Senin, 22 Maret 2010

TUGAS YOGA

Pengertian Nyepi
Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi, senyap). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan / kalender Saka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Tidak seperti perayaan tahun baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktifitas seperti biasa. Semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, seperti Bandar Udara Internasional pun tutup, namun tidak untuk rumah sakit.
Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Buwana Alit (alam manusia / microcosmos) dan Buwana Agung/macrocosmos (alam semesta). Sebelum Hari Raya Nyepi, terdapat beberapa rangkaian upacara yang dilakukan umat Hindu, khususnya di daerah Bali.
Makna Hari Raya Nyepi
Hari Raya Nyepi adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap tahun Baru Saka (Penanggal Ping Pisan Sasih Kadasa). Hari Nyepi ini jatuh pada hitungan Tilem Kesanga (IX) yang dipercayai merupakan hari penyucian dewa-dewa yang berada di pusat samudera yang membawa intisari amerta air hidup. Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap mereka.

Makna dari Nyepi adalah membuat suasana hening, tanpa kegiatan (amati karya), tanpa menyalakan api (amati geni), tidak keluar rumah (amati lelungaan), dan tanpa hiburan (amati lelanguan), yang dikenal dengan istilah “Catur Berata Penyepian”. Di hari itu umat Hindu melakukan tapa, berata, yoga, samadhi untuk mengadakan koreksi total pada diri sendiri, serta menilai pelaksanaan trikaya (kayika = perbuatan, wacika = perkataan, manacika = pikiran) di masa lampau, kemudian merencanakan trikaya parisudha (trikaya yang suci) di masa depan.
Tujuan Hari Raya Nyepi
Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Mahaesa, untuk menyucikan Buwana Alit (alam manusia) dan Buwana Agung (alam semesta). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan bagian dari rangkaian perayaan yang lebih besar.

Melasti, Tawur (Pecaruan), dan Pengrupukan
Tiga atau dua hari sebelum Nyepi, umat Hindu melakukan Penyucian dengan melakukan upacara Melasti atau disebut juga Melis/Mekiyis. Pada hari tersebut, segala sarana persembahyangan yang ada di Pura (tempat suci) di arak ke pantai atau danau, karena laut atau danau adalah sumber air suci (tirta amerta) dan bisa menyucikan segala leteh (kotor) di dalam diri manusia dan alam.
Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada "tilem sasih kesanga" (bulan mati yang ke-9), umat Hindu melaksanakan upacara Buta Yadnya di segala tingkatan masyarakat,mulai dari masing-masing keluarga,banjar,desa,kecamatan dan seterusnya, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis caru (semacam sesajian) menurut kemampuannya. Buta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisuda Buta Kala, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna semuanya. Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari nasi manca (lima) warna berjumlah 9 tanding/paket beserta lauk pauknya, seperti ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Buta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala dan Batara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat.
Mecaru diikuti oleh upacara pengerupukan, yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. Khusus di Bali, pengrupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Buta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Buta Kala dari lingkungan sekitar.
Puncak acara Nyepi
Keesokan harinya, yaitu pada Purnama Kedasa (bulan purnama ke-10), tibalah Hari Raya Nyepi sesungguhnya. Pada hari ini suasana seperti mati. Tidak ada kesibukan aktifitas seperti biasa. Pada hari ini umat Hindu melaksanakan "Catur Brata" Penyepian yang terdiri dari amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Serta bagi yang mampu juga melaksanakan tapa,brata,yoga dan semadhi.
Demikianlah untuk masa baru, benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam tahun baru Caka pun, dasar ini dipergunakan, sehingga semua yang kita lakukan berawal dari tidak ada,suci dan bersih. Tiap orang berilmu (sang wruhing tattwa jñana) melaksanakan brata (pengekangan hawa nafsu), yoga ( menghubungkan jiwa dengan paramatma (Tuhan), tapa (latihan ketahanan menderita), dan samadi (manunggal kepada Tuhan, yang tujuan akhirnya adalah kesucian lahir batin).
Semua itu menjadi keharusan bagi umat Hindu agar memiliki kesiapan batin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan di tahun yang baru. Kebiasaan merayakan hari raya dengan berfoya-foya, berjudi, mabuk-mabukan adalah sesuatu kebiasaan yang keliru dan mesti diubah.
Ngembak Geni (Ngembak Api)
Rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka adalah hari Ngembak Geni yang jatuh pada "pinanggal ping kalih" (tanggal 2) sasih kedasa (bulan X). Pada hari ini Tahun Baru Saka tersebut memasuki hari kedua. Umat Hindu bersilaturahmi dengan keluarga besar dan tetangga, saling maaf memaafkan (ksama) satu sama lain.

Nah, lalu bagaimana pelaksanaan Nyepi di luar Bali? Rangkaian Hari Raya Nyepi di luar Bali dilaksanakan berdasarkan desa, kala, patra dengan tetap memperhatikan tujuan utama hari raya yang jatuh setahun sekali itu. Artinya, pelaksanaan Nyepi di Jakarta misalnya, jelas tidak bisa dilakukan seperti di Bali. Kalau di Bali, tak ada kendaraan yang diperkenankan keluar (kecuali mendapat izin khusus), namun di Jakarta hal serupa jelas tidak bisa dilakukan.
Sebagaimana telah dikemukakan, brata penyepian telah dirumuskan kembali oleh Parisada menjadi Catur Barata Penyepian yaitu:
-Amati geni (tidak menyalakan api termasuk memasak). Itu berarti melakukan upawasa (puasa).
- Amati karya (tidak bekerja), menyepikan indria.
- Amati lelungan (tidak bepergian).
- Amati lelanguan (tidak mencari hiburan).
