berada ditempat yang jauh sekali.

Dalam Rg.Veda 1.32 dilukiskan bahwa Vrtra (sang ular) menahan air, dimatra 12 dijelaskan bahwa kekalahan Vrtra dari Indra membebaskan tujuh sungai untuk mengalir. Pembebasan tujuh sungai (sapta sindhu) oleh Indra bukanlah disebutkan hanya satu kali, tapi berulang-ulang kali dalam Rg.Veda. Ide dimana ular menahan air juga ditemukan dalam manuskrip yang berbeda-beda diseluruh dunia.

Mitos dari Quiches, suku Indian di Amerika Selatan, bisa ditemukan di Popol Vuh. Suku Quiches percaya bahwa pada mulanya adalah air dan ular berbulu.

Dalam Rg.Veda 4.17.13 Indra disebut sebagai Asanimana yang artinya Ia yang menguasai petir. Lebih lanjut dalam Kausitaki Brahmana 6.9, Indra disebut sebagai Asani (petir). Satapatha Brahmana mengatakan: “Siapakah Indra dan siapakah Prajapati? Petir adalah Indra dan Yajna adalah Prajapati.” - Satapatha Brahmana 11.6.3.9

Lebih lanjut dalam Rg.Veda bab II.72.4 disebutkan
“Aditer dakso ajayata, daksad uaditih pari” artinya : Dari aditi (materi) asalnya daksa (energi) dan dari daksa (energi) asalnya aditi (materi).
Mengakomodir pemaparan ayat-ayat Veda tentang penciptaan alam semesta, Veda mengajukan teori baru yang berbeda dengan teori penciptaan yang umum dikenal sekarang.

Secara garis besar Veda mengatakan bahwa alam semesta muncul dari pori-pori Tuhan yang merupakan energi maha besar dan berikutnya berkembang dan terus meluas membentuk materi yang memenuhi semesta raya.

Lebih lanjut, Srimad Bhagavatam dalam skanda yang sama menjelaskan pada akhir peleburan suatu alam semesta, alam semesta akan kembali masuk ke dalam pori-pori Tuhan.

Sementara itu pada akhir abad ke-20 para ilmuan mengamati adanya lubang hitam yang memiliki medan gravitasi sangat besar dan bahkan menarik cahaya masuk ke dalamnya, benda inilah yang disebut sebagai Black Hole. Jadi dikaitkan dengan fenomena tertariknya materi termasuk cahaya ke dalam lubang hitam ini, penulis mengajukan hipotesa dengan nama baru sesuai dengan konsep penciptaan dan peleburan alam semesta versi Veda, yaitu konsep Black Hole – White Hole. Meskipun pada kenyataannya saat ini belum satupun ilmuan yang mengamati keberadaan White Hole, White Hole barulah sebuah teori yang dihasilkan dari pemodelan Relativitas umum.

Black Hole adalah sebagai lubang tempat materi (aditi) kembali berubah menjadi energi (daksa) dan White Hole adalah lubang tempat energi (daksa) berubah menjadi materi (aditi). Dari satu White Hole akan terbentuk gelembung besar yang pada akhirnya membentuk satu alam semesta yang antara satu alam semesta dengan alam semesta lainnya masing-masing dibatasi oleh tegangan permukaan/lapisan yang sangat kuat [lihat Srimad Bhagavatam (3.11.41) ].

Dalam satu alam semesta sendiri juga terbentuk gelembung-gelembung (phena) yang memberi jarak yang tidak merata antara satu susunan galaksi dengan yang lainnya [lihat Satapatha Brahmana 6.1.3.2] Sementara itu di jagat raya terdapat jutaan White Hole yang masing-masing memunculkan satu gelembung alam semesta. Akankah fenomena White Hole belum teramati oleh teleskop tercanggih, Hubble sampai saat ini? White Hole muncul saat awal lahirnya alam semesta material. Hanya saja, apakah saat ini proses penciptaan alam material sebagaimana lahirnya alam semesta masih berlangsung?

Penciptaan Manusia dan Isi Bumi
Teori penciptaan Veda mengenai isi bumi dapat dilihat dalam kitab Veda Smriti yaitu Manawa Dharma sastra. disana disebutkan Brahman menciptakan mahlkuk hidup dan isi alam ini melalui tapaNya;
“kemudian Aku ingin menciptakan mahluk2 hidup, menjalankan tapa dengan maksud menciptakan sepuluh maharsi pemimpin dari mahluk hidup” - Manawa Dharmasastra 1.34
“mereka menjelmakan Tujuh Manu lagi yang memiliki cahaya cemerlang, para dewa dengan tingkat2annya dan maharsi yang memiliki kekuatan batin yang tinggi” - Manawa Dharmasastra 1.36
“diciptakan pula para yaksa, raksasa dan banyak tingkatan roh, kilat, guruh, mendung, pelangi, hujan, suara2 gaib, bintang2 yang bergerak serta sinar2 langit yang beraneka ragam. para kinnara, tumbuhan, berbagai jenis ikan, kura2, burung2, binatang, manusia dan segala macam benda2 tak bergerak. demikian semua ciptaan yang bergerak maupun tak bergerak, diciptakan oleh MahaAtma dengan kekuatan tapanya, semuanya atas perintahKu dan menurut hasil daripada perbuatannya” - Manawa Dharmasastra 1.37-41.
“ada Enam Manu lagi yang berjiwa suci dan berpikiran sangat tinggi, yang menjadi warga manu keturunan dari Swayambhu Manu yang telah menjadikan semua mahluk hidup di dunia ini” - Manawa Dharmasastra 1.61
“ketujuh Manu yang gemilang ini yang pertama adalah Swayambhu Manu, mengadakan dan melindungi semua mahluk hidup dan benda mati di dunia ini sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan baginya” - Manawa Dharmasastra 1.63