Pada prinsipnya, saat Nyepi, panca indria kita diredakan dengan kekuatan manah dan budhi. Meredakan nafsu indria itu dapat menumbuhkan kebahagiaan yang dinamis sehingga kualitas hidup kita semakin meningkat. Bagi umat yang memiliki kemampuan yang khusus, mereka melakukan tapa yoga brata samadhi pada saat Nyepi itu.
Yang terpenting, Nyepi dirayakan dengan kembali melihat diri dengan pandangan yang jernih dan daya nalar yang tiggi. Hal tersebut akan dapat melahirkan sikap untuk mengoreksi diri dengan melepaskan segala sesuatu yang tidak baik dan memulai hidup suci, hening menuju jalan yang benar atau dharma. Untuk melak-sanakan Nyepi yang benar-benar spritual, yaitu dengan melakukan upawasa, mona, dhyana dan arcana.
Upawasa artinya dengan niat suci melakukan puasa, tidak makan dan minum selama 24 jam agar menjadi suci. Kata upawasa dalam Bahasa Sanskerta artinya kembali suci. Mona artinya berdiam diri, tidak bicara sama sekali selama 24 jam. Dhyana, yaitu melakukan pemusatan pikiran pada nama Tuhan untuk mencapai keheningan. Arcana, yaitu melakukan persembahyangan seperti biasa di tempat suci atau tempat pemujaan keluarga di rumah. Pelaksanaan Nyepi seperti itu tentunya harus dilaksana-kan dengan niat yang kuat, tulus ikhlas dan tidak didorong oleh ambisi-ambisi tertentu. Jangan sampai dipaksa atau ada perasaan terpaksa. Tujuan mencapai kebebesan rohani itu memang juga suatu ikatan. Namun ikatan itu dilakukan dengan penuh keikh-lasan.

PASURUAN, KOMPAS.com — Umat Hindu suku Tengger di kawasan Gunung Bromo Tosari, Pasuruan, Jawa Timur, mulai Kamis (26/3) pukul 00.00, menyambut tahun baru Saka 1931 dengan melaksanakan Yoga Samadhi Hari Suci Nyepi, yakni melaksanakan empat berata (catur berata).

Keempat catur berata yang wajib dilaksanakan itu meliputi amati geni (berpatang menyalakan api), upawasa (berpuasa), amati karya (berpantang melakukan aktivitas kerja), amati lelanguan (berpantangan menghibur diri dan tidak menikmati kesenangan), dan amati lelungan (berpantangan bepergian).

Dalam kesenyapan Hari Suci Nyepi itu, umat Hindu bermawas diri, menyatukan pikiran serta cipta, rasa, dan karsa, menuju penemuan hakikat keberadaan diri dan inti sari kehidupan semesta.

Hari Raya Nyepi (Kajian Upācāra & Implementasi Pada Kehidupan)
12/03/2010 in Artikel
Hari Raya Nyepi
(Kajian Upācāra & Implementasi Pada Kehidupan)
Oleh : I Wayan Sudarma (Shri Danu Dharma P)
Oṁ Swastyastu
Pendahuluan
”Pada awalnya adalah kegelapan yang sangat pekat. Semua yang ada ini tidak terbatas dan
tidak dapat dibedakan. Yang ada saat itu adalah kekosongan dan tanpa bentuk. Dengan tenaga panas yang sangat dahsyat,terciptalah kesatuan yang kosong” (Ṛgveda X.129.3).
Kapanpun dan di manapun pelaksanaan Dharma merosot dan hal-hal yang bertentangan Dharma merajalela, pada waktu itulah Aku Sendiri menjelma, wahai putra keluarga Bhārata (Bhagavadgītā 4.7).
Hari suci keagamaan selalu menempati posisi tersendiri dalam kehidupan manusia dan memiliki makna kesucian yang diorientasikan pada kesempurnaan dengan ajaran-ajaran kerohanian yang berasal dari wahyu Tuhan. Karena orientasi tersebut dimensi hari raya agama tersebut bersifat vertikal. Agama apapun mengajarkan satu kesunyataan yakni Kebenaran. Demikian halnya dengan agama Hindu yang memiliki hari raya keagamaan yang dikelompokkan berdasarkan sasih/bulan dan pawukon/wuku ke dalam dua kelompok besar, diantaranya adalah Nyepi, Galungan dan Kuningan, dan yang lainnya.
Hari Suci Nyepi
Hari Nyepi merupakan tonggak kebangkitan kerohanian Hindu yang ditandai dengan Toleransi dan Kerukunan. Bermula dari persaingan dan pertikaian bangsa-bangsa di kawasan Asia (sekarang antara: Tibet, Asia Tengah, Persia, Sungai Sindhu, Afganistan, Pakistan, Kashmir, Iran dan India Barat laut) antara bangsa Saka (Scythia) – Pahlava (Parthia)– Yueh-ci (Cina) – Yavana (Yunani) – Malava (India). Mereka sangat berambisi salin menaklukkan satu sama lain sebagai musuh-musuhnya. Selama berabad-abad bangsa-bangsa tadi silih berganti saling menguasai wilayah lawan-lawannya (semacam penguasaan/ penjajahan) memperebutkan daerah yang sangat subur. Akhirnya pada awal tahun 248 SM di India bangsa Pahlava unggul dalam peperangan melawan bangsa Yavana dan Saka serta menguasai wilayah yang sangat luas.
Bangsa Saka yang kalah perang mengembara dan mampu secara cepat menyesuaikan diri dan tersebar di seluruh kawasan, namun membawa satu misi kooperatif perdamaian dengan mengedepankan aspek budaya dan humanisme. Bangsa Saka dengan seni budaya dan kombinasi ketata negaraan yang terbuka (ala demokrasi sekarang) mampu menyentuh penguasa yakni Bangsa Pahlava. Artinya bangsa Pahlava mengakui keunggulan bangsa Saka yang mengalihkan perjuangan politiknya dari mengangkat senjata (peperangan) menjadi arah politik : ideology, social-budaya yang bercirikan keharmonisan – perdamaian dengan mengangkat kesejahteraan sebagai issue global. Pergerakan humanisme sejak tahun 138 – 12 SM terjadi akulturasi dan sinkretisme antara bangsa-bangsa yang tadinya bermusuhan dan berakhir pada peperangan menuju perdamaian.
Akibat gerakan kemanusiaan membuat sikap politik bangsa-bangsa tadi berubah menjadi gerakan Lokasamgraha (dunia ini rumah kita, persaudaraan semesta, Torang samua basudara). Terdapat tokoh raja Kaniska I, II dan III (tidak semuanya berasal dari bangsa Saka tapi mereka mengadopsi perjuangan bangsa Saka) dalam percaturan politik yang meraih simpati rakyat dengan gerakan kesejahteraan dan kemanusiaan tadi. Salah satu yang terkenal kemudian adalah raja Kaniska II yang pada tahun 78 Masehi menetapkan tahun baru sebagai pencerahan bangsa-bangsa yang berdamai dengan memberikan penghargaan kepada bangsa Saka yang memelopori pergerakan tadi menjadi Tahun Baru Saka yang diperingati secara serentak oleh seluruh negeri. Tahun itu dikemudian hari menjadi tahun pencerahan dan dirayakan dengan khidmat melalui tapa – brata – samadhi.
Rangkaian Hari Raya Nyepi.
Perayaan Hari suci Nyepi dan Tahun Baru Saka 1932 tahun 2010 di daerah secara otonom dilaksanakan dari tingkat Provinsi sampai tingkat Desa dan perorangan di rumah masing-masing dengan rangkaian sebagai berikut :
1. Melasti/Makiyis : adalah prosesi spiritual keagamaan sebagai upaya penyucian alam semesta dari segala kekotoran dan kejahatan akibat dari perputaran karma selama 1 tahun yang penuh dengan intrik, gejolak, nafsu, dan berbagai sisi negative terhadap kemanusiaan. Penyucian ini tidak berhenti pada tataran alam semesta, tetapi juga pada diri setiap manusia Hindu, harus menyucikan diri dan lingkungannya. Arah prosesi penyucian itu ditujukan kea rah laut/segara, karena diyakini air bersumber di laut dan air merupakan sumber dari kehidupan. 80 % tubuh kita ini terdiri dari air. Pelaksanaan prosesi ini dilaksanakan sejak seminggu sebelum hari raya nyepi atau maksimal 2 hari sebelum Nyepi. Di dalam Lontar Sang Hyang Aji Swamandala disebutkan: angayutaken laraning jagat, paklesa letuhing bhuvana, yang terjemahannya: untuk melenyapkan penderitaan masyarakat dan kotoran dunia ( alam ), sedangkan di dalam lontar Sundarigama dinyataan : amet sarining amrtha kamandalu ritelenging samudra, yang terjemahannya : Untuk memperoleh air suci kehidupan di tengah – tengah lautan. Laut sebagai sumber amerta karena laut/segara dipercaya dan diyakini mampu melebur segala kekotoran yang diakibatkan oleh api nafsu manusia yang berupa tindakan kotor/jahat dll.
2. Tawur Kesanga : adalah upacara Bhuta Yajna, artinya korban suci yang ditujukan kepada penguasa kekuatan yang memberi kemanfaatan bagi seisi alam raya ini berupa Caru. Caru adalah kata bahasa Sanskerta yang berarti mempercantik, menetralisir, memiliki makna spiritual somya yakni membuat semuanya menjadi harmonis. Caru ini berupa sesajen yang dibuat sedemikian rupa dalam rangkaian yang memiliki perhitungan magis, oleh Pendeta dijadikan sebagai sarana untuk menjadikan situasi krodit/disharmoni menjadi normal/harmonis kembali. Tawur kesanga dilaksanakan sehari sebelum Nyepi tepatnya pada bulan Mati/Tilem sasih Kesanga yang jatuh pada tanggal 15 Maret 2010.
3. Nyepi – Brata Penyepian : pada tanggal 16 Maret 2010 adalah hari raya Nyepi yang dilaksanakan perayaannya dengan berpuasa dan berpantang/brata. Dimulai pagi hari jam 06.00. Di antara berbagai bentuk Tapa, Brata, Yoga, Samadi itu, Maunabrata (Monabrata) adalah yang tertinggi, tujuannya adalah amatitis kasunyatan, menuju keheningan sejatai seperti pula disebutkan di dalam lontar Sundarigama (salah satu lontar yang menjelaskan tentang hari-hari raya Hindu di Indonesia) secara tegas menyatakan: “………………Nyepi amatigni, tan wenang sajadma anyambut karya sakalwirnya, agnigni saparanya tan wenang, kalinganya wenang sang weruh ring tattwa angelaraken samadhi. tapa, yoga amatitis kasunyatan” – Hari Nyepi, tidak benar semua orang melakukan pekerjaan, berapi – api, karena mereka yang tahu hakekat agama melaksanakan samadhi,tapa,yoga memusatkan pikiran menuju kesunyataan/keheningan sejati”. Brata Penyepian, dengan amati : gni, karya, lelungan, lelangunan, membuat hidup ini terintrospeksi secara sadar atas apa dan siapa diri ini untuk menuju arah yang ditentukan oleh ajaran agama. Selama 1 hari penuh (24 jam) aktivitas direorientasi guna memberikan pembaharuan (Reneweble) alam semesta sehingga segenap potensinya kembali berfungsi secara maksimal. Bayangkan kota Jakarta jika selama 1 hari tidak ditebari polutan asap kendaraan (polusi udara) dan listrik dipadamkan, aktivitas diliburkan sehari itu saja dalam setahun, berapa besar penghematan yang telah dilakukan oleh Negara, betapa bersihnya udara Jakarta dan kelesuan dapat dipulihkan.