Dalam agama Hindu, Manu adalah pemimpin setiap Manwantara, yaitu suatu kurun zaman dalam satu kalpa. Ada empat belas Manwantara, sehingga ada empat belas Manu. Daftar para Manu dipaparkan di bawah ini dari manu pertama sampai manu ke empat belas; Swayambu, Swarocisa, Utama, Tamasa, Raiwata, Caksusa, Waiwaswata, Sawarni, Daksasawarni, Brahmasawarni, Darmasawarni, Rudrasawarni, Rocya atau Dewasarni dan Botya atau Indrasawarni. Zaman sekarang adalah Manwantara ketujuh dan oleh Manu ketujuh yang bergelar Waiwaswata Manu. Jadi, tujuh Manwantara lainnya akan terjadi di masa depan, dan dipimpin oleh seorang Manu yang baru. Menurut Hindu, keberadaan alam semesta tak lepas dari siklus kalpa. Satu kalpa berlangsung selama jutaan tahun, dan satu kalpa terdiri dari empat belas Manwantara (siklus Manu).

Manu yang pertama adalah Swayambu Manu, sebagai kakek moyang manusia. Swayambu Manu menikah dengan Satarupa dan memiliki keturunan. Anak cucu dari Manu disebut Manawa (secara harfiah berarti keturunan Manu), merujuk kepada manusia zaman sekarang. Menurut agama Hindu, Swayambu Manu dan Satarupa merupakan pria dan wanita pertama di dunia .

Waiwaswata Manu, atau Manu yang sekarang, dikatakan merupakan putra dari Surya (Wiwaswan), yaitu dewa matahari menurut mitologi Hindu. Waiwaswata Manu terlahir pada zaman Satyayuga dan mendirikan kerajaan bernama Kosala, dengan pusat pemerintahan di Ayodhya. Ia memiliki sepuluh anak: Wena, Dresnu (Dresta), Narisyan (Narisyanta), Nabaga, Ikswaku, Karusa, Saryati, Ila, Persadru (Persadra), dan Nabagarista. Dalam kitab Matsyapurana, ia muncul sebagai raja yang menyelamatkan umat manusia dari bencana air bah setelah mendapat pesan dari Wisnu yang berwujud ikan (Matsya Awatara). Cerita penyelamatan raja dan mahluk hidup ini sangat mirip dengan riwayat Nabi Nuh (kisah perahu Noah/Nuh dalam torah) yang menyelamatkan mahluk hidup dari bencana air bah.

Manwantara (Sanskerta: मन्वन्तर ) adalah satuan waktu dalam agama Hindu yang terdiri dari 71 Mahayuga. Menurut mitologi Hindu, bila 14 Manwantara telah berlalu, maka seluruh dunia akan dihancurkan. Saat ini, sudah enam manwantara berlalu dan zaman sekarang adalah manwantara ketujuh. Jadi, masih ada tujuh manwantara lagi sebelum dunia dihancurkan.

Menurut kitab Purana, dunia terbagi menjadi empat zaman, diawali oleh Satyayuga (zaman kebenaran), dan diakhiri oleh Kaliyuga (zaman kegelapan). Setelah Kaliyuga berakhir, dimulailah Satyayuga yang baru. Demikian seterusnya dan siklus dari zaman Satyayuga menuju Kaliyuga disebut Mahayuga. Menurut kitab Brahmapurana, satu Mahayuga berlangsung selama 12.000 tahun para dewa atau 4.320.000 tahun manusia.

Secara singkat diuraikan sebagai berikut:
Satyayuga (1.728.000 tahun), Tretayuga (1.296.000 tahun), Dwaparayuga (864.000 tahun), Kaliyuga (432.000 tahun), Sehinga lama Mahayuga (4.320.000 tahun)

71 Mahayuga membentuk satu manwantara. Dengan demikian, lama berlangsungnya 1 manwantara dapat dihitung sebagai berikut:
• 1 Mahayuga = 4.320.000 tahun
• 71 Mahayuga = 1 Manwantara
• 1 Manwantara = 71 × 4.320.000 tahun = 306.720.000 tahun
Maka, satu manwantara berlangsung selama 306.720.000 tahun. Setelah 14 manwantara berlangsung, maka tercapailah periode satu Kalpa. Alam semesta dihancurkan setiap periode satu Kalpa. Menurut berbagai kitab Purana, zaman sekarang adalah manwantara ketujuh, berarti enam manwantara telah berlalu dan masih ada tujuh manwantara lagi sebelum dunia dihancurkan.

mengenai kiamat juga sudah dijelaskan dalam Veda, bahwa kiamat itu sendiri sudah biasa dan sudah pernah terjadi berulang-ulang kalinya;