4. Ngembak Gni : melakukan aktivitas kembali seperti semula atau membuka api kehidupan normal. Pada hari ini tgl 17 Maret 2010 menjadi lembaran baru bagi kehidupan yang cerah penuh pencerahan rohani. Ngembak Gni mengisyaratkan kepada manusia yang “Multikultural” untuk bersatu padu, menghargai perbedaan sebagai kebenaran illahi, memaafkan adalah perbuatan mulia yang akan membuat hidup kita terasa lebih damai. Melayani mereka yang lemah, membantu mereka yang menderita adalah karma utama saat ini, karena sesungguhnya melayani semua mahluk dengan cinta kasih, dan kasih sayang adalah bentuk pemujaan kepada Tuhan (serve to all man kind is serve to the God).
Makna Penjelmaan
Menjelma sebagai manusia menurut ajaran Hindu adalah kesempatan yang paling dan sangat baik, karena hanya manusialah yang dapat menolong dirinya sendiri dengan jalan berbuat baik. Untuk berbuat baik dan benar nampaknya sangat sulit dilakukan oleh karena berbagai tantangan yang dihadapi oleh setiap orang. Tantangan mulai ketika bayi lahir dari kandungan ibunya. Demikian lahir langsung menangis karena ia berhadapan dengan kejamnya alam, udara yang dingin atau kilauannya sinar matahari dan lain-lain. Bayi akan tumbuh menjadi manusia dewasa bila ia mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan.
Tantangan yang paling berat yang dihadapi oleh umat manusia adalah tantangan yang datang dalam dirinya sendiri, yakni sifat-sifat atau kecenderungan jahat yang merupakan sifat-sifat keraksasaan, kebalikan dari Daivisampad yang disebut Asurisampad (sifat-sifat Asura atau raksasa). Pertarungan antara sifat-sifat kedewataan dengan keraksasaaan inilah yang terus berlangsung dalam diri umat manusia yang sering mengejawantah dalam sikap dan prilaku sehari-hari. Pertarungan ini berlangsung terus tiada hentinya. Siapa yang berhasil memenangkan pertarungan dengan berpihak pada kebajikan atau (Dharma) ialah yang sesungguhnya berhasil menegakkan Dharma. Hanya dengan berpihak kepada Dharma seseorang akan memperoleh keselamatan, kesejahtraan dan kebahagiaan lahir dan batin. Sebagai diamanatkan dalam terjemahan sloka Māhanārayana Upaniad XXII.1, berikut:
“Dharmo viśvasya jagataḥ pratiṣṭhā, loke dharmiṣṭhaṁ prajā upasarpanti,Dharmeṇa pāpam apanudanti dharme sarvaṁ, pratiṣṭhaṁ tasmad dharmaṁ paramaṁ vadanti” – “Dharma adalah prinsip dasar dari segala sesuatu yang bergerak dan yang tidak bergerak di alam semesta ini. Seluruh dunia dan segenap umat manusia hendaknya selalu bergairah mengikuti ajaran Dharma. Yang mengikuti ajaran Dharma terbebas dari segala dosa. Segala sesuatunya akan berjalan mantap bila di jalan Dharma. Untuk itu patutlah Dharma itu disebut ajaran yang tertinggi”
“Dharma eva hato hanti dharmo rakṣati rakṣitaḥ, tasmād dharmo na hantavyo mābo dharmo hato’vadhīt” – “Dharma yang dilanggar menghancurkan pelanggarnya. Dharma yang dilaksanakan melindungi pelaksananya, oleh karena itu janganlah melanggar Dharma, sebab bagi yang melanggar Dharma akan menghancurkan dirinya sendiri” (Manavadharmaśāstra VIII.15).
Implementasi Dalam Kehidupan
Bagaimana kita dapat memenangkan Dharma dalam era globalisasi? Globalisasi adalah proses atau trend kemajuan dunia melalui Ilmu Pengetatuhan dan Teknologi dengan ditandai oleh derasnya arus informasi, terutama dari masyarakat maju menuju masyarakat yang sedang berkembang. Dalam era globalisasi ini seakan-akan tidak ada batas-batas antar negara atau bangsa-bangsa (Boderless nations and states) di dunia ini. Kita maklumi bersama bahwa Globalisasi tidaklah selalu berpangaruh dan berdampak negatif, banyak hal-hal positif yang dapat dipetik dalam era globalisasi ini, namun demikian pengaruh dan dampak negatifnya nampaknya cenderung lebih deras terutama menyangkut segi-segi moral, etika dan spiritual yang bersumber pada nilai-nilai agama dan budaya bangsa.
Dalam Hindu, dinyatakan bahwa bila orientasi manusia hanya material dan kesenangan belaka, maka orang itu dinyatakan hanya memuaskan Kama (nafsu duniawi). Kama manusia tidak akan pernah merasa puas, walaupun usaha memuaskan itu dilakukan terus-menerus dengan berbagai pengorbanan. Memuaskan Kama dinyatakan sebagai menyiram api yang berkobar besar, tidak dengan air, melainkan dengan minyak tanah, maka api tersebut akan menghancurkan hidup manusia.Di dalam kitab suci Bhagavadgītā dinyatakan bahwa Kama, di samping juga Lobha dan Krodha adalah tiga pintu gerbang yang mengantarkan Ātma (roh) menuju jurang neraka dan kehancuran. Untuk itu, Tuhan Yang Maha Esa mengajarkan agar umat manusia memilki kesadaran yang tinggi untuk menghindarkan diri dari ketiga belenggu tersebut.
Bagaimana caranya kita dapat menghindarkan diri tiga pintu gerbang neraf berupa Kama, Lobha dan Krodha yang merupakan perwujudan dari perbuatan atau perilaku Adharma ? Jawabannya adalah sederhana, yaitu kita mesti kembali kepada ajaran agama. Peganglah ajaran agama sebaik-baiknya. Biasakanlah berbuat baik dan benar atau berdasarkan Dharma, yang di dalam kitab Taittiriya Upaniṣad I.1.11: Satyaṁ vada Dharmācara svadhyaya mā pramadaḥ – Berbicaralah jujur/benar, ikutilah ajaran Dharma, kembangkan keingan belajar dan memuja Tuhan Yang Maha Esa dan janganlah lalai/sampai lupa.
Memang bila kita berbicara atau hanya membaca ajaran agama, nampaknya segala sesuatunya gampang dilaksanakan, namun dalam prakteknya sungguh berat. Untuk itu hendaknya ada tekad atau pemaksanaan untuk berbuat baik. Pemaksaan diri untuk selalu berbuat baik disebut Pratipaksa. Untuk kebaikan, paksakanlah, lakukankan, korbankanlah, tekunilah dan doronglah supaya perbuatan benar dan baik itu menjadi identitas kehidupan ini. Identitas atau integritas seseorang dapat dilihat dari kualitas pikiran, ucapan dan tingkah laku seseorang. Untuk selalu dapat berbuat baik, maka diajarkan bahwa setiap orang hendaknya melakukan 4 hal, yaitu:
1) Abhyasa yang artinya untuk perbuatan baik lakukanlah dan biasakanlah hal itu.
2) Tyāga atau Vairagya yang artinya kendalikanlah atau tinggalkanlah perbuatan-perbuatan yang menjerumuskan hidup kita.
3) Santosa yang artinya beryukurlah terhadap karunia Tuhan Yang Maha Esa, memberikan kita kesempatan menjelma sebagai manusia untuk biasa memperbaiki diri dan kesadaran untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan kita untuk mencapai Jagadhita (kesejahtraan jasmaniah) dan Moksa (kebahagiaan sejati).
4) Sthitaprajña yang artinya hidup berkeseimbangan lahir dan batin, tidak terlalu bergembira bila memperoleh keberuntungan dan tidak putus asa bila menghadapi kemalangan atau kedukaan.
Hari-hari raya keagamaan akan berlalu begitu saja bila kita tidak menyingkapi makna atau nilai-nilai yang terkandung dalam hari-hari raya itu. Selanjutnya dengan pemahaman terhadap makna atau nilai-nilai itu, seseorang hendaknya dapat mengamalkan atau melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Nyepi adalah hari perjuangan menuju kesadaran terhadap ajaran Dharma. Hanya dengan Dharma umat manusia akan selamat di dunia ini. Bagaimana mengaktulisasikan ajaran Dharma ini ? Secara sederhana adalah dengan merealisasikan 7 macam perbuatan yang disebut Dharma seperti disebutkan dalam kitab Vṛhaspatitattva, yaitu:
1) Sila, yakni senantiasa berbuat baik dan benar.
2) Yajña, yakni ikhlas berkorban. Yajna tidaklah hanya terbatas pada pengertian upakara dan upācara saja, melainkan mengembangkan kasih sayang dan keikhlasan.
3) Tapa, pengekangan dan pengendalian diri.
4) Dana, memberikan pertolongan atau bantuan kepada yang miskin dan yang memerlukan bantuan. Dalam Hindu dinyatakan menolong orang-orang miskin disebutkan sebagai menyembah Tuhan Yang Maha Esa yang ber-abhiseka (disebut dengan nama) Daridra Nārayana.
5) Pravrijya, berusaha menambah ilmu pengetahuan atau kerohanian (spiritual).
6) Dikṣa, penyucian diri dan
7) Yoga, senantiasa menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Penutup
Dengan melaksanakan butir-butir perbuatan tersebut di atas sesungguhnya kita sudah dapat mengamalkan ajaran agama. Aktualisasi dari ajaran ini dikaitkan dengan masalah-masalah kekinian, misalnya dengan meningkatkan solidaritas sosial (kesetiakawanan sosial), membantu program pemerintah mengentaskan kemiskinan, mengembangkan moralitas dan mentalitas yang baik dan positif serta senantiasa aktif membangun masyarakat lingkungan di sekitar kita.
Berterima kasihlah kepada orang yang telah memberikan kesempatan berbuat baik, berbuat lebih baik dari tidak berbuat apa lagi berbuat yang tidak baik pasti menghasilkan ke-tidak-baik-an, sementara kita ingin mendapat perlakuan yang baik dari orang lain tetapi kita melupakan harus berbuat baik kepada orang lain. Kebaikan tidak pernah datang dengan sendirinya.
Lakukan kebenaran dengan cara menyenangkan, tapi jangan melakukan
ketidakbenaran walau itu menyenangkanmu
Pengertian Hari Raya Nyepi Umat Hindu
Diringkas oleh : I P Danan Krisnadi R
Sumber : Nyepi Caka 1910. penyebaran kator departemen agama jembrana, Doktik 8 Feb 88
Hari Raya Nyepi
Dengan brata penyepian manusia dapat mengendalikan musuh-musuh dalam dirinya,
sesuai dengan pedoman yang dikeluakan oleh Parisadha Hindu Dharma Pusat, umat hindu dalam
merayakan hari raya Nyepi yang sudah menjadi keputusan presiden No. 3 tahun 1983 bahwa hari
raya Nyepi semenjak pergantian tahun caka 1904 ke tahun caka 1905 menjadi hari libur nasional,
hari raya Nyepi terkenal dengan Catur Brata Penyepian
1. Amati Gni : tidak menyalakan api atau lampu
2. Amati Pekaryan : tidak melakukan suatu pekerjaan
3. Amati Lalanguan : tidak berhura-hura / bersenang- senang
4. Amati Lelungan : tidak berpergian
“Ragadi musuh maparo ri hati ya tonggwanya tan wadoh ring awak”
Yang artinya :
“Raga (Nafsu) adalah musuh utama, tidak jauh dari badan, dihati tempatnya.”
Disini semua brata penyepian itu kalau kita bias melaksanakan berarti kita sudah
mengekang nafsu, nafsu yang bersumber dari hati kita yang bersemayam pada Ctula Carira kita
masing-masing.
Musuh musuh dalam diri manusia
A, Sad Ripu
B, Sapta Timira
A. Sad Ripu
Setiap manusia pada dasarnya suci, karena atma yang menghidupi manusia itu berasal
dari yang maha suci yaitu Brahmnaatma, itu sebabnya setiap manusia nenginginkan
kesucian. Dari adanya keducian inilah maka manusia pada saat sadar dan menyadari
dirinya , ingin dia berbuat baik dan tidak dikatakan menjadi curang dan tidak baik.
Namun demikian oleh karena adanya misuh ada masing-masing manusia yang selalu dan
setiap saat timbul, bila kesadaran seorang menurun yang menmbulkan perbuatan yang
tidak baik, maka sangat perlu musuh musuh itu dikendalikan.
Musuh musuh yang terdiri dari 6 musuh yang terkenal dengan Sad Ripu adalah :
1. Kama artinya hawa nafsu
2. Loba artinya tamak / rakus
3. Krodha artinya kemarahan
4. Moha artinya kebingungan
5. Mada artinya mabuk / foya-foya
6. matsarya artinya iri hati.
1. Kama
Kama berarti hawa nafsu, hal ini ada pada setiap orang dan dapat menjadi musuh
setiap indifidu selama belum dapat dukuasainya kalau nafsu itu dapat dikendalikan
merupakan teman akrab bagi kehidupan manusia. Karena adanya kama hidup ini
terasa penuh berarti, orang yang telah meninggalkan kama dan terbebas dari kama
mereka adalah orang – orang yang telah banyak memenuhi hidup ini.
2. Lobha
Pengertian Hari Raya Nyepi Umat Hindu
Diringkas oleh : I P Danan Krisnadi R
Sumber : Nyepi Caka 1910. penyebaran kator departemen agama jembrana, Doktik 8 Feb 88
Loba atau tamak menyebabkan orang tak pernah merasa puas akan sesuatu, orang
yang loba ingin selalu memiliki sesuatu yang banyak dan lebih dari pada apa yang
telah dimiliki, akibatnya orang yang demikian itu akan gusar, gelisah – resah
didorong oleh kelobaanya dan hidupnya tak pernah tenang, sedangkan ketenangan
menjadi idaman bagi setiap orang itulah sebabnya loba itu adalah musuh yang setiap
saat harus disadari dan diawasi,.
3. Kroda
Kroda sering diartikan marah, kemarahan timbul karena pengaruh perasaan yang
jengkel, muak osan dan sebagainya. Orang yang suka marah adalah tidak baik, sebab
kemarahan menyebabkan orang menderita, dan umumnya semua orang tidak senang
dimarahi. Sebab ketemu marah terjadilah konflik yang meimbulkan ketegangan
bahkan kehancuran semata.
Orang pemarah tidak mendapat simpatik dari teman-temannya bahkan tidak disenangi
dan selalu dijauhi, justru karena itu hilangkan perasaan marah tersebut.
4. Moha
Moha artinya kebingungan, karena bingung menyebabkan pikiran menjadi gelap.
Karena kegelapan maka manusia menjadi tida sadar, dari sinilah yang mempengaruhi
kesehatan tubuh, kondisi tubuh akan menurun dan akhirnya tugas dan kewajiban tak
terselesaikan dengan semestinya.
5. Mada
Mada artinya kemabukan, minuman sangat digemari orang, minuman keras dapat
menyebabkan kita mabuk, karena mabuk pikiran orang menjadi gelap, kesadaran
menjadi hilang, dari sinilah menimbulkan prilaku yang kadang kala merugikan
dirinya sendiri, ia berkata ngawur yang menyinggung perasaan. Karenanya ia harus
dijauhi.
6. Matsarya
Matsarya artinya iri hati, perasaan iri hati ini adalah dimana perasaan tidak senang
melihan orang lain lebih dari dia, atau tidak senang melihat orang menyamai dirinya.
B. Sapta Timira
Sapta timira artinya 7 kegelapan, yang dimaksudkan dengan 7 kegelapan ini adalah 7 hal
yang menyebabkan pikiran orang menkadi gelap. Kegelapan pikiran ini, dapat
menimbulkan tingkah laku yang tidak patut dan menyimpang dari tingkah laku yang baik
dan benar.
Kegelapan yang timbul dari sapta timira yaitu,
1. surupa
2. dana
3. guna
4. kulina
5. yowana
6. sura
7. kasuran
Pengertian Hari Raya Nyepi Umat Hindu
Diringkas oleh : I P Danan Krisnadi R
Sumber : Nyepi Caka 1910. penyebaran kator departemen agama jembrana, Doktik 8 Feb 88
Penjelasan,
1. Surupa artinya kecantikan
Kebagusan atau kecantikan dibawa sejak lahir, merupakan anugrah tuhan yang
maha pengasih dan penyayang. Bagi orang yang memiliki semua ini boleh merasa
beruntung atas anugrah serta kasih sayang tuhan, namun tidaklah patut takabur
dan sombong karena punya rupa yang tampan, bagus , cantik, yang kesemua ini
bersifat maya dan tak kekal.
2. Dana artinya Kekeyaan
Kekayaan sungguh berguna bagi siapapun, setiap orang menginginkan hal itu,
karenanya orang berlomba lomba berusaha dengan berkenja keras untuk dapat
memiliki kekayaan. Namun ingat kekayaan itu anugrah tuhan, karenanya patutlah
dipergunakan dengan sebaikbaiknya.
3. Guna artinya kepandaian
Kepandaian ini mirib dengan kekayaan tersebut diatas. Hendaknya kepandaian ini
diamalkan untuk kesejahtraan orang banyak, janganlah kepandaian ini
dipergunakan untuk sewenang-wenang. Menindas orang yang lebih bodoh dan
sebagainya.
4. Kulina artinya keturunan
Memiliki arti yang penting karena dari keturunan siapa leluhurnya, ia akan dapat
dikenal siapa dirinya sebenarnya. Orang itu dipandang terhormat, disegani dapat
dipercaya , karena berasal dari keturunan orang orang yang dikenal berjasa, baik
dan sebagainya.
5. Yoana artinya masa remaja atau masa muda
Masa muda atau masa remaja ini penuh dengan kegairahan hidup, masa gemilang
penuh kreativitas, masa kekuatan dan kecerdasan sedang hebatnya
Disinilah hendaknya kita banyak berbuat baik dan berguna. Jangan berbuat hal –
hal yang kurang baik dan tercela. Jangna angkuh dan sombong karena keremajaan
ini dan harus disadari semua itu tidakkekal dan bersifa maya belaka.
6. Sura artinya Minuman Keras
Dengan minuman keras seperti Tuak, Arak + methanol, Berem, Beer dll,
menyebabkan manusia mabuk bila diminum berlebihan. Dari kemabukan inilah
syaraf2 otak akan terganggu dan kesadarannya akan hilang, justru karena itu
jauhilah minuman keras ini.
7. Kasuran artinya keberanian
Setiap orang perlu memiliki keberanian, tanpa adanya keberanian setiap orang
akan selalu merasa menderita, hidup ini adalah suatu perjuangan, karenanya
keberanian adalah penting. Keberanian disini dipergunakan untuk dapat
mengatasi liku-likunya kehidupan, seperti keberanian membela dan
mempertahankan kebenaran, orang tak layak mabuk karena keberanian.
Keberanian harus dilandasi kebenaran. Keberanian adalah untuk mebela yang
benar sesuai dengan ucapan, “ Satwam Ewan jayate na nrtam” yang artinya :
kebenaran selalu benar dan bukan kemaksyatan.
Pengertian Hari Raya Nyepi Umat Hindu
Diringkas oleh : I P Danan Krisnadi R
Sumber : Nyepi Caka 1910. penyebaran kator departemen agama jembrana, Doktik 8 Feb 88
Banyak kalangan lain di luar umat Hindu melihat keunikan tersendiri bagi umat Hindu
Nusantara dalam merayakan Tahun Barunya. Umat lain di hari Tahun Baru-nya merayakan
dengan kemeriahan, pesta makan – minum, pakaian baru, dan sebagainya. Umat Hindu, justru di
Tahun Baru Saka yang jatuh pada “Penanggal Ping Pisan Sasih Kadasa” menurut sistim kalender
Hindu Nusantara, merayakannya dengan sepi yang kemudian bernama “Nyepi” artinya membuat
suasana sepi, Di hari itu umat Hindu melakukan tapa, berata, yoga, samadhi untuk
menyimpulkan serta menilai Trikaya pribadi-pribadi dimasa lampau dan merencanakan Trikaya
Parisudha dimasa depan. Di hari itu pula umat mengevaluasi dirinya, seberapa jauhkah tingkat
pendakian rohani yang telah dicapainya, dan sudahkah masing-masing dari kita mengerti pada
hakekat tujuan kehidupan di dunia ini. Dengan amati pekaryan, kita mempunyai waktu yang
cukup untuk melakukan tapa, berata, yoga, dan Samadhi, dalam suasana amati gni, pikiran akan
lebih tercurah pada telusuran kebathinan yang tinggi, pembatasan gerak bepergian keluar rumah
berupa amati lelungaan akan mengurung diri sendiri di suatu tempat tertentu untuk melakukan
tapa, berata, yoga, samadhi. Tempat itu bisa dirumah, di Pura atau di tempat suci lainnya. Tentu
saja dalam prosesi itu kita wajib menghindarkan diri dari segala bentuk hiburan yang
menyenangkan yang dinikmati melalui panca indria. Kemampuan mengendalikan Panca Indria
adalah dasar utama dalam mengendalikan Kayika, Wacika dan Manacika sehingga jika sudah
terbiasa maka akan memudahkan pelaksanaan Tapa Yadnya. Walaupun tidak dengan tegas
dinyatakan, pada Hari Nyepi seharusnya kita melakukan Upawasa atau berpuasa menurut
kemampuan masing-masing. Setelah Nyepi, diharapkan kita sudah mempunyai nilai tertentu
dalam evaluasi kiprah masa lalu dan rencana bentuk kehidupan selanjutnya yang mengacu pada
menutup kekurangan-kekurangan nilai dan meningkatkan kwalitas beragama. Demikianlah tahun
demi tahun berlalu sehingga semakin lama kita umat Hindu akan semakin mengerti pada hakekat
kehidupan di dunia, yang pada gilirannya membentuk pribadi yang dharma, dan menjauhkan halhal
yang bersifat adharma. Hari Raya Nyepi dan hari-hari Raya umat Hindu lainnya merupakan
tonggak-tonggak peringatan penyadaran dharma. Oleh karena itu kegiatan dalam menyambut
datangnya hari-hari raya itu semestinya tidak pada segi hura-hura dan kemeriahannya, tetapi
lebih banyak pada segi tattwa atau falsafahnya. Seandainya mayoritas umat Hindu Nusantara
menyadari hal ini, pastilah masyarakat yang Satyam, Siwam, Sundaram akan dapat tercapai
dengan mudah.
Kelemahan tradisi beragama umat Hindu khususnya yang tinggal di Bali, adalah terlalu
banyak berkutat pada segi-segi Ritual (Upacara) sehingga segi-segi Tattwa dan Susila kurang
diperhatikan. Tidak sedikit dari mereka merasa sudah melaksanakan ajaran Agama hanya dengan
melaksanakan upacara-upacara Panca Yadnya saja. Salah satu segi Tattwa yang kurang
diperhatikan misalnya mewujudkan Trihitakarana. Perkataan ini sering menjadi selogan yang
populer, diucapkan oleh berbagai tokoh dengan gempita tanpa menghayati makna dan
aplikasinya yang riil di kehidupan sehari-hari. Trihitakarana, tiga hal yang mewujudkan
kebaikan, yaitu keharmonisan hubungan manusia dengan Hyang Widhi (Pariangan),
keharmonisan hubungan manusia sesama manusia (Pawongan) dan keharmonisan hubungan
manusia dengan alam (Palemahan). Trihitakarana bertitik sentral pada manusia, dengan kata lain
Trihitakarana bisa terwujud jika manusia mempunyai tekad yang kuat melaksana-kannya. Tekad
yang kuat harus disertai dengan pengertian yang mendalam dan kebersamaan sesama umat
manusia. Trihitakarana tidak bisa diwujudkan hanya oleh seorang diri atau sekelompok orang
saja. Itu harus dilakukan bersama-sama oleh semua manusia, bahkan manusia beragama apapun.
Manusia yang pendakian spiritualnya cukup akan mencintai Tuhan (Hyang Widhi). Cinta
kepada sesuatu yang lebih tinggi dan lebih luas disebut “Bhakti”. Ruang lingkup ini misalnya :
Pengertian Hari Raya Nyepi Umat Hindu
Diringkas oleh : I P Danan Krisnadi R
Sumber : Nyepi Caka 1910. penyebaran kator departemen agama jembrana, Doktik 8 Feb 88
Bhakti kepada Tuhan, negara, bangsa, rakyat, dll. Tinjuan khusus tentang bhakti kepada Hyang
Widhi, wujudnya adalah kasih sayang kepada semua ciptaan-Nya yaitu mahluk hidup : manusia,
binatang dan tumbuh-tumbuhan; demikian pula kepada ciptaan-Nya yang lain misalnya alam
semesta. Seseorang yang mengaku sebagai “Bhakta” (orang yang berbhakti) tidaklah tepat jika ia
menunjukkan bhaktinya itu kepada Hyang Widhi hanya dalam bentuk berbagai ritual saja. Ia
juga harus mewujudkan cinta dan kasih sayang kepada semua mahluk, khususnya kepada sesama
manusia. Rasa kasih sayang kepada sesama manusia hendaknya benar-benar datang dari hati
nurani yang bersih dan tulus tanpa keinginan mendapat balas jasa atau imbalan dalam bentuk
apapun. Filsafat Tattwamasi merupakan panduan yang bagus kearah ini.
Masyarakat yang individu-individunya telah mampu melaksanakan ajaran Agama dengan
baik akan mewujudkan keadaan yang disebut sebagai Satyam, Siwam, Sundaram, yakni
masyarakat yang saling menyayangi sesamanya, kebersamaan yang harmonis dan dinamis,
berkeimanan yang kuat dan sejahtera lahir-bathin. Manusia dalam upayanya mencapai kehidupan
satyam, siwam, sundaram tidaklah dapat berdiri sendiri-sendiri. Ia memerlukan berbagai
hubungan yang harmonis dengan manusia lain, atau jelasnya, manusia membutuhkan kelompok
tertentu yang sehaluan dalam pemahaman keimanan, kepentingan politik, kepentingan ekonomi,
kepentingan sosial, dan kepentingan budaya. Prinsip-prinsip jalinan hubungan yang harmonis itu
sebagaimana bunyi slogan : “Sagilik-saguluk salunglung sabayantaka, paras-paros sampranaya,
saling asah, saling asih, saling asuh” Artinya : bersatu-padu menyusun kekuatan menghadapi
ancaman/bahaya, memutuskan sesuatu secara musyawarah mufakat, saling mengingatkan, saling
menyayangi dan saling membantu. Slogan ini bersifat dinamis, dapat digunakan baik dalam
lingkungan kecil seperti rumah tangga, maupun dalam lingkungan yang lebih besar seperti
Paguyuban, Banjar, dan Desa, bahkan dalam lingkungan Nusantara dan Internasional. Untuk
lingkungan yang lebih luas seperti Nusantara dan Internasional kepentingan yang disatukan
biasanya menyangkut ideologi misalnya bidang keimanan/ Agama dan Politik. Azas-azas
kebersamaan sebagai umat Hindu dapat dikembangkan seluas-luasnya karena akan bermanfaat
bagi peningkatan pengetahuan dan kesejahteraan. Kebersamaan itu pula dapat sebagai benteng
yang melindungi, mengayomi umat sedharma dari ancaman-ancaman pihak lain dalam bentuk
proselitasi (mempengaruhi orang yang sudah memeluk Agama tertentu beralih ke Agama lain).
Kebersamaan dalam bentuk paguyuban berguna sebagai wadah demokrasi karena konsep
“Paras-paros sampranaya” dijalankan. Ini akan membentuk tatanan kehidupan yang moderat
dimana terjadi brainsforming dalam memutuskan sesuatu demi kepentingan bersama. Sejarah
dunia telah membuktikan bahwa perjuangan dalam bentuk apapun hanya akan berhasil jika
dilakukan dengan kesadaran kebersamaan yang hakiki diantara kelompok pejuang. Demikian
pula hal yang patut dilakukan oleh umat Hindu dewasa ini, jalinan kebersamaan hendaknya
makin diperluas mencapai tahap internasional agar dapat memberikan manfaat yang tinggi bagi
kemajuan umat Hindu.
Demikianlah sebagai kesimpulan terakhir melaui brata penyepian hendaknya kita bisa
mengendalikan diri, bisa mengekan hawa nafsu yang bersumber pada diri kita sendiri yang
berasal dari Sad Ripu dan Sapta Timira. Demikianlah semoga bermanfaat